Ini wara-wiri di timeline saya, dan ini MISINFORMASI. Kejadiannya cuma di satu toko saja dan manager+security guard yang terlibat langsung dipecat. Zara pun langsung minta maaf dan mengeluarkan statement di Facebook.
Stop mensharing berita yang tidak berdasar atau misinformasi. Stop membuat perusahaan terlihat begitu jahat hanya karena perbuatan satu dua pegawainya (sounds familiar?). Kecuali ada bukti tertulis bahwa memang peraturan mereka diskriminatif, tolong jangan menyebarkan kebohongan.
FYI, Muslim di dunia berjumlah banyak dan merupakan kekuatan ekonomi yang harus diperhitungkan. Bodoh sekali berpikir perusahaan seperti Zara nekat menetapkan aturan diskriminatif anti Muslim padahal mereka berani punya toko di Indonesia. Kalaupun iya, hukuman sosial masyarakat akan jauh lebih dahsyat karena masyarakat Barat tidak menyetujui diskriminasi. Sebuah salon di Inggris yang pemiliknya terang-terangan menyatakan tidak mau melayani umat Islam langsung dihujani negative review dan diciduk polisi karena dianggap menebar kebencian. Itu masuk berita dan salonnya pun tutup.
Mungkin banyak dari kita sudah lupa bahwa pada awalnya pun kita orang Indonesia risih dan gerah melihat orang berjilbab. Saya ingat pada waktu saya SD beredar isu bahwa wanita berjilbab berlengan panjang itu suka menaburkan bubuk narkotik/racun ke gelas minum anak-anak. Padahal saya tinggal di daerah Bekasi yang semuanya Muslim. Saat SMA pun teman-teman sering berkelakar, menertawai teman lain yang berjilbab. Kita sindir kadar keimanan tergantung panjang jilbab. Ini yang bilang yang Muslim juga ya dan in good humour, nggak ada tuh benci2an agama lain seperti sekarang.
Dari curiga dan waswas sekarang kita cuek dan bahkan merangkul Jilbab. Semua butuh waktu. Dan sebagaimana jaman dulu, bukan Jilbabnya yang dicurigai tapi perbedaannya. Sama seperti kalau kulit anda gelap/wajah anda lokal plus terlihat kere, banyak bar/nightclub di Bali yang tidak bisa anda kunjungi. Atau dilihatin dan diikutin satpam saat masuk ke gerai baju mahal di Jakarta. Kenapa didiskriminasi begitu? Karena terlihat berbeda. Karena dicurigai akan melakukan tindakan tidak pantas. Karena pengunjung asli yang dasarnya orang-orang ignorant yang tidak mau bersentuhan dengan kelas bawah macam anda.
Kita bisa dengan tegas menolak diskriminasi, dan kita harus menolak diskriminasi apapun bentuknya. Namun kita juga harus berhenti sejenak dan berpikir, apa dasar diskriminasi itu. Dasar diskriminasi adalah ketidaktahuan dan perbedaan. Saat anda ditolak masuk karena Jilbab anda, bukan jilbab dan agama anda yang diserang, namun perbedaan anda. Saat anda ditolak masuk karena terlihat Timur Tengah, bukan agama anda yang diserang, tapi fisik anda. Agama mah nggak ada urusannya. Apa iya orang akan menolak masuk Muhammad Ali sang juara dunia tinju? Nggak mungkin, dia terlihat seperti orang barat kulit hitam lainnya kok. Nggak berbeda. Padahal dia pemeluk Islam. Fyi cuma di Indonesia yang rempong nanyain agama orang apa.
Mau tetap berkeras Islam diserang, didiskriminasi etc ya silakan. Tapi itu cuma menambah minyak ke api. Pihak 'lawan' anda pun mengatakan hal yang serupa tentang Islam. Donald Trump mengusulkan #muslimid, nanti di negara yang mayoritas Muslim akan mengusulkan #christianid dan seterusnya. Teruslah kita berperang sampai akhir jaman.
The world is changing, makin banyak orang yang simpatik pada orang lain, yang anti diskriminasi dan membela orang-orang yang tertindas. Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang mampu melihat manusia lain sebagaimana adanya, terlepas dari kepercayaan atau penampilan fisik mereka. Bagaimana mungkin, menurut mereka, saya bisa menyakiti anda kalau saya dan anda sama, kalau saya bisa merasakan sakit yang anda rasakan?
