AdSense Page Ads

Thursday, June 4, 2020

Api dan Airmata



"Hey, ditempatmu aman?" tanya teman saya pada mantan istrinya di telepon. "Ok, tetap pantau kondisi ya. Kalau ada apa-apa langsung angkut anak-anak dan bawa ke tempatku. Kamu masih ada handgun pacarmu kan? Satu tembakan ke udara sudah cukup harusnya untuk membuat mereka berpikir."

Saat itu saya terdampar di tempatnya setelah nongkrong main board game. Malam sebelumnya LA sudah menerapkan jam malam pukul 8, namun ternyata hari itu jam malam dimajukan ke jam 6 sore. Saat makan malam bersamanya kami melihat tayangan TV dimana orang-orang sibuk menjarah. Memori Mei 1998 pun terbangun.

Kalau ditanya apakah saya takut, mungkin nggak ya. Saya rasa saya lebih takut waktu Mei 1998 daripada sekarang. Ini kan ceritanya people of color yang teraniaya, jadi saya yang juga dianggap person of color (bukan kulit putih) logikanya nggak akan diapa-apain. Sementara waktu Mei 1998 saya yang Hindu ditanya apakah saya Muslim. Nah.

Alih-alih merasa takut, saya justru merasa sedih. Sedih melihat kota saya jadi arang. Sedih mengetahui ada sekian banyak bisnis yang akan tutup, dan bukan hanya pemilik namun pekerjanya juga akan kehilangan mata pencaharian. Sedih mengetahui ada sekian banyak orang diluar sana yang terdampar karena semua bus berhenti beroperasi saat jam malam dilaksanakan.

Saya juga sedih mengetahui akan ada banyak orang yang justru berbalik membenci protes ini dan bukannya mendukungnya. Akan ada banyak orang yang mengasosiasikan orang kulit hitam dengan kekerasan karena penjarahan yang terjadi. Akan ada orang-orang yang setelah terkena dampak kerusuhan malah menjadi (makin) rasis.

Seperti biasa hater berpesta-pora, dan saya juga sedih. Orang-orang yang nggak suka Amerika mulai pamer postingan "Lihat Amerika jatuh. Ha ha ha." Atau yang berpikir betapa ganasnya para polisi di Amerika dan betapa tak beradabnya mereka. Padahal ada lho daerah-daerah yang saya orang kulit berwarna pun nggak berani lewatin, atau kalau harus di daerah itu rasanya deg degan terus. Compton, Watts, South LA. Kalah jauh deh terminal Grogol.

Tapi wajar ya. Indonesia pun mendapat perlakuan yang sama saat ada kejadian besar. "Maklum, negara dunia ketiga." "Untung gue nggak tinggal disana." Atau yang lebih parah, "Muslim hellhole. Syukurin." Eits nggak boleh marah. Seberapa banyak dari kita yang akan bilang wajar Amerika sengsara karena "sarang setan LGBTQ"?

Lebih mudah menghina, mencela saat kita jauh; juga saat kita sudah tidak suka saja titik nggak pakai koma. Lebih mudah juga menggunjing saat kita nggak perlu berkaca. Miris saja sih mau ngatain Amerika rasis biadab sementara tiap ada komen soal Cina jawaban standarnya "Elu Cina mau gue jarah perkosa lagi kayak Mei 98?" Atau yang "Maaf, kamu agamanya apa?" karena kalau nggak seagama nggak usah diajak bicara. Atau yang melecehkan saat fisiknya nggak sempurna. Bukan hanya kaum difabel, tapi juga yang terlihat unik seperti orang Papua atau orang Sumba.

Ngelihat orang-orang Indonesia disini protes pun rasanya campur aduk. Di satu sisi sedih karena tahu di Indonesia kekerasan pada minoritas masih umum, jadi kok kelihatan munafik. Di sisi lain senang karena paling nggak disini mereka bisa protes tanpa takut dibacok. Di Indonesia protes anti kekerasan pada minoritas mana ada yang berani. 

Dan itu sih bedanya dengan Amerika. Mau berita seganas apapun tapi faktanya tetap lho semua orang ikut protes, bukan cuma yang teraniaya. Bahkan movementnya disini sampai pada tahap kalau kita nggak ikut tergerak kita yang orang jahat. Kebayang nggak kalau di Indonesia semua orang seperti ini membela Jamaah Ahmadiyah atau melawan pembubaran Gereja? Atau rusuh di Ibukota karena orang Papua/Kalimantan/Pedalaman ditembak polisi (sewaan) pembuka lahan/pengusaha tambang?

Bukan berarti disini nggak ada rasisme. Rasa tidak suka antar ras itu ada. Saya yang kemana-mana naik bis melihat (dan mengalami) rasisme dari berbagai ras. Tapi lebih banyak orang yang baik sama saya tanpa melihat ras saya daripada orang yang brengsek. Dan ini yang saya harap akan lebih menjamur di Indonesia bagai panu di orang yang nggak mandi berhari-hari: orang-orang yang melihat orang lain sebagai sesama manusia, serta berani berdiri menentang kezholiman walau bukan mereka yang dizholimi dan walau tahu mereka bisa sengsara karenanya.

Api yang sekarang membara nantinya akan padam, begitu pula toko-toko yang dihancurkan akan dibangun kembali. Saya hanya bisa menanti dan melihat apakah ada perbaikan akan ketidakadilan yang dilakukan terhadap kaum kulit hitam, akan perubahan di kepolisian untuk memastikan mereka tidak bisa semena-mena. Saya yakin akan ada perbaikan, karena masyarakat memang menginginkan itu. Indonesia bagaimana? Belajar apa dari Amerika?

No comments:

Post a Comment

Search This Blog