AdSense Page Ads

Friday, October 8, 2021

Kata dan Rantai



"Duh cuma dikatain aja udah down. Cemen banget sih."

Ada alasannya kenapa saya mengajukan restraining order/perintah putus kontak kepada mantan suami saya. Ya sudah sih ya, kita pisah sudah 5 tahun lebih. Mau sampai kapan terus saya hidup dalam bayang-bayang verbal harassment?

Lihat saya punya pacar baru, pacar saya terus dicari kesalahannya. Ya gendutlah. Ya yang kerja di fast food lah. Ya yang punya criminal record lah. Ya yang pincang lah. Ini diucapkan secara ejekan dengan harapan saya menjadi merasa malu dengan pasangan-pasangan saya. 

Saat saya membantah/meladeni, lalu saya yang dihina. Bahwa istri baru/si mbak lebih oke. Bahwa dia bisa menyetir dan saya nggak. Bahwa saya sampah murah yang nggak perawan saat menikah dan cuma dipakai laki-laki. Ya jadi kenapa elu masih kontak gue sih?

Banyak yang bilang saya harus diam. Cuekin aja. Anggap aja angin lalu atau gonggongan anjing. Omongan itu cuma sekedar omongan, dan saya terluka karena saya pasti masih peduli sama dia. Jadi ya salah saya karena saya terluka.

Ya nggak. 

Kalau tiap hari ada orang yang mencetus "Mbak/Mas bajunya terbalik!" kita jadi otomatis mengecek bukan? Walau orang ini kelihatan seperti tidak waras. Walau dia mengatakannya setiap hari, setiap kita lewat. Lama kelamaan kita jadi terkondisikan untuk mengecek baju sebelum kita keluar, agar bisa yakin saat dia meneriaki kita lagi.

Omongan itu membawa bobot, ada beratnya. Saat dikatakan/dicetuskan oleh seseorang yang kita hargai dan/atau kita hormati, orang tua atau atasan atau bahkan pasangan, semakin kita menghargai orang tersebut semakin dalam dampaknya.

Semakin lama dan semakin intens kata-kata ini diucapkan, semakin dalam dampaknya dan semakin sulit lepasnya. Bahkan dikala saya tahu saya disayang teman-teman saya, dikala saya tahu saya baik-baik saja, disaat ada trigger saya bisa hilang kendali lagi.

Tidak ada yang mau sama saya.
Saya tidak berguna.
Saya cuma dipakai lelaki.
Tidak ada yang benar tulus mencintai saya.
Tidak akan ada yang mau menikahi saya.
Saya tidak dan tidak akan pernah diinginkan.

Padahal saya tahu banyak yang mau, tapi saya yang sangat menjaga hati. Padahal saya tahu tuduhan ini tak berdasar, dan ini hanyalah modus operandi dia yang menyerang dengan hal-hal yang paling saya takuti. Padahal saya tahu saya bisa dengan mudah menyerang dia balik. Padahal saya tahu dia selalu stress nggak jelas seperti ini, dan bukan hanya saya korbannya.

Tapi saya tetap hilang kendali saat saya terpicu/ter-trigger. Saya tetap menjalani hari kerja seperti zombie. Saya tetap merasa amat sangat butuh dipeluk dan ditenangkan. Saya tetap jadi melihat kembali semua hubungan saya dan mempertanyakan apakah kata-kata itu benar. Apakah saya sebegitu buruknya sehingga saya terus gagal dalam hubungan. Apakah saya memang benar tidak berharga dan tidak diinginkan.

Cerita saya mungkin ekstrim, tapi ada banyak bentuk verbal abuse atau verbal harassment. "Elu bego banget sih." "Elu kayak sapi gedenya." "Elu begini aja ga becus." Disaat kata-kata yang meruntuhkan ini diucapkan terus dan terus, ibarat rumah yang terus terkikis arus sungai, lama-lama kepercayaan diri kita pun keropos.

Bukan kita yang harus menguatkan diri agar bisa 'budeg' dan tebal kuping, melainkan semua orang yang harus mengerti bahwa kata-kata pun bisa menyakitkan. Sudah saatnya kemanusiaan kita level-up dengan memikirkan apa dan bagaimana perasaan orang saat disakiti, 'walau hanya' secara verbal. Sudah saatnya kita belajar untuk jadi kuat dan mengontrol diri kita sendiri agar tidak menyakiti orang lain, atau bahkan bersuara saat orang lain tersakiti.

Karena argument "Sudah bagus cuma dimaki, bukan dipukulin" ini tidak masuk akal. Bila seseorang sanggup menyakiti orang lain walau tanpa kekerasan fisik, berarti ia tidak lagi melihat orang itu sebagai sesuatu yang setara dan kekerasan fisik mungkin tinggal tunggu waktu. Dan harusnya ya, harusnya, sebagai manusia yang berakhlak dan berbudi kita harusnya merasa tak nyaman melihat penderitaan orang lain, bukan malah berpuas diri.

Udahan ya kita bermulut jahat sama orang lain. Udahan juga kita lupa bahwa kita bernilai dan verbal abuse atau harassment itu tindakan yang merepresentasikan jeleknya si pelaku dan bukannya jeleknya diri kita. 'Jujur' atau 'ini kan fakta' atau 'hanya ingin membantu' itu bukan alasan untuk menjadi kejam. Never was and never will.

No comments:

Post a Comment

Search This Blog