You can stay in the hateful mode, fueled by hatred poured by people who just want to use you to gain power and control; or you can be the breeze that soothes this ailing world with your understanding. Choose wisely.
A little bit of this, a little bit of that, and all the things the cat sees along her way
AdSense Page Ads
Saturday, November 21, 2015
Zara vs Jilbab: Sebuah Perenungan
Monday, November 16, 2015
Video Penyerangan Wanita Berjilbab di London
Apakah anda mengklik blog saya karena baca judulnya? Bagus, berarti click bait saya berhasil. Dibawah ini saya posting foto dari click bait awal yang sukses dengan isi yang menuduh dan bikin panas, dan ujung-ujungnya jualan. FYI ini kejadian bulan September dan pelakunya ditangkap plus dihukum. Yang mau Google monggo, ada kok link beritanya di laman pertama Google. Sekarang mari kita telaah 'tuduhan-tuduhan' tersirat dan tersurat dari postingan tersebut:
1. Klaim media barat tidak memberitakan --> apa iya media harus memberitakan setiap kejadian kekerasan terhadap muslim? Kalau hitungannya cuma tindak kriminal biasa, diberitakannya ya memang secukupnya saja. Ini ekualitas/persamaan derajat yang sebenarnya, karena tindakan kekerasan lain juga tidak diberitakan besar-besaran kecuali yang heboh. Sisanya tergantung media Indonesia yang menemukan lalu menentukan apakah info ini perlu diteruskan ke Indonesia apa tidak. Bukan hanya berita buruk, berita baik pun sering kali tidak sampai.
Apakah anda tahu New York adalah kota pertama di Amerika yang menetapkan Idul Fitri sebagai hari libur bersama? Apakah anda tahu ada seorang Muslim yang meninggalkan pekerjaannya untuk berkeliling menjadi Imam di masjid-masjid 50 negara bagian Amerika? Apakah anda tahu ada salon di Inggris yang tutup dan pemiliknya dihukum karena memposting tulisan menolak Muslim setelah kejadian Paris?
Media butuh anda sebagai pembaca. Berita yang ada pun tergantung rating berita apa yang laku. Kalau anda hanya membaca berita yang ingin anda baca, kalau anda malas aktif mencari tahu tentang dunia luar dan membaca media luar, jelas saja terlihat seperti 'Media tidak memberitakan'.
Kalau masih mau berkeras bilang Media tidak memberitakan, seberapa sering anda baca berita tentang kekerasan di pelosok nusantara? Maksud saya yang benar-benar pelosok, di daerah yang anda bahkan tidak tahu bagian dari Indonesia? Atau berita apapun yang bukan dari kota besar di Indonesia. Jarang kan? Bukan karena media sensi dengan orang pelosok, tapi karena mereka butuh sesuatu yang bisa dijual, yang heboh dan mampu membuat anda pembaca membeli berita mereka. Apa iya anda yang di Sumatera pedulu siapa yang menang pemilihan gubernur di Bali dan sampai masuk koran lokal di kampung anda? Begitu analoginya.
2. Klaim pelaku tidak dihukum --> saya tinggal di Amerika baru 2 tahun dan saya melihat sendiri betapa ketatnya Amerika menjalankan hukum anti-diskriminasi. Diskriminasi terjadi, tapi bukan Muslim saja yang menjadi korban. Semua bisa didiskriminasi, bahkan anak balita cowok yang kebetulan bermain masak-masakan bisa dicap gay di internet. Kenapa? Karena banyak manusia yang hobi berprasangka buruk dan tidak simpatik pada orang lain.
Bedanya adalah, anda bisa menuntut kalau anda didiskriminasi, dan akan ada banyak orang yang mendukung dan bersimpati pada anda. Pernah ada orang yang didiskriminasi pramugari dalam pesawat dan semua penumpang menentang tindakan itu. Anak cowok yang main masak-masakan diatas pun menerima dukungan luar biasa di internet.
Ya, tidak semua diskriminasi terselesaikan, dan akan lebih sulit menuntut perlakuan yang adil bila anda minoritas. Tapi ini lebih dikarenakan anda minoritas dan bukan karena anti-Islam. Kalau saya yang Hindu membuka warung Babi Guling di daerah yang penuh umat Islam apa saya tidak diusir? Dan bukankah pengusiran saya tindakan diskriminatif? Tingkat pendidikan dan keragaman penduduk juga merupakan faktor. Daerah dengan banyak imigran/keragaman akan lebih bersimpati pada kaum minoritas daripada daerah yang homogen. Jadi jangan cuma melihat Islam vs anti-Islam, lihat juga karakter daerah dan karakter manusianya.
