Hari ini saya memesan makanan dari restoran Indonesia karena kebetulan lewat di area itu. Dari yang harusnya siap 30 menit, baru siap satu jam lebih kemudian. Setelah sampai rumah 25 menit kemudian, baru ngeh bahwa dua item hilang walau di list terlihat semua sudah dicentang.
Saya terus berpikir positif bahwa hari ini Hari Ibu dan restriksi lockdown baru saja diangkat sebagian, jadi pasti orderan membludak. Tambah lagi menerima orderan online berbeda dengan saat pelanggan makan ditempat. Orderan online tidak memberikan waktu bagi restoran untuk membuat order sebelumnya dan penumpukan sangat mungkin terjadi.
Tapi sulit untuk tetap berpikir positif saat melihat ada jeda 30 menit antara orderan saya dan orderan online lain yang jam masuknya sama, padahal order saya cuma nasi kotak yang nggak ada yg dimasak spesial. Atau saat orang yang bolak-balik bertanya dengan cepat mendapat orderan mereka. Saat membuka somay Bandung saya ngeh kecapnya tidak dimasukkan, dan secuil kentangnya terlihat menghitam. Tuhan.
Mungkin saya kebetulan sial, tapi hal-hal kecil seperti ini yang membuat saya tidak terlalu minat berbelanja hal-hal Indonesia disini. Menu Indonesia yang rasanya numpang lewat, barang-barang yang tidak ada ukurannya (gue bayar $8 untuk sambal sekecil ini?!), sampai tantangan harus bolak-balik tanya harga, stok, dan shipping fee.
Apakah pendapat saya penting? Jelas nggak. Akan selalu ada yang membutuhkan seiris kampung halaman. Akan selalu ada yang membeli. Tapi apa salahnya sih kita mencoba maju dan menaikkan standar kita?
Era setelah covid-19 adalah era baru dimana kita tidak bisa lagi bergantung pada indahnya penampilan atau dukungan selebriti untuk menjual sesuatu. Era setelah covid-19 adalah era brutal dimana yang bisa bertahan hanya barang dan jasa yang kualitasnya bagus dan pantas dibeli. Turunnya daya beli jelas juga akan membuat konsumen semakin pemilih.
Seperti menu saya hari ini. Begitu saya membuka nasi kotak saya rasanya hati mencelos. "Beneran gue bayar $75 untuk semua ini?" Iya saat ditata cantik di piring saji yang sangat instagram-able. Di kotak siap bawa, nope. Saya rasa banyak orang baik di Los Angeles dan Indonesia yang merasakan seperti ini dengan pembelanjaan saat Covid-19.
Dan ini bukannya nggak mungkin lho. Saya bakal belanja di Toko Rame di Bellflower karena saat pesanan online delivery saya ada yang tertinggal ownernya sendiri yang akhirnya mengantar. Homecook yang harus pickup di rumahnya tapi rasa makanannya sama sekali nggak didiskon. Martabak OK yang saat saya minta tambah note kecil untuk teman saya malah dibuatkan kartu lengkap.
Dan selalu ada Bone Kettle yang buat saya merupakan gold standar makanan Indonesia dan lumayan terkenal. Fusion sih, tapi kalau saya mau impress seseorang Bone Kettle pilihan saya. Atau Borneo/Uncle Fung yang direkomen justru oleh teman non-Indonesia dan sampai punya 3 lokasi, semua karyawannya konon diimpor dari Indonesia.
Kita senang dan bangga kalau Indonesia diapresiasi dunia, makanya dengar kosakata Indonesia dipakai di film Hollywood atau orang asing melakukan sesuatu di Indonesia rasanya bangga banget. Tapi itu nggak cukup. Nggak cukup hanya memanfaatkan "Indonesia" tanpa punya nilai lebih.
Kedepannya kita harus bisa mengikuti standar global, atau bahkan lebih. Karena untuk baik barang maupun jasa, rasa dan kualitas tak akan bohong. Baik rasa dan kualitas dari barang tersebut maupun rasa dan kualitas yang dirasakan si pembeli barang dan jasa tersebut.
Jangan tidur terus. Dunia sudah memanggil kita lho.
No comments:
Post a Comment