AdSense Page Ads

Wednesday, November 27, 2013

Cerita Seorang (Setengah) Dokter

Saya Dokter.

Yah, tepatnya setengah dokter sih karena saya tidak mengambil residensi/ko-ass, jadi saya tidak bisa praktek dokter. Buat yang belum tahu, proses menjadi dokter di Indonesia adalah 4 tahun belajar teori dan 2 tahun kerja praktek/ko-ass, lalu dilanjutkan dengan PTT (kerja di propinsi terpencil) dan ujian akreditasi dokter, baru deh boleh buka praktek. Alasan saya berhenti? Tidak balik modal bro.

Dari ini...

Saya suka kedokteran. Dari dulu itu mimpi saya: menjadi dokter dan menolong pasien. Ga harus menyelamatkan nyawa dengan dramatis kaya di film-film, asal pasien saya bisa sehat saja saya sudah cukup senang. Ceritanya.  Tapi untuk sampai kesana perjuangannya luar biasa. Kalau yang kuliah ekonomi cuma perlu menyelesaikan 160 SKS, kita di kedokteran perlu 200 SKS plus tambahan SKS di program Ko-ass. Yang konon cuma 4 tahun bisa molor sampai 7 tahun (seperti saya). Lalu waiting list untuk masuk/melaksanakan program Ko-ass karena hanya tidak semua rumah sakit menerima program ko-ass. Karena universitas saya swasta dan tidak punya rumah sakit sendiri, alhasil kadang ko-ass menganggur selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan untuk mendapat giliran di rumah sakit. Yang konon cuma 2 tahun bisa molor sampai 3 tahunan. Belum lagi aksi tusuk sana-tusuk sini dan persaingan ketat sesama rekan sejawat yang tidak mau nilai saya lebih baik dari nilai mereka. Ini terasa sekali saat masih di program S.Ked/4 tahun teori, karena kalau rata-rata nilainya jeblok maka yang harusnya standarnya cuma dapat C bisa diupgrade jadi B atau A-. 

Saat saya lulus S.Ked saya dihadapkan dengan dilema: lanjut sampai dokter penuh atau tidak. Saat itu orang tua saya sudah beberapa tahun berpisah dan saya membiayai kuliah saya sendiri dengan bekerja menjadi guru Bahasa Inggris. Biaya ko-ass bahkan lebih mahal daripada biaya kuliah teori, dan jadwal yang tidak tentu berarti saya tidak bisa bekerja lagi. Mama meminta saya lanjut sampai selesai dan akan berusaha mencari uang yang diperlukan, dan bahkan dosen saya menjanjikan untuk membantu saya menyelesaikan kuliah saya. Tapi saya berpikir: kalau saya terus, berarti setidaknya saya tidak bisa menghasilkan uang sampai paling cepat 4-5 tahun (Ko-ass + PTT + akreditasi), lalu bagaimana saya bisa hidup dan kedepannya berapa banyak hutang yang harus saya bayar? Banyak senior kami yang akhirnya mengajar karena sebagai dokter muda/fresh graduate mereka tidak mendapatkan pasien. Konon ada yang sampai 5 tahun buka praktek baru mendapatkan pelanggan tetap. Masuk rumah sakit juga butuh koneksi dan sama ketatnya dengan mencari pekerjaan di bidang lain. Saat itu saya sudah mendapat gaji setara dengan rekan-rekan di Ekonomi yang sudah berkerja selama 2 tahunan, padahal saya hanya bekerja selama 3 jam sehari; teman saya bekerja menjaga klinik 24 jam dan dibayar setara dengan yang saya charge selama 1.5 jam. Ini jelas bukan pilihan, pikir saya. 