3. Klaim Islam tertindas dan orang benci Islam --> saya tahu ada banyak orang di Amerika yang benci dan menganggap Islam itu buruk. Sayangnya, tidak ada obat yang bisa menyembuhkan kebodohan seperti ini kecuali keinginan dari dasar hati untuk mau mengerti tentang sesuatu yang berbeda dengan kita, untuk mau keluar dari comfort zone kita. Pertanyaannya, sudahkah kita melakukan itu?
Isi timeline saya belakangan ini tentang sesatnya Syiah. Trending topic banget, padahal sebelumnya nggak pernah kesebut. Sampai bus Primajasa yang pasang stiker SHIA pun dituduh pro-Syiah, padahal itu singkatan Soekarno-Hatta International Airport, trayek doi. Perlakuan ini sama dengan perlakuan orang Amerika sini terhadap Islam. Syiah merasa itu hak mereka beragama, tapi Islam mayoritas menganggap mereka sesat. Baca deh berita-berita tentang Syiah sesat dan lihat komen-komen nya. Ganti Syiah dengan Islam dan ganti nama orang-orang yang komen dengan nama berbau barat, itulah gambaran persis apa yang terjadi dengan Islam di negara Barat.
Begitu pula dengan orang sini yang tersinggung karena melihat pegawai toko berjilbab, apa kita tidak emosi jiwa dan menuntut larangan pegawai toko Muslim memakai atribut Natal (topi santa merah) walaupun sebenarnya 'atribut natal' itu buatan kapitalisme untuk jualan dan bahkan tidak ada kaitannya dengan Alkitab atau Kristen yang sebenarnya? Orang sini yang menolak berdekatan dengan terduga Muslim, apakah kita tidak membuat keeksklusifan yang sama tiap menjelang Natal dengan posting dan sharing himbauan 'Jangan mengucapkan Selamat Natal!!'?
4. Klaim Dunia tidak peduli Islam --> Apa iya anda peduli? Islam bukan hanya di Timur Tengah lho. Islam juga ada di Afrika dan benua lainnya. Apa iya anda pernah sharing berita kekerasan terhadap umst Islam di Afrika, para korban Boko Haram? Seberapa sering anda baca tentang kehidupan orang Islam di Papua atau pelosok Indonesia lainnya? Bila anda sendiri tidak mampu perduli, bagaimana bisa anda menuntut orang lain untuk perduli?
Dan disaat dunia perduli (Ahmed yang ditangkap karena dituduh membawa bom ke sekolah mendapat dukungan luar biasa besar), apakah anda menyebarkan kabar baik ini? Atau masihkah anda setia dengan artikel click bait anda yang meneriakkan "Islam terjajah!!!" dan penuh dengan gambar dan video grafis dari perang Timur Tengah, atau video-video 'religi' yang harus anda "ketik Amin" agar masuk Surga? [Padahal jelas-jelas itu page jualan barang dan/atau pagenya dijual setelah dapat follower dan like yang banyak]
You are what you read. Anda adalah apa yang anda baca, dan kemudian apa yang mau anda percayai. Tolong cerdas sedikit.
Sunday, October 18, 2015
Till We Meet Again, Caroline
Sunday, August 30, 2015
The Day The Glass Slippers Break
Today I cried. It was not the sad, little whimpering cry that griefs you. It was not the lengthy sobs that breaks your heart. It was a full blown cry, cried from the top of my lungs with the intensity that will disturb you. A cry that will unnerves you, that will shatter your soul. It was a pained cry of love that is lost and hope that is destroyed.
To some, I was as bright as the sunshine. Always smiling, always giving out a helping hand. A rare post in Facebook I made about how sad I am, regardless how cryptic it was, will definitely garnered comments. My latest feel-good post about myself garnered tons of likes and comments. People actually care about me. People actually smiled at me and I have rarely seen hostility towards me, even in Los Angeles. I am loved by all, by God, by world. And in return, I love them all too. Yet the only thing I wanted the most is the one thing that I cannot get.
