"Yah, aku sih berharap bisa punya keluarga kecil, dengan suami yang menyayangi aku dan mampu menghidupi aku dan anak-anak, dan aku pun bisa kerja untuk membantu orangtuaku."
Saya terhenyak mendengar harapan teman saya. Itu impian saya dulu, yang saya kejar hingga ke Amerika. Yang saya pertahankan mati-matian. Biar lengkap hidup saya. Biar saya nggak dicap 'gagal'.
3 tahun saya menjadi istri, saya bahagia lahir batin. Ceritanya. Seharusnya. Tapi menikah itu kan nggak cuma soal 'berhasil' membina keluarga dan membesarkan anak. Hidup lebih hanya dari sekedar itu.
Masih ada pesta dansa dan kumpul bareng teman. Masih ada berpetualang melihat dunia, baik yang dekat rumah maupun entah dimana. Masih ada pencapaian diri yang bisa diraih, untuk diri sendiri atau dunia.
Saat saya menjadi istri dan ibu tiri, saya merasa komplit. Stress sedikit pasti ada, tapi pelukan hangat anak tiri saat bertemu atau senyuman suami saat sedang mesra membuat segala masalah seolah taka da artinya. Ini hidup saya. Saya bahagia.
Tapi sekarang single/jomblo, saya juga merasa komplit. Saya bebas bertualang kemana saja. Saya bisa melangkah penuh percaya diri di restoran dan konser musik. Saya bisa tertawa lepas dan menjadi diri saya sendiri. Ini juga hidup saya.
Walau kita punya Kartini dan Sri Mulyani dan Susi Pudjiastuti dan Megawati, di Indonesia kebanyakan masih melihat tujuan hidup (baca: kodrat) wanita adalah keluarga. Nggak banyak orangtua yang bilang: "Anakku, jadilah orang hebat. Temukan kebahagiaanmu."
Karena yang hebat adalah membina keluarga, menjadi istri teladan dan ibu idaman. Bahagia adalah saat anak-anak sehat dan tidak terjerumus, saat kehidupan dengan suami harmonis, keluarga nan sempurna.
Lalu bagaimana saat badai melanda? Apa yang wanita teladan ini bisa lakukan demi melindungi keluarganya? Apa yang bisa ia lakukan untuk melindungi dirinya sendiri agar tak jatuh dalam jurang keputus-asaan?
Kalau saya nggak punya passion/dedikasi untuk kerjaan saya, atau untuk tulisan saya, saya bisa gila saat bercerai dengan suami saya. Jauh-jauh ke Amerika, bukannya diperjuangkan eh malah dipersalahkan. Harus hidup sendiri pula.
Begitu pula saat saya masih di Indonesia. Digosipin bahwa saya nggak laku? Nggak kenapa. Klien saya bahagia dengan hasil kerja saya. Dihina karena jelek? Nggak kenapa. Angka penjualan saya lumayan oke syalala. Pencapaian saya adalah pegangan saya.
Wanita yang utuh adalah asset bukan hanya untuk dirinya sendiri, namun juga untuk keluarga dan orang-orang disekelilingnya. Saat Suami/Ayah nggak ada, kepada Ibulah tempat kita bergantung. Iya nggak sih??
Tapi bagaimana saat sang wanita tidak bahagia? Saat sang wanita tidak siap? Saat sang wanita justru membutuhkan pertolongan dan bukannya memberikan pertolongan? Apa jadinya ia dan orang disekelilingnya?
Sayangnya banyak orang yang dengan enteng berkata: "Kapan kawin?" Seolah nilai wanita dilihat dari laku atau nggaknya, dan bukan dari siapa dia dan pencapaiannya. Wanita yang mendengar pun merasa harus secepatnya kawin.
Bukan demi cinta. Bukan karena percaya ini pasangan hidup yang terbaik. Bukan karena yakin bisa setia selamanya. Tapi karena "Ya sudahlah". Karena capek diomongin. Karena sudah 'umur'. Karena percaya dengan menikah semua akan menjadi indah.
Lalu kalau tidak cocok bagaimana? Kalau salah satu menemukan pasangan baru bagaimana? Kalau akhirnya malah hidup serasa di neraka karena terus bertengkar bagaimana? Kalau salah satu (atau keduanya) tersakiti bagaimana?
"Kapan nikah" akan menjadi "Kapan punya anak", yang akan menjadi "Kapan punya anak (laki/perempuan)", lalu "Kapan punya rumah", dan "Kapan punya mobil", dan seterusnya. Nggak akan berhenti pertanyaan itu.
Bukan kita yang harus membuktikan diri pada orang ini agar kita 'komplit'. Orang seperti ini hanya melontarkan ketidakpercayaan dirinya, melontarkan apa yang ia pikir benar tanpa peduli perasaan kita. Bukan demi kita, tapi demi dia.
Seringkali, orang yang sibuk menggunjingkan kita adalah orang yang sibuk digunjingkan di sekelilingnya. Lingkaran setannya komplit deh. Apa faedahnya bagi mereka? Mereka merasa 'benar'. Apa faedahnya bagi kita? Nggak ada.
Dunia sudah berubah. Wanita bukan lagi mahluk lemah yang perlu perlindungan lelaki. Pernikahan bukan lagi satu-satunya jalan wanita bisa 'dinafkahi'. Kebahagiaan wanita dan pasangannya lebih penting dari sekedar 'menikah'.
Karena dunia yang sekarang itu kejam. Dunia yang sekarang penuh kebencian dan keputusasaan. Dan darimana kita bisa mendapatkan kasih? Ya dari wanita. Bukan berarti lelaki nggak penuh cinta, tapi faktanya mereka lebih terbatas mengekspresikannya.
Kalau kamu wanita dan membaca ini, kamu yang mencari kebahagiaanmu dan apa yang membuatmu sempurna bukanlah sebuah tindakan egois. Lihat itu sebagai investasi untuk masa depanmu dan keluargamu. Ingat, pencapaianmu adalah peganganmu saat badai melanda.
Kalau kamu lelaki dan membaca ini, biarkan pasanganmu mekar sempurna. Jangan petik dia semasih kuncup dan menaruhnya dalam pajangan, terbelenggu oleh ketidakpercayaan dirimu. Bukankah lelaki hebat berhak mendapat pasangan yang tak kalah hebat?
Kalau kamu yang hobi bertanya: "Kapan nikah?" Sudah ya, jangan sensi begitu. Dunia dan dirimu nggak akan jadi lebih baik dengan kamu mencampuri urusan orang. Lihat dan terima orang lain apa adanya, berbahagialah akan kebahagiannya walau berbeda dengan 'standar'mu.
Karena pernikahan bukanlah suatu akhir. Pernikahan adalah sebuah perjalanan baru yang seharusnya membuat kedua pihak berkembang dan menjadi lebih baik. Taman yang indah dimulai dari bibit yang baik, bukan?
Kapan nikah? Kapan-kapan. Saat saya siap. Saat pasangan saya siap. Saat saya dan pasangan merasa sudah saatnya kami melebarkan sayap kami, bagai merger/gabungan dua perusahaan besar. Saat ini biarkan saya mengembangkan diri saya sendiri.
Percaya diri ya para pembaca. Anda berhak berbahagia dan mencintai diri anda sendiri. Salam sayang dari Los Angeles.
No comments:
Post a Comment