AdSense Page Ads

Wednesday, June 17, 2020

Kok Kamu Item Sih?



Tiap saya mendapat pertanyaan tentang kondisi rasisme di Amerika saya selalu terbego-bego. Apalagi kalau yang bertanya benar prihatin dan ketakutan.

Sisi saya yang tega terkadang tertawa, "Kenapa? Baru terpikir ya kalau dipersekusi itu tidak enak?" Sisi saya yang lain berharap mereka sekarang mengerti rasanya jadi kaum minoritas di Indonesia. Siapa tahu ini jadi pelajaran yang bagus.

Di Indonesia rasisme ini dikaitkan dengan masyarakat dari Papua. Ini sebenarnya sedih lho. Kita baru mau melihat adanya diskriminasi terhadap seseorang yang sangat berbeda dengan kita, padahal sehari-hari kita juga melakukannya. Racism terhadap orang-orang yang nggak satu suku dengan kita, serta colorism terhadap masyarakat secara general.

Beda Racism dan colorism adalah dasar diskriminasinya. Racism itu biasanya keluar, dan kita pro kedalam. Colorism itu bisa terjadi bahkan didalam grup kita sendiri. Racism adalah saat anda nggak sudi duduk semeja dengan orang Cina, colorism adalah saat anda mencibir mbak-mbak muka lokal yang kulitnya gelap.

Inilah kenapa tiap arisan keluarga yang diomongin "Aduh itu nggak bisa ya si A ganteng begitu cari istri yang putihan sedikit?" Atau cetusan nggak bertanggung jawab dari teman, keluarga, atau (jlebb) teman kencan: "Kok kamu item(an) sih??"

Bahkan kosakata nya pun berbeda. Yang berkulit gelap biasanya dibilang "eksotis" atau "manis". Kalau tega "muka babu". Tapi jarang banget dibilang 'Cantik'. Apalagi bagi yang pribumi total, nggak 'terselamatkan' dengan campuran Cina Arab Belanda etc.

Kedengarannya ga penting ya. Tapi kalau kita pikirkan seberapa besar kerugian mental yang dirasakan serta kesempatan yang hilang, itu lumayan banget lho.

Kita bicara soal nggak bisa dapat pekerjaan atau promosi karena bos lebih suka yang 'bening'. Kita bicara soal tekanan mental dan resiko siksaan dari pasangan yang harus kita terima karena "Udah bagus ada yang mau". Kita bicara soal kehilangan kepercayaan diri sehingga kita tak mampu meraih hal-hal yang lebih baik.

Dari segi finansial, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk ke salon, untuk produk kecantikan? Belum lagi bila produk tersebut mengandung zat kimia yang berbahaya. Tak sedikit yang wajib menutup diri serapat-rapatnya dari atas kebawah agar matahari tak merusak kulit. Di Indonesia yang panas lembab gila ini sesuatu yang nggak masuk akal.

Untuk apa? Untuk dianggap cantik. Untuk bisa diterima di masyarakat, dan syukur-syukur mendapatkan perlakuan lebih baik.

Ngerasa nggak sih ini absurd banget? Bukannya kita punya base/dasar perlakuan ke sesama manusia dengan baik yang berkurang berdasarkan seberapa kampretnya mereka terhadap manusia lain (kriminal, koruptor), kita justru punya base/dasar yang rendah dan naik berdasarkan seberapa putih kulitnya. Yang bukan pilihan mereka lho. Saya rasa Tuhan nggak terima order "Tuhan saya mau lahir sebagai ras A di negara B".

Karena orang Indonesia yang hidup di negara tropis wajar banget kulitnya gelap. Yang berkulit putih justru sedikit. Kalau kita pake sistem racism, harusnya yang berkulit putih justru dicurigai sebagaimana dulu orang Bali dan orang Jepang menggambarkan orang bule seperti setan.

Ada bedanya lho antara preferensi dan diskriminasi. Kalau memang lebih suka yang 'bening' ya monggo. Tapi jangan langsung "Ih ngaca dong loe!" kalau ada yang pdkt dan kebetulan nggak sesuai tipe. Saya suka yang minimal 8 inci lebih, tapi saya ga galak kan sama yang nggak segitu. Sepatu hak. Saya ngomongin sepatu hak sayang.

Untuk masalah pertemanan, apalagi profesional seperti edukasi dan pekerjaan, warna kulit harusnya nggak berpengaruh. Memangnya gradasi warna berhubungan langsung dengan kemampuan MS Office atau Mac OS kalian? Atau ada relasinya dengan seberapa lama kalian akan mendengarkan curhatan teman kalian yang (lagi-lagi) diselingkuhi?

Sudah nggak jaman kita melihat orang dari warna kulit, karena diluar sana warna memang sama sekali nggak dilihat. Rasisme masih mungkin terjadi, karena persepsi dan stereotip bahwa kita yang 'ndeso nggak tahu apa-apa (uhuk uhuk orang Papua dan Sumba), tapi orang luar nggak tahu bedanya bila kita sedikit lebih 'bening' dari yang lain. Disini ada yang jauh lebih gelap lagi kulitnya kok. Ada juga yang sebegitu putihnya sampai silau melihatnya.

Dan dunia luar akan segera merangsek. Di era post-Covid19 yang tanpa sengaja mengoptimalkan work-from-home, pekerjaan virtual akan menjadi lebih umum. Batas dunia akan semakin menghilang. Kita melihat masa depan dimana sangat mungkin bos kita berada di negara lain dan kita di Indonesia, semua lewat virtual. Apa iya kita tetap hanya mau memikirkan seberapa gelap warna kulit orang lain?

No comments:

Post a Comment

Search This Blog