I have always dreamed about acceptance. Being nice is great, you get to be a part of somebody's life, in a nice way. Yet from my end, it also means that I don't exactly have someone that fully shared his life with me, and vice versa. I wanted my own special someone. Someone who will accept me for who I am, and can see me past the baggage that I carry: the low self-confidence that I have in regards to my look, and the curse of being 'a nice friend'. Nice enough to keep around, but not striking enough to be kept forever and jealously guarded against others. I wanted someone that wanted me.
My husband called it co-dependence. That I am too scared to live by myself. Yet I always wonder, is it wrong to want to love someone and be loved back?
He was my dream come true. I showered him with attention, spoiled him with love. Flowers on special days, special gifts and surprises now and then, always striving to make his life comfortable. It is not hard to see how much I adore him. And yes, he loved me too. Yet the love slowly wanes. Throughout the short time we're together, I can see his interest in me fade like the spring that turned into winter. I was there, a comfort for him, but not an apple in his eyes anymore. I don't even know what he sees in me anymore, but judging from the fights we have, apparently not much.
To sums up some of his opinion on me: I am a disgrace for sleeping so casually (before I even met him) with a man that has ball-bearing in his penis, and with a known American playboy that prey on the women in my hometown; I disappointed him for doing nothing for the first two years I moved to US; I am stupid, selfish, and have no understanding in life of whatsoever because I came from a simple country and have not experience the things he experienced like divorced, owned and lost a house, travel to a few countries, and having kids.
To every friends that I have, I am usually looked with the highest regards. And for a good reason too, because I will strive for their happiness. I am smart, witty, fun, kind. Yet within my apartment, I am just a stupid woman that doesn't worth a single respect. There is love, sure. But it was given only when he wants to. The thought that I too need love was absurd, because haven't he gave me enough by taking me to US and allow me to leech off of him for the last 2 years? I should be more considerate of him. After all, I didn't do anything for the family. At least, that's how it seemed to be, even though the joy on his children's face whenever they saw me tells different story.
The fights, the insults, the degrading replies are not new. I have experienced it since we started dating. The lost of love in his eyes, however, was too much to bear. It is the realization that I will never be good enough for hin that broke me down, the realization that my love, my effort had been counted for nothing. It was the finality when you tried to fix your relationship, and all you get was "Well, I have felt disconnected and disappointed in you since day one when you told me you fucked the guy you met online, the one with balls in his penis."
Not only did it happen way before I met him, I also given him that information because he asked for it. Anything I say will and has been used against me.
After today's fight, I packed my backpack with a blanket, a change of clothes for tomorrow's work, and some snacks. I was ready to spend the night, and the remainder of the nights I have to go through until I can get an appartment for myself, at the 24 hours Korean Spa near where we live. It has special women's section with showers and hot tubs and lounge room where I can spend the night(s) safely. He did not kicked me away, but I feel I can't live with him anymore.
As I sat there with my backpack, I couldn't helped but laugh at my current situation. I agreed to leave my life, my family, everything I have behind just to be with him. Yet I am the one who have to be thankful. With all his harsh words, his indifference towards me, his pursuit for a life of pleasure, with all the loneliness I have to bear, and I am the one that has to be considerate towards him. I effectively being taken away from my roots, only to be told repeatedly how low I am and left to fend off myself, and now pretty much homeless in LA.
I ended up staying at the apartment for today. I was too exhausted to go anywhere else. I don't owe him this privilege though, because I paid this month's rent and because by law he is required to provide for me since he is my visa sponsor. I have made necessary arrangement and looking forward to move out, something that he claimed "couldn't be done" because of my non-existent credit score. What do I care? If I can't get an apartment here I can always go back to Bali.
Surprisingly, I don't feel anything except deep, dark, debilitating sadness. I am not angry nor do I hate him. He is what he is. He would tell you a different story, but that's just because how he perceive things. It was the lost of my dream that saddened me: The notion that his acceptance had merely been an illusion, and I have (and always) been on my own. It's the broken wings of hopes, and now I have to walk barefoot in the cold, harsh earth. All I wanted is to love and be loved in return, and that simple hope was lit beyond my expectation only to be destroyed mercilessly. A child may not aware that he/she is killing the bug by crushing it under hi/her hands, but does the intention matter to the bug in the state that it's in?
A little over two years has passed since I first donned that glass slippers, and now it had been destroyed beyond repair. The dress turned into rag once more, and I have to walked home with shards still on my bloodied feet, wherever home is. It will be a long and lonely journey, but I am not alone. I still have you, all of you. Thanks for being with me, dear readers. Thank you so much.