Celotehan saya soal pelakor di fesbuk mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, baik yang pro maupun kontra.
Pelakor itu apa sih? Apakah semua yang 'merebut' laki orang? Apakah semua selingkuhan seperti itu, yang menggoda dan merayu demi harta belaka, demi status sosial dan rasa "Gue menang!"? Apakah alasan menjadi selingkuhan itu bisa digeneralisir?
Saat tulisan saya viral, saya mendengar sekian banyak cerita perselingkuhan. Banyak diantaranya cocok dengan deskripsi diatas. Saya menyebutnya pelakor profesi, karena ya mereka mencari nafkah atau kepuasan diri dengan cara seperti itu.
Para pelakor profesi inilah yang biasanya dihujani hadiah dan kemewahan lainnya. Sekarang saja baru pada bersuara, padahal dari jaman saya kecil cerita tentang (istri) simpanan itu sudah jamak. Gosip artis jadi tentengan pejabat pun sudah biasa.
Sementara ada yang saya sebut pelakor kondisi, yang mereka menjadi selingkuhan karena kondisi, biasanya karena cinta. Si lelaki menjanjikan dunia, dan akhirnya dia pun luluh. Lucunya orang dengan cepat berpikir pasti seks terlibat, padahal belum tentu. Kadang hanya cinta yang bermain.
Sebagai seseorang yang dua kali menjalin hubungan 'terlarang' ala Romeo Juliet, saya tahu apa rasanya jatuh cinta hingga halangan apapun akan saya jalani demi orang ini. Atau perasaan putus asa: "Nggak apa-apa saya cuma dibalik bayangan dan tak terlihat, asal saya bisa tetap bersamamu". Cinta itu buta dan tak kenal akal sehat.
"Harusnya tahu diri, begitu tahu itu suami orang ya pergi dong!" Tapi bagaimana kalau lelaki itu datang terus? Bagaimana bila rasa itu tak bisa berhenti? Ada banyak alasan untuk menjadi selingkuhan, bagaimana kalau ini bukan tentang harta, tapi tentang cinta? Akankah kita terus menghujat dan memaki?
Kalau bukan dengan si Mbak, suami saya akan menemukan seseorang yang lain. Hubungan kami saat itu memang sudah tidak terselamatkan. Saya pergi pun bukan karena perselingkuhan itu, tapi karena saat ditanya, ia menolak berpisah dengan si mbak. Saya tahu yang saya mau, dan saya tidak mau berbagi cinta. Jadi saya pergi.
Apakah si mbak seharusnya tidak melakukan itu? Oh iya. Jelas. Bukan karena 'terlarang' etc, tapi demi keamanan diri sendiri, demi harga diri. Akan ada pihak yang terluka, pasangan asli atau dirinya sendiri, atau keduanya. Apakah cinta tersebut cukup berharga untuk dibayar dengan kepedihan itu?
Tapi saya saat ini berada di posisi yang jauh lebih baik dari saat saya bersama suami saya. Saya lebih percaya diri, lebih menarik, lebih menikmati hidup. Jadi untuk apa semua cacian dan persekusi terhadap si mbak ini? Yang tiap ada berita pelakor pasti ada 'serangan' baru terhadapnya? Yang sampai sekarang nggak bisa punya akun sosial media karena terus dikejar. Kalian itu membully untuk 'membela' siapa sih? Saya saja yang mengalami sudah memaafkan dan merelakan.
Dan pertanyaan ini terus berulang di kepala saya tiap orang ramai-ramai membully pelakor, tiap orang memposting nama dan data lengkap sang pelakor. Terus lu pikir abis itu laki lu mo balik lagi sama lu? You are hideous, darlin'. Elu horor banget. Dan yang lain yang nggak ada urusannya ikut menyerang, konon "agar tahu rasa", konon "memberi pelajaran", konon "biar lain kali nggak diulangin".
