Kemarin saya ke Universal Studio lagi. Akhirnya menyerah beli Annual Pass (tiket setahun), dengan alasan untuk menemani teman SMA yang sedang main ke LA. Ini epic banget lho, karena sebelumnya saya males banget pergi ke taman hiburan.
Saya selalu berpikir pergi ke taman hiburan itu garing, apalagi saya jomblo. Saya juga nggak fanatik banget sama film dan sebagainya. 3 tahun lebih tinggal di LA, nggak pernah sekalipun pergi ke Disneyland atau Universal Studio yang notabene sejengkal dari rumah. Yah, nggak sejengkal amat sih. "Mahal," alasan saya yang lainnya, padahal Annual Pass Universal Studio itu lebih murah dari budget jajan saya sebulan. Pokoknya nggak deh.
Perasaan saya berubah saat dapat kesempatan masuk ke Universal Studio secara gratis. Siapa sih yang nggak suka gratisan? Orang-orang yang bersama saya itu menyenangkan. Saya masuk atraksi nggak pakai mengantri karena kebetulan teman saya punya Fast Pass. Pokoknya semua menyenangkan deh. Segala iming-iming yang saya dengar sebelumnya mendadak masuk akal. Dunia terasa indah. Saya nggak mikir dua kali untuk beli Annual Pass dan minta cuti dengan alasan 'menemani teman'.
Kenapa sih agama nggak seperti ini?
Seriusan lho. Kalau saya pertama kali ke Universal Studio ini dengan paksaan, baik karena ancaman, karena diledek, atau karena dibuat merasa tak nyaman dengan diri saya, pasti saya yang nggak lagi-lagi deh main kesana. Males banget kan. Nggak butuh-butuh amat juga. Tapi pengalaman saya dengan Universal Studio ini sangat positif, sangat menyenangkan, dan saya merasa sangat bermanfaat untuk diri saya. Seperti saya bilang, malah saya yang antusias untuk menjadi 'warga' Universal Studio.
Kebayang nggak kalau ini agama dan/atau kepercayaan? Saya sih nggak mengerti ya kenapa orang suka repot mengajak orang masuk agama/kepercayaan lain. Apakah karena merasa benar sendiri? Apakah karena mengharap pahala (baca: recruitment bonus) bagai pekerja MLM? Apakah karena memang ingin membantu orang? Tapi kalau mau membantu orang, berlaku agresif dan memaksakan pendapat kayanya malah bikin orang kabur, bukan?
Soal rekomendasi, saya pakarnya. Kalau ada orang yang duduk ngobrol sama saya, pasti saya akan memberikan rekomendasi ABC. "Coba deh jalan-jalan naik kereta, asik lho!" "Nonton opera itu bisa cuma seharga $16 lho!" "Naik blue line ke Santa Monica itu paling top deh…" Kenapa? Karena hal-hal yang saya rekomendasikan itu membuat saya bahagia, dan saya ingin membagikan kebahagiaan saya kepada orang lain.
Namun kalau terlihat orangnya nggak nyaman atau nggak tertarik rekomendasi saya, ya sudah, nggak apa-apa. Saya harus menghormati perasaan lawan bicara saya. Lagipula, yang cocok buat saya belum tentu cocok dengan orang lain. Ada orang yang nggak suka pedas, ada orang yang takut ketinggian, ada orang yang nggak suka bergaul.
Nggak ada satupun rekomendasi yang semua orang pasti cocok. Kalau buat saya itu memang cocok buat orang tersebut, pendekatannya yang saya ubah agar sesuai dengan kebutuhannya. Kalau masih nggak cocok ya nggak apa-apa. Mungkin belum saatnya. Nggak usah dipaksa.
Adem kan kalau begini? Seperti saya dan Universal Studio tadi. Yang mengajak saya pertama kali (dengan gratis) itu orangnya baiiiik banget, dan saya percaya sama dia. Kalaupun saya harus bayar setengah harga mungkin saya masih mau bela-belain, karena ya itu, orangnya yang suuuper baik dan sudah menunjukkan dia bisa saya percayai.
'Trust is earned, respect is given, and loyalty is demonstrated.' Kepercayaan itu didapatkan (dari usaha), rasa hormat itu diberikan, dan kesetiaan itu ditunjukkan. Teman saya telah memperoleh kepercayaan saya, telah memperoleh rasa hormat saya, dan telah menunjukkan kesetiaannya. Jangankan disuruh datang main (gratis) ke Universal Studio, disuruh menemani main ke kuburan pun mungkin saya mau.
Dikala riuhnya kesinisan soal artis yang lepas jilbab, atau cerita teman berjilbab yang dibentak ibu-ibu yang juga berjilbab saat mencari tahu lebih lanjut tentang pendaftaran di sekolah Kristen, saatnya kita bertanya, apa sih yang kita cari dari agama kita? Jangan salah, semua agama dan kepercayaan memiliki orang-orang yang seperti ini, para ekstrimis yang menggunakan agama untuk menjustifikasi tindakan dan hasrat mereka. Baca deh soal ekstrimis Hindu di India, ekstrimis Katolik di Irlandia, ekstrimis Kristen, Buddha, semua lengkap kok.
Kalau memang niatnya baik, sampaikanlah dengan baik. Nggak ada lho ceritanya Tuhan menilai dan menghakimi: "Ih jijay deh eike sama yu," Ada juga bertebaran cerita betapa pengasih dan pemaafnya Tuhan, yang bahkan mahluk terkecil dan terhina pun dikasihi. Siapa kita sih yang dengan pedenya takut ketularan jelek, makanya sibuk menghakimi? Bila iya, apakah itu nilai agama bagi kita, sekedar pembenaran diri bahwa kita lebih baik dari yang lain?
Kita mencari kebaikan di dunia ini, dan kita ingin membagikan kebaikan itu, ingin membagikan hal-hal yang membuat kita bahagia agar orang lain ikut bahagia. Wajar banget kok, dan terimakasih banyak sudah menjadi seseorang yang super dengan mau berpikir tentang kebahagiaan orang lain. Ini yang harus ada dalam tiap langkah kita: ketulusan hati ingin membuat orang lain bahagia.
Kalau dia nggak bahagia dengan rekomendasi kita, ya pendekatannya yang kita ubah, atau bahkan diri kita sendiri. Sudahkah kita menunjukkan kita layak mendapat kepercayaannya dan membuatnya percaya kita memikirkan kebahagiaannya? Kalau masih tidak bisa, biarkan dia dengan pilihannya. Ingat, nggak semua orang cocok dengan apa yang cocok untuk kita. Pilihanmu pilihanmu, pilihanku pilihanku.
Nah sekarang, kalau ada pembaca yang main ke Los Angeles kasi tahu ya, kita main ke Universal Studios bareng hihihi.
No comments:
Post a Comment