Kalau hidup saya cerita dongeng, saya adalah putri yang gagal. Sudah, cerita dongengnya berakhir disitu. Dan cerita superheronya pun dimulai. #lho
Saya selalu meringis saat melihat kebelakang. Nasibmu nak: sudah jelek, gendut, nggak rapi, dan selalu nggak 'masuk' didalam lingkungan. Bukan cuma karena besar di luar Bali, tapi karena dasarnya memang aneh, queer.
Jadilah si Dayu bodoh ini mempertanyakan segala sesuatu, termasuk peranan yang bisa dia lakukan dalam masyarakat sebagaimana diharapkan dari namanya yang konon darah pendeta. Dan dia nggak suka jawabannya.
Gini ya, nggak mungkin peranan wanita cuma pemanis acara, sibuk mengurus banten dan konsumsi. Kalaupun bisa mandiri, tanpa suami masih dianggap nggak komplit dan kemudahan 'bergerak' di masyarakat terbatasi. Ini dunia pria, mbak bodoh.
Namun dia juga nggak sudi sekedar cari suami. Bisa kan jatuh cinta karena kepribadian dan otaknya, nggak selalu fisik, pikirnya naif. Sayangnya dia ga seberuntung itu.
Logika sih, di struktur sosial dimana si lelaki diperbolehkan mengambil istri siapa saja (atau paling nggak dimafhumi untuk punya simpanan lain) sementara si perempuan harus dari grup itu, pilihan perempuan nggak banyak. Syukur kalau terpilih.
Kalau kebetulan terlahir sempurna, hidup lebih mudah. Kawin kalau bisa dengan yang lebih 'wah' baru bisa lebih 'dimaafkan'. Turun kasta atau kawin beda suku bangsa lebih bisa diterima kalau pasangan tajir melintir. Nyebelin kan.
Si Dayu tahu harapannya nyaris nol disitu. Ogah banget mengemis cinta, apalagi dia sadar nilai dirinya yang (uhuk) lumayan. Tapi disisi lain ia ingin melayani umat, ingin berguna di masyarakat.
Apakah bersuami itu sebuah syarat mutlak untuk tidak menjadi Dayu gagal? Tidak bisakah ia melayani tanpa harus ditatap aneh, "kasihan ya dia nggak kawin", atau tak bisa lagi melayani karena keluar kasta?
Dan karena dia nekat, akhirnya dia ke Amerika dan menikah disana. Terlanjur basah, mandi sekalian. Toh sudah anak buangan dan gagal, sekalianlah cari kebahagiaan. 4 tahun kemudian Dayu ini jadi penulis dan 'melayani' lewat tulisannya. Oh, dan dia bahagia banget dengan hidupnya.
Si Dayu ini hoki, pas banget bisa kabur dari situasi yang ia rasa tidak menguntungkannya, dan kaburnya pun dapat hidup yang jauh lebih baik. Dia juga hoki punya keluarga yang mengerti dan mau mendukung apa yang sebenarnya ia butuhkan. Ceritanya bakalan beda kalau nggak.
Dan ini sih yang penting. Nasib baik si Dayu dengan hidupnya mungkin susah terduplikasi, tapi banyak Dayu-Dayu yang lain yang bisa tertolong dan terjamin dengan dukungan keluarga serta lingkungan yang memadai.
Bagaikan bunga, tiap wanita adalah bunga yang berbeda dan memiliki keindahannya sendiri. Jangan paksakan: kalau bukan bunga yang tampilannya begini dan warna serta ukurannya begini maka nggak masuk hitungan. Wanita bukan sekedar fisik belaka.
Punya standar pun oke asal tahu diri. Jangan maunya istri yang fisik dan kualifikasi yang mumpuni sementara fisik dan kualifikasi calon suami jeblog. Standar tinggi untuk wanita harus berlaku untuk pria juga. Nama kan dibawa keduanya.
Di dunia yang terus meluas dan batas-batas yang runtuh, terlalu naif berpikir wanita akan terus diam dalam sangkarnya. Pertukaran ide dan interaksi dengan orang lain di luar grupnya akan membuka mata, menerbitkan keingintahuan, menimbulkan hasrat untuk melebarkan sayap dan terbang meraih impian.
Pria tidak lagi cukup hanya memberi makan dan mengajak burung dalam sangkar ini bersiul sesekali. Pria harus siap menjadi pohon yang berakar kuat tempat si burung cantik ini terbang kembali, tempat dimana ia merasa aman dan dicintai.
Repot banget ya? Padahal kalau ga cocok tinggal memitra, tinggal cari selingkuhan. Memitra gigi loe. Mungkin masyarakat cuma bisa bergunjing saat (lelaki) memitra/ berselingkuh, tapi ada baiknya ingat ini: anak itu 100% pasti anak ibunya, bapaknya siapa belum tentu. #senyumbengis
Oh yeah. We have power too. Kita wanita punya kekuatan juga. Sudah saatnya para Dayu, para wanita diperhitungkan, bukan cuma sekedar pemanis ruangan dan penghangat tempat tidur. Kita bisa mekar sempurna tanpa lelaki yang harus menopang kita.
Perubahan paradigma ini perlu usaha kolektif. Semua orang harus belajar menempatkan wanita dan pria setara, di tempat yang seharusnya. Di dunia yang berubah dengan amat cepat, keluwesan beradaptasi penting untuk memastikan adat dan tradisi bisa terus berjalan dan tidak terpuruk mati. Bukankah ini yang kita perlukan?
Di puncak sebuah bukit yang menghadap kota Los Angeles, si Dayu bermain ayunan sendirian, memikirkan ide tulisan berikutnya dan bagaimana tulisan itu bisa bermanfaat. Di mata masyarakat mungkin ia Dayu yang gagal, namun ia tetap melayani sebisanya, dan ia tetap bahagia dengan hidupnya.
Tidakkah itu yang kita semua butuhkan? Kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup. Itu saja cukup.
No comments:
Post a Comment