Saat saya kuliah dulu (dan belakangan ini) saya sering mendengar: "Dokter itu profesi mulia"; dan seringkali saya bertanya: apa sih kategori "mulia" itu? Apa menyelamatkan nyawa itu lebih mulia daripada, misalnya, wedding organizer? Sama-sama membantu orang toh. Dokter ya sebuah profesi. Dokter menerima bayaran dari pasien untuk mendiagnosa dan (kalau bisa) menyembuhkan pasien. Sama saja dengan montir yang menerima bayaran untuk mendiagnosa kondisi mobil anda dan membetulkannya. Bedanya adalah montir bekerja dengan benda mati yang selalu sama, sementara dokter bekerja dengan tubuh manusia yang selalu berbeda. Dokter tidak bisa menjanjikan kesehatan atau kesembuhan, dan ini tidak ada hubungannya dengan ilmu atau kelalaian lho. Tubuh manusia itu berbeda satu dengan lainnya, biarpun berat badan dan kondisi kesehatan sama tapi bisa saja efek obat yang diberikan berbeda. Tubuh manusia juga hidup dan terkadang walau sudah diintervensi dokter melakukan hal-hal yang diluar kendali si dokter. Kalau mobil bisa dengan mudah dibongkar pasang untuk melihat bagaimana cara kerjanya, manusia jelas tidak bisa. Dengan kata lain, kedokteran bukan ilmu pasti. Kedokteran lebih mirip sebuah "seni": seni menyembuhkan. Dengan melihat gejala dan sebagainya, seorang dokter bisa melihat (atau setidaknya menebak) apa yang salah dan berusaha membuatnya jadi lebih baik. Tapi ini bukan ilmu pasti karena tubuh manusia tidak sama satu dengan yang lainnya. Dan dengan berkembangnya ilmu secara umum, bisa saja protokol-protokol dan teknik pengobatan yang dilakukan sekarang justru dianggap berbahaya dan bodoh di masa depan. Orang Yunani kuno percaya histeria wanita terjadi karena indung telurnya berjalan-jalan/berpindah di dalam tubuhnya, dan diobati dengan ditakut-takuti (teriakan dan suara keras) agar kembali ke tempatnya. Sekarang kita cukup minum obat penenang. Dan bahkan di masa depan bisa saya kita bahkan tidak perlu obat penenang,

Menjadi ini...

Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat yang bilang: Dokter itu juga profesi, jadi kalau salah bisa dihukum. Ini benar sekali, tapi dengan catatan bahwa yang mau menghukum dan merasa dirugikan harus mengerti bahwa kedokteran bukan ilmu pasti. Ada bedanya antara kelalaian/ketidak-pedulian dan kondisi di luar kendali si dokter karena - lagi-lagi - tubuh manusia berbeda satu dengan yang lainnya. Banyak juga yang dengan emosi berpendapat dokter tidak punya hati nurani kalau tidak membantu orang miskin. Ini juga harus ditelusuri: apa dokternya yang dengan songongnya bilang "Sorry ya, eike jijay sama orang miskin!" atau birokrasi rumah sakit yang menahan si pasien? Dan kalaupun birokrasi rumah sakit, apakah itu karena rumah sakitnya yang sibuk "Uang! Uang! Uang! Uang!!!" atau karena mereka berusaha menjalankan bisnis karena pemerintah tidak mampu memberikan jaminan kesehatan untuk rakyat Indonesia? Obat dan alat medis itu mahal lho bo'. Kalau tidak pintar-pintar mengelola rumah sakit bisa bangkrut. Katakanlah anda punya toko atau restoran, apa iya anda akan sedemikan mudahnya memberikan barang jualan anda atau makanan gratis bila ada yang datang dan bilang: saya miskin tapi saya perlu barang/makanan anda untuk hidup. Atau anda penasihat keuangan yang dibayar sekian juta per harinya, apa iya anda akan mau mengalokasikan waktu anda yang berharga untuk membantu mengelola keuangan si miskin? Mungkin anda rela, tapi kalau terus-terusan dilakukan bisa-bisa anda yang perlu bantuan. 

