AdSense Page Ads

Sunday, May 17, 2020

Derita Ibu Tiri



I miss my stepkids. Saya rindu anak-anak tiri saya. 

Tetiba teringat mereka saat saya dan Kangmas membicarakan masa depan kita. Saya bilang tujuan akhir saya menikah, tapi saya takut kalau gagal lagi semua akan lenyap seketika seperti dulu. Seperti anak-anak tiri saya.

Jadi orang tua tiri itu, kalau dilakukan dengan benar, tidak mudah. Seringkali ketiban mengurusnya saja, tapi giliran ada sesuatu kita nggak punya hak bicara karena "dia bukan anak elu". Dan ya, saat perpisahan terjadi kita nggak akan dapat apa-apa.

Belum lagi kecemburuan dari orang tua kandung. Apalagi kita yang perempuan, yang mengandung dan membesarkan anak ini. Tetiba perempuan lain muncul darimana dan minta dipanggil Ibu juga, seolah menghilangkan keberadaan kita. Mau gue high five pake sendal jepit gitu?

Terkadang mantan pasangan, apalagi yang lelaki, memilih tutup mata. "Ya kamu dong beradaptasi sama anakku. Kan kamu yang gedean." Padahal peran orang tua kandung sangat besar agar si anak mau menerima mahluk baru ini dalam hidupnya.

Kita yang orangtua tiri pun kadang minta digampar. Terlalu sering kita bersikap "Itu kan anak loe, bukan urusan gue." Kita yang cemburu saat pasangan mesra dengan anaknya dan berpikir "ini pasti mengingat masa indah dengan si mantan!" Kita yang merasa tidak dicintai sepenuhnya.

Ada banyak ego dan ketidakpercayaan diri disini, baik dari kita sebagai orangtua tiri, pasangan yang orangtua kandung, dan si mantan. Namun bagaimana dengan ego si anak? Bagaimana dengan kepercayaan diri si anak?

Kita seringkali menyepelekan perasaan si anak dengan argumen "Dia masih kecil, masih belum mengerti apa-apa". Padahal saat tumbuh kembang inilah kematangan emosionalnya ditempa. 

Bayangkan hidup dengan orang tua yang terus mencerca pasangan baru si mantan, atau yang dengan  cueknya "pokoknya kamu harus respek pasangan baruku", atau dengan orang tua tiri yang sebal akan kehadiranmu. Atau sekalian ketiganya sekaligus.

Entah berapa banyak pembaca di Indonesia yang saat ini harus ikut pembatasan dengan tinggal bersama anak tiri, atau dengan anak kandung tapi juga bersama pasangan baru (orang tua tiri). Bagi yang seperti ini, semoga bisa terus ingat bahwa anak harus selalu nomor satu.

Saya tahu nggak akan mudah, apalagi anak yang sudah beranjak dewasa dan mulai emo/labil perasaannya. Terus ingatkan diri kita bahwa mereka tidak memiliki kematangan emosional yang kita miliki seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman kita.

Mereka juga nggak punya pilihan. Bukan mau mereka orang tua mereka berpisah. Orang tua tiri mereka pun bukan pilihan mereka. Sementara kita, kitalah yang memutuskan berpisah dan/atau bersama pasangan baru. Nggak adil kita memaksa mereka mengerti sesuatu yang bukan keputusan mereka.

Cara seseorang menghadapi anak, baik anak kandung maupun anak tiri, harusnya menjadi tolok ukur bagaimana pribadi orang tersebut. Ayah yang bahkan tidak menafkahi anaknya sangat mungkin akan menelantarkan anak pasangan barunya kedepannya, atau ibu yang menggunakan si anak sebagai senjata untuk menghukum si bapak. Ibu/ayah tiri yang menolak mengurus anak tirinya karena "itu bukan anak gue" terlihat hanya ingin saat suka dan bukan saat duka. 

Kalau pertanda buruk diatas adalah sesuatu yang anda lihat saat pembatasan ini dan tidak ada perbaikan walau anda sudah mencoba berkomunikasi, ini waktunya anda memikirkan apakah pasangan anda seseorang yang tepat bagi anda dan anak anda atau apakah anda siap menjadi orang tua tiri. 

Karena anak mengerti. Karena anak meniru. Karena anak memiliki perasaan mereka sendiri yang kompleks namun mungkin sulit mereka utarakan. Jangan jadikan mereka korban dari ego kita.

No comments:

Post a Comment

Search This Blog