Dengan satu foto ini saya bisa sukses menyinggung sekian banyak orang.
• Yang anti-Yahudi bisa menuduh saya pro-Yahudi karena foto di depan Menorah
• Yang Yahudi bisa menuduh saya melecehkan agama Yahudi karena foto seolah saya ga ngerti Menorah itu apa
• Yang Kristen bisa menuduh saya melecehkan semangat Natal karena baju saya yang ala Santa ga jelas
• Yang Islam bisa menuduh saya memaksakan kesekularitasan saya kepada follower saya
• Yang konservatif bisa menuduh saya mengajak follower saya menjadi orang nggak bener karena pose dan baju saya
• Yang Hindu pun bisa menuduh saya memalukan nama keluarga dan kasta karena iseng ga jelas begini
Saya padahal nggak ada maksud apa-apa. Sebenarnya malah cuma ingin menggoda teman saya yang campuran Yahudi tapi nggak bisa ikut nonton konser itu hahaha.
Tapi berasa sedih dan capek hati ga sih, terus tersinggung dan terbakar amarah? Terus merasa dikejar dan harus waspada akan 'godaan setan' di dunia ini?
Godaan setan mah buat saya belanja hihihi. Perilaku konsumtif yang membawa ke lingkaran ketidakmampuan dan ketidakpercayaan diri, membuat kita terpuruk tak berdaya.
Tapi nggak ada yang ngomongin ini. Lebih riuh membicarakan bagaimana masuk surga daripada bagaimana hidup tenang di dunia. Lebih ramai pembenaran akan siapa kita daripada mencoba mengerti orang lain.
Sedihnya, si kecil dan si miskin lah yang terjebak dalam lingkaran ini. Si orang yang kurang berpendidikan dan orang yang terpencillah yang terperangkap dalam pola pikir ini.
Horang kayah mah lain cerita. Teman-teman bos ato yang posisi lumayan bagus tetap mengucapkan selamat natal di fesbuk, atau minimal nggak posting 'dilarang mengucapkan selamat Natal'. Belum lagi para pejabat.
Ya iyalah. Kolega mereka di dalam maupun di luar negeri pasti banyak yang merayakan Natal. Cari mati banget mengiklankan menolak mengakui hari raya Natal. Sikap bermusuhan bukan sesuatu yang dianggap enteng dalam dunia bisnis/kerja.
Tapi yang kecil dan miskin? Yang lingkungannya orang-orang yang segolongan? Kibas terus api kebenciannya, entah demi apa. Mungkin para petinggi ini pun memiliki perasaan negatif yang sama, tapi mereka mampu main cantik. Tinggal yang kecil yang membara.
Jadi buat apa membenci? Buat apa marah dan merasa dikejar oleh 'hal-hal yang tak baik', disaat para petinggi tidak memberi contoh? Buat apa jadi pion belaka, sapi-sapi yang dicocok hidung, bara api yang terbakar habis?
Boleh kok berpendapat. Boleh kok merasa tak nyaman. Boleh kok memiliki preferensi dan pilihan. Tapi lihat sekeliling anda. Apakah orang yang lebih tinggi daripada anda melakukan hal yang sama, ataukah anda saja yang dipergunakan seenak hati?
Semua agama dan golongan mengalami ini, dimana para petinggi seolah bebas melakukan apa saja, namun pengikut yang kecil diadu. Pengelompokan dan solidifikasi massa itu penting untuk tahu seberapa kuat suatu grup. Dengan mempertentangkan terhadap grup lain akan terlihat seberapa kuat dan solidnya grup tersebut.
Petinggi, sekali lagi, lain cerita. Lihat para ketua dan pejabat partai berseberangan yang bisa menjadi mesra walau sebelumnya para pendukungnya dibuat tawuran. Atau pejabat dan pemuka agama yang lain dibibir lain di kelakuan. Atau petinggi agama yang duduk manis menikmati buffet di hotel sebelum demo 212 sementara pendukungnya hanya menyesap kopi gelas diluar sana.
Sudah cukup para petinggi ini menjual emosi tanpa mereka melakukan atau bertanggung jawab akan barang jualan mereka. Sudah cukup kita membeli emosi yang hanya akan membakar kita dan menguntungkan pihak lain.
Hidup ini cuma sebentar. Jangan habiskan dengan mengkritik dan membenci pilihan bunga di taman orang lain. Fokus kepada bunga-bunga di taman anda sendiri, bagaimana agar bisa berkembang indah dan kuat. Karena kedamaian adalah hadiah terindah yang bisa anda berikan pada diri anda dan orang lain disekitar anda.
Salam hari raya dari Los Angeles.
No comments:
Post a Comment