Saya tahu bedanya pelayanan dokter 'miskin' dengan dokter 'kaya'. Saat saya pergi ke dokter kulit di RSUD di Bali, si mbak dokter residen sibuk main BB dan tidak peduli dengan saya. Boro-boro ngecek, dia hanya bertanya kondisi dan sibuk mencatat lalu selesai. Terhina rasanya, walaupun saya cuma bayar Rp 15,000. Buat saya, profesi apapun tidak boleh membedakan klien/pelanggan. Biar dia bayar cuma sepersepuluh klien di rumah sakit mahal, kalau memang si dokter terima job disitu maka dia harus konsisten dengan pelayanannya. Kali berikutnya saya pergi ke rumah sakit swasta, kena Rp 250,000 termasuk obat tapi pelayannannya jangan ditanya... Sangat memuaskan! Saya diperiksa fisik, ditanya-tanya, dijelaskan, benar-benar money well spent rasanya. Soal obat juga demikian, saat mantan pacar saya kecelakaan dia diberikan obat untuk gegar otaknya dari rumah sakit pemerintah tempat ia dirawat. 7 hari meminum obat itu dia masih tidak bisa bangun karena pusing. Setelah mendapat obat dari spesialis swasta, 2 hari minum obat dia sudah bisa jalan-jalan. Obat itu mahal, dan sayangnya semakin poten sebuah obat maka semakin mahal pula harganya. Walau demikian saya pun tidak setuju bila dokter terlalu kemaruk dan terlalu mesra dengan perusahaan farmasi, karena pasien yang dirugikan. Cari tambahan sih boleh saja, tapi ada batasnya. Setelah saya membayar hampir Rp 20,000 untuk obat salep saya, seminggu kemudian saya menyadari bahwa sebenarnya ada istilah lebih sederhana untuk kondisi kulit yang saya alami: kena gigitan serangga tomcat. Dan salep tersebut cuma perlu bayar Rp 15,000 di puskesmas. Hadeuuuuh......

Kalau dokter sama dengan profesi lainnya (dan memang sama), kenapa dokter dihujat kalau mencari profit? Biar bagaimana, mereka juga harus balik modal lho. Saya rasa orang tua manapun yang meng-iyakan anaknya untuk menjadi dokter pasti berpikiran kalau ini demi masa depan anaknya, karena dokter adalah satu dari sedikit profesi yang akan selalu dibutuhkan walau sudah tua sekalipun. Dengan kata lain bermotif ekonomi. Saya setuju dengan pendapat bahwa dokter harus professional, tidak membedakan klien, dan tidak boleh lalai. Ini sebenarnya kode etik untuk semua profesi bukan? Mulai dari pembantu rumah tangga sampai direktur perusahaan. Tapi kalau soal dokter harus membantu si miskin dan siap menolong siapapun karena itu profesi mereka, monggo diingat kalau mereka juga manusia. Saya rasa kebanyakan dokter pasti lebih pilih mengelola orang kaya agar balik modalnya cepat. Apa iya ini salah? Kalau anda punya anak apa anda akan rela membiayai anak anda hingga sekian ratus juta dan membuat dia kehilangan setidaknya 10 tahun waktu hidupnya untuk belajar agar dia bisa berbakti kepada masyarakat, tanpa  pamrih atau imbalan apapun untuk anda? Dan bila anda yang menjadi dokter, apa anda rela mengorbankan 10 tahun waktu anda dan hidup morat-marit makan nasi dan garam agar anda bisa berbakti kepada masyarakat (dan ini setelah membayar kuliah yang sekian ratus juta). Yang namanya dokter bekerja di rumah sakit dan tidak bisa menolong pasien (kalau ditolak oleh rumah sakit), yang namanya dokter 'bermesraan' dengan perusahaan farmasi, yang namanya dokter memilih kerja di kota dan bukan di daerah terpencil, apa iya anda bisa menyalahkan mereka untuk mencoba mencari penghidupan yang layak? Kalau pasien sampai ditelantarkan atau tidak dilayani dengan baik, tentu bisa. Tapi bila semua masih dalam batas kewajaran, kenapa tidak?

Dan akhirnya ini....
Tapi perjalanan ini belum berakhir!!!

