Yup, lagi-lagi soal TKI. Kali ini yang diperkosa dan yang di "sale" ria. Tapi ini bukan penghujatan terhadap Malaysia. Sebaliknya saya ingin bertanya, terutama kepada orang-orang yang mendemo dengan rusuh dan anarkis: apakah memang cuma salah Malaysia? Apakah kita benar-benar oke dan bersih sehingga "boleh" anarkis ria?
Sebelum anda memulai penghujatan terhadap saya, mari saya luruskan:
1) Saya pun terganggu dengan iklan "Sale"itu. Tapi let's be honest, mari jujur-jujuran, bukankah kita pun biasa mencari si Mbok baru lewat penyalur pembantu? Walaupun tidak sevulgar iklan Malaysia, praktek "jual-beli" ini pun lazim di Indonesia.
2) Perkosaan TKI: Jelas ini salah. Namun perkosaan tetaplah perkosaan, terlepas dari siapa yang melakukan. Bagaimana dengan anak-anak dibawah umur yang dipaksa menikah di Indonesia atas alasan ekonomi atau dengan dasar agama (hello Syekh Puji)? Ini menurut saya termasuk perkosaan karena tidak mungkin anak 12 tahun, apalagi yang belum terpapar media, bisa secara agresif meminta hubungan seksual. Bagaimana dengan 2 polisi Sharia Aceh yang memperkosa tahanan perempuan? Atau yang paling gress, nona Novi yang difoto-foto syur saat mabuk oleh polisi? Memang benar bahwa figur otoritas dimanapun harusnya melindungi, tapi otoritas juga manusia. Bukan seragamnya yang harus disalahkan dalam kasus-kasus seperti ini, tapi orang yang mengenakan seragam tersebut.
3) Perlakuan merendahkan Malaysia: ini yang paling mendasar buat saya. Apakah memang hanya Malaysia yang merendahkan kita? Sudahkah kita mengambil tindakan untuk mencegah penghinaan ini?
Saya bekerja di Bali sudah hampir 5 tahun, dan di pusat pariwisata Indonesia ini saya sudah kenyang melihat dan mengalami diskriminasi. Jangan salah, yang lebih banyak melakukan diskriminasi adalah orang Indonesia sendiri. Serius. Di bidang kerja saya saya lebih sering mendapat perlakuan melecehkan dari staf/vendor orang Indonesia, apalagi bila kebetulan stafnya ini cuma bawahan si Bule, hmmpf…. Lebih rese dari bulenya sendiri! Padahal orang asingnya sendiri mayoritas justru lebih terbuka dan menghargai apa yang saya lakukan. Pengecualian untuk bule-bule yang punya staf rese, mereka hampir pasti juga rese seperti bawahannya. Entah karena mereka biasa memperbabu orang Indonesia jadi menganggap semua orang Indonesia babu, atau karena mereka biasa dianggap dan diperlakukan ala tuan tanah/majikan sama babu/staf mereka jadi berasa oke berat.
Contoh lain: diperlakukan kasar oleh satpam hotel, ditolak masuk ke café/restoran/bar oleh waiter/waitress nya, belum lagi cara guide-guide yang menuntut mereka diutamakan karena membawa klien/tamu asing. Saya pernah menonton pertunjukkan Kecak dimana seorang guide membawa tamu-tamunya saat pertunjukkan sudah berlangsung, dan pakai acara memfotokan mereka yang mana itu menghalangi view penonton lainnya. Ada juga saat-saat dimana seorang guide dengan kasar meminta pelayan di rumah makan agar mendahulukan pesanan tamunya (padahal mereka baru datang) disaat rumah makan tersebut amat-sangat ramai. Jangan heran kalau orang asing menganggap kita rendah, bagaimana tidak kalau bangsa kita sendiri memperlakukan sesamanya dengan buruk.
Ingat bahwa ada dua sisi dalam masalah diskriminasi ini: Yang pertama adalah kurangnya pendidikan dan kepercayaan diri sehingga mereka merasa wajar mengalami perlakuan yang buruk; yang kedua adalah kurangnya empati dari bangsa kita sendiri. Sebelum merobohkan pagar kedubes Malaysia, ada baiknya kita bertanya pada diri kita sendiri: apa yang sudah kita lakukan untuk mereka? Apakah anda pernah memikirkan bagaimana nasib anak si mbok di kampung? Atau apakah OB anda mendapatkan kesempatan untuk maju (kursus etc) sehingga bisa mencari pekerjaan yang lebih baik? Lihat disekeliling anda, sudahkah anda melakukan sesuatu untuk mereka? Saya sangat percaya dengan pendidikan, dan saya yakin dengan pendidikan yang benar acara diskriminasi ini bisa sangat dikurangi. Pendidikan akan memberikan pengetahuan, harga diri dan kesempatan.
Anda bisa menjadi orang tua asuh, anda bisa menyalurkan sumbangan atau zakat anda, namun saya ingin mengajak anda melangkah lebih jauh dan sekaligus mengatasi sisi lain dari diskriminasi: bersikap baiklah kepada sesama. Pendidikan setinggi apapun tidak akan membantu bila seseorang terus direndahkan oleh sesamanya, namun sikap baik akan sangat membantu seseorang. Bila dua hal ini digabungkan hasilnya akan sangat dahsyat: Seseorang yang memiliki pengetahuan sehingga membuka kesempatan, dan punya kepercayaan diri/tahu dirinya cukup berharga untuk mengambil kesempatan tersebut dan tahu apa yang berhak mereka dapatkan. Diskriminasi? Apa itu?
Jangan terjebak dalam mental babu seperti oknum-oknum dalam cerita saya di Bali. Semua manusia dasarnya sama, cuma kulit dan pekerjaannya saja yang beda. Katakan terimakasih dengan tulus dan senyum manis pada mbak-mbak yang melayani anda di coffee shop, katakan permisi pada mas-mas yang sedang sibuk mengepel lantai di kantor anda, lambaikan tangan dengan gembira pada bapak parkir yang membantu mengeluarkan mobil anda di parkiran. Mereka sama seperti anda, lihat mereka sebagai manusia dan bukan label pekerjaan nya (tukang parkir, janitor, pelayan, etc). Ada saatnya dimana hierarki harus ditegakkan (tidak mungkin toh anda sebagai bos mengerjakan pekerjaan bawahan hanya karena dia mau nonton James Bond beserta yayangnya), namun bersikap ramah dan sopan pada siapapun haruslah menjadi prinsip utama anda. Jangan robohkan pagar kedubes Malaysia, tapi robohkanlah ke-arogansian kita sendiri serta penghalang dan ketidakpedulian terhadap pendidikan yang pantas. Tabik!
No comments:
Post a Comment