Bila sampai disini anda masih menyalahkan dokter dan dengan sinis berkata: "Apa si miskin tidak boleh sakit??", perkenankan saya menjawab dengan jujur: "Kalau di Indonesia sih tidak." Pertanyaan ini seharusnya bukan ditujukan kepada dokter, tapi kepada pemerintah Indonesia. Anda tidak bisa mengharapkan dokter berkorban demi si miskin hanya dengan jargon "itu profesi anda!". Mereka juga butuh makan bro. Bila saja pemerintah Indonesia mampu menjamin rakyatnya, saya rasa tidak ada rumah sakit atau dokter yang menolak pasien miskin karena tahu secara finansial mereka memang bisa menolong si pasien ini. Dan bila memang pemerintah tidak sanggup menjamin rakyatnya, apa yang bisa anda lakukan untuk sesama warga negara Indonesia? Bagaimana bila anda yang menjamin dan membayar pengobatan untuk orang-orang miskin ini, atau membuat semacam Community Hospital alias rumah sakit komunitas yang dibiayai dari kantong-kantong anda untuk para orang miskin? Jangan cuma bisa menuduh dokter malpraktik tanpa mengerti kompleksnya tubuh manusia, atau menuduh dokter mata duitan karena konon tidak mau membantu orang miskin padahal anda sendiri tidak melakukan apa-apa.

Masih berpikir dokter itu jahat rakus dan tidak berperikemanusiaan disaat mereka harusnya menolong manusia tanpa pamrih dan persetan dengan bea kuliah mereka yang mencapai ratusan juta? Mungkin anda harus berhenti sejenak dan membayangkan, bagaimana bila lebih banyak (calon) dokter yang berpikir seperti saya dan memutuskan berhenti kuliah. Mungkin ada harus berhenti sejenak dan membayangkan sebuah dunia yang berisi sales dan akuntan dan profesi lainnya tapi tak ada tenaga medis, atau dunia dimana tenaga medis sedemikian minimnya (risiko tinggi, balik modal susah, siapa yang mau ??) sehingga hanya orang-orang kaya saja yang sanggup membayar service ini. Masih mau menyalahkan dokter?

PS: Serius, kalau dokter anda memang sucks dan ga becus monggo diprotes lho. Ini bisnis bung, anda berhak mendapat pelayanan yang sepantasnya. Tapi ingat, dokter bukan Tuhan dan tidak bisa menjamin kesembuhan biar sehebat apapun doi. Istilah yang paling tepat: To cure sometimes, to treat often, to comfort always. Jadi jangan marah kalau si dokter sudah melakukan sebisanya tapi tidak sembuh, dan monggo misuh-misuh bila jelas-jelas ia lalai atau nyuekin anda. Salam!

Friday, November 22, 2013

The Real Reason Why People Should Travel

There are, you know, other countries. Ones with different rules and cultures and food, ones with different laws and norms. And you might missed them. You might missed them if you just sit around in front of your computer, or living your life without ever going anywhere. You might missed them if you did get around but too busy admiring the scenery or communicate with your inner-self (or social media) instead of observing the people around you. You might missed them if you choose to close your eyes and block your mind from anything "new".

I found a post about a modern-day slavery in US that intrigued me. A few people commented that the victim should just go to the police and reported them. As one person stated:
"NO ONE "lives a slave life" unless your stupid enough AND want to do it. Look at every instance that's made it into the press...IF your stupid enough to believe that walking out that door is bad then you deserve to be where your at and should be an economic unit." 
To me this sounded like a very good example of living inside your shell, and why you should travel even if it's a virtual travel through the internet.

My sister and son. 
There is more story in this to admire than just her elegant traditional dress

As painful as it is for me to admit, law in Indonesia are shaky at its best. If you were up against someone who had more money/power or a more 'respected member' of the society you might find yourself at the deep end instead. Take Prita's case, who was sued for libel defamation just because she posted her complaints about a hospital in her mailing group. Authorities are not really fond of helping you out too, it's easier to just slip an extra Rp 20,000 to an office clerk that you know at the police station when renewing your vehicle's license than to do the whole shenanigans by yourself (which will end up costing you both time and money). Even though not all authority/government staff are like this, the overall situation conditioned us to distrust and become very reluctant in dealing with authorities. I can't imagine how the slavery victim can just go and report to the police, because even with my husband constant assurance and complete documentation I still found myself nervous and reluctant when I have to deal with US authority. He kept on saying that they couldn't harm me, yet it was not easy to just change my mindset. 

This fact is mind baffling for country citizens where laws are upheld and their authority/government are set to help them in every part of the way. But as I said: different countries, different rules. And this is why travelling is important for you, because ignorance and indifference could hurt. 

So many people returned home from their travel with only pictures and videos on their SD cards, or the story of that excellent night of rave partying, or about their new-found conscience and re-uniting with God. But travelling should be more than that. It wasn't always about what you experienced, but it's also about what you learned. It's not about 'visiting' a place, it's about 'learning' that place. It's about discovering and understanding another part of the world, and realizing that that's what make the world is so awesome. Travelling should be about humanity in general, because even in the most desolate deserts or the highest mountain top you would need to interact with human to be there. 

Indonesian's carnival game: Duck ring toss. 
Because tossing a ring to a bottle would be too easy :p

In a world where hate and destructing 'criticism' are freely given through the mask of internet, travelling might be a way to world's peace. Understanding is basically accepting, and if we learned to accept that there are things 'different' than what we know we wouldn't be in constant "you offend me! No, YOU offend me!" situation. This is basically a cheat sheet for those who couldn't (or didn't have to patience to) find the great karmic peace within them. And it sure is nice to get more peace and have less people complains about getting pissed off from other people's pure indifference and ignorance

Do the world a favor. When you travel, even if it's just cross-country for the thanksgiving, observe the people around you and how they live their life. Places where people live shaped their character and their view in life, and you might surprised on how refreshing it is to see a new point of view. Some you will disagree with and some you will hate, but remember that you are not there to judge. You are to observe and (hopefully) to understand, but never to judge; and to realize what a vast, diversified, and beautiful world we have. This appreciation would be a valuable memento of the trip, and the real reason why people should travel. 

Tuesday, November 19, 2013

Ayo Bangkit Indonesia!!!

Tahukah anda satu kesamaan tiap kali ada artikel tentang Indonesia di media Amrik? Komentar negatif.

Baru saja saya membaca berita tentang gempa bumi di wilayah timur Indonesia. Saya bersyukur tidak ada korban jiwa ataupun efek yang signifikan. Namun yang bikin saya emosi adalah komentar-komentar pembaca yang sinis/negatif. Ada yang bilang Indonesia "muslim crap-hole", ada yang bilang Obama bakal kesini bagi-bagi duitnya Amerika (kaya kita butuh getooo). Menyebalkan banget ga sih?



Masalahnya, komentar-komentar ini selalu ada tiap kali ada artikel tentang Indonesia. Seolah-olah bagi pembaca budiman kita di Indonesia ini: 
A) Perusak lingkungan - karena nebangin hutan
B) Teman kongkow/ce-es annya Obama yang akan selalu dilindungi dan dikasi duit
C) Negara terbelakang dan amat-sangat miskin yang terus minta bantuan ke luar negeri
D) Pusat teroris

Tiap kali komentar-komentar ini muncul saya selalu berusaha mencounternya walau saya tahu tidak banyak gunanya karena orang-orang model begini tidak akan percaya atau peduli dengan pendapat saya. Tapi saya mencounter bukan dengan tujuan membalas si komentator dodol itu, saya mencounter agar pembaca lainnya mengenal Indonesia lebih baik. 

Saya ingin pembaca Amrik tahu bahwa:
A) Hutan kita ditebang dan sumber daya kita dikuras bukan karena penduduk Indonesia rakus, tapi justru untuk melayani demand/permintaan global yang mayoritas datang dari negara maju.
B) Obama bukan ce-es kita. Dia cuma pernah sekolah sebentar disini dan sejujurnya saya ga yakin dia segitu mesra/nge fans nya dengan Indonesia. Jangan nyari2 alasan cuma karena ga suka Obama terus dikait2kan dengan (konon) negara teroris
C) Hello? Situ yang butuh kita. Kearifan lokal Indonesia itu cukup untuk bertahan hidup dimanapun, dan sumber daya alam kita juga melimpah ruah. Jangan salahkan kita miskin, salahkan penanam modal yang maunya ngeruk kekayaan Indonesia saja. Dan kalau ga rela kasi bantuan ya ga usah...
D) Indonesia BUKAN negara Islam, dan Islam juga tidak identik dengan teroris. Hampir semua teman saya yang beragama Islam oke punya dan tidak mengikuti stereotip "teroris" hasil ke-parno-annya orang Barat. Dan lagi, kalau kita segitu terorisnya kenapa ga kita yang diserang duluan setelah Afganistan etc?


Demi meringankan gejala homesick saya, si Akang memasang peta Indonesia yang besar di dinding apartemen kami. Setelah dipasang dia komentar: Indonesia itu ternyata besar ya. Dan dia tidak salah. Indonesia itu memang besar. Pertanyaannya, apakah kita yang orang Indonesia sadar kalau negara kita adalah negara besar, baik dari segi ukuran maupun kemampuan/potensi? Kita cukup besar sehingga negara-negara lain ngeh (dan parno) soal kita. Kita cukup bijak dan tangguh sehingga bisa bertahan dalam kondisi ekstrim sekalipun. Kita tuh... keren. Tapi biar sekeren apapun tidak akan ada pengaruh/manfaatnya kalau kita tidak ngeh kalau kita keren, atau kalau kita tidak sadar siapa dan apa itu orang "Indonesia".

Tiap kali saya baca komentar di media Indonesia, biasanya saling nyolot/ejek mengejek masalah agama. Atau mirisnya saya saat baca "Tanya Jawab Ahok" dimana beberapa pertanyaanya berkaitan dengan rasnya. Sekarang begini ya para pembaca yang budiman, Indonesia itu bukan satu agama saja. Indonesia itu terdiri dari beragam suku bangsa dan beragam agama, dan salah satunya adalah keturunan Cina. So what gitu lho? Si Mbak ini marah-marah karena dia merasa distereotipkan sebagai keturunan Asia timur, padahal dia warga negara Amrik. Saya nggak mengerti kenapa dia harus emosi, mengingat kebanyakan orang Asia belum terlalu lama menjadi imigran disana, paling tidak yang tercatat (untuk asia timur) adalah semenjak 1778 dan abad ke 19. Wajar kalau mereka masih dianggap "asing". Sementara di Indonesia yang keturunan Cina nya sudah berabad-abad dan bergenerasi-genenrasi, beberapa keturunan kerajaan bahkan menikah dengan penguasa lokal, kenapa masih dipertanyakan dan diperdebatkan bahwa mereka warga minoritas? Bukankan Bali yang cuma pulau kecil juga hitungannya minoritas? Atau Lombok dan Sumba?

Kalau kita mau Indonesia bangkit, kalau kita mau Indonesia berjaya, kita harus berhenti berpikir "Saya!!!". Anda ya memang anda, tapi mari berpikir lebih jauh dari sekedar keberadaan anda, mari berpikir tentang keberadaan anda selaku warga negara Indonesia. Indonesia tidak dimerdekakan oleh satu golongan/agama/ras/suku saja, dan tidaklah mungkin Indonesia bisa dijalankan dan meraih potensi maksimalnya hanya dengan satu golongan/agama/ras/suku saja. Kalau mau begitu, pilihannya adalah kembali ke jaman pra-kemerdekaan dimana Indonesia terdiri dari berbagai negara-negara/kerajaan-kerajaan kecil yang dimana mudah sekali dimangsa oleh negara besar. Apa ini yang anda inginkan?

Saya ingin orang tahu hebatnya Indonesia, saya ingin orang menghormati negara dan asal-usul saya dan berhenti mengolok-oloknya. Satu-satunya cara adalah menyadarkan mereka (dan dunia plus orang Indonesia sendiri) betapa hebatnya dan kerennya Indonesia. Dan ini tidak akan tercapai bila kita sibuk bertengkar dengan penuh keparnoan terhadap sesama warga negara yang berbeda agama atau suku, dan bukannya bersatu memajukan Indonesia. Jangan mau dan jangan puas cuma jadi bahan ejekan negara lain. Ayo bangkit Indonesia!!

Search This Blog