Berfungsi nggak? Ada juga nambah dosa karena melukai orang lain tanpa alasan. Yang "pelakor profesi" dapat iklan gratis, besok-besok bapak-bapak gatal tahu kontak siapa. Yang "pelakor kondisi" teraniaya, dan walau dia mundur pun, kalau dasarnya si suami gatal atau hubungan suami-istri sudah tidak harmonis, si suami akan menemukan pelakor lainnya dan siklus ini terus berulang. Buat apa terus kita membully?
Saya mengerti. Sudah terlalu banyak yang terluka. Entah sejak kapan kita dipaksa nrimo soal selingkuhan, istri muda, simpanan, dan segala bentuk ketidaksetiaan lelaki. Tapi jaman sudah berubah. Mobilitas sosial wanita tidak lagi tergantung pada siapa yang dikawini atau ditiduri. Kita tidak perlu lagi melihat sesama wanita sebagai saingan yang akan merebut kebahagiaan kita.
Ini bukan berarti kita tutup mata atas perselingkuhan ya. Yang paling menyakitkan bagi saya adalah janji pernikahan yang ia ingkari. Dan inilah esensi perselingkuhan, bahwa si pasangan memutuskan mengingkari kontrak pernikahan yang kalian sepakati bersama. Apapun andil pelakor, yang membohongi anda dan mengingkari janji adalah pasangan anda.
Anda ingin perselingkuhan berhenti terjadi? Bisa lho. Benar-benar hilang dari muka bumi sih nggak mungkin, tapi kita bisa membuatnya sebegitu nista dan memalukan sehingga orang pikir-pikir untuk melakukannya. Kita bisa memberi hukuman sosial untuk orang-orang yang memutuskan berselingkuh, bukan hanya untuk orang-orang yang menjadi selingkuhan.
Di Amerika yang konon free sex dan sebagainya, perselingkuhan itu hukuman sosialnya berat. Gini lho, saya kalau sekarang saat ini juga mau seks, saya bisa langsung dapat tanpa usaha dan tanpa dihakimi. Suka-suka saya mau ngapain. Segini bebasnya Amerika. Tapi seandainya kemarin saya cerai minta tunjangan atau gono-gini, pasti saya dapat karena si suami yang selingkuh, bukan saya. Makanya saya diancam mau dicabut Green Card nya pun saya cuek, karena tahu hukum berpihak pada saya. Dia yang melanggar janji, bukan saya.
"Tapi itu kan Amerika, beda sama Indonesia..." Kenapa kita nggak bikin sama? Kenapa kita nggak bikin norma dimana orang yang ketahuan selingkuh itu dianggap lemah dan memalukan, nggak bisa dipercaya? CEO perusahaan dan pejabat yang harus mundur saat ketahuan punya cem-ceman, bukannya malah memangsa artis muda dan memamerkan 'tentengan' baru? Rekan kerja/teman yang harusnya kita jauhi dan bukannya kita kagumi karena gonta-ganti wanita? Janji suci ke Tuhan saja diingkari, apalagi ke elu yang cuma teman/rekan kerja.
Dunia nggak akan berubah dalam semalam. Anda mau perselingkuhan tidak terjadi lagi, anda harus berani mengubahnya. Anda harus berani berkata dan bersikap "Brengsek loe!" pada orang-orang yang anda tahu berselingkuh. Anda harus berani menjadi Solange Knowles yang konon menyerang Jay Z di lift saat dia dengar Jay Z selingkuh/tidak setia pada Beyoncé. Anda harus mampu melihat dan mengerti bahwa yang salah adalah orang yang mengingkari janji.
Apakah anda harus selalu aktif? Ya nggak ya. Jangan ikut campur urusan yang bukan urusan anda. Banyak juga orang yang curhat sama saya membuat saya berpikir nggak heran pasangan mereka kabur, saya saja yang dicurhatin mau kabur. Anda nggak akan tahu cerita lengkapnya kecuali anda memang terlibat. Nggak banget kan anda sudah dosa membully orang, padahal mungkin salah si 'korban' juga?
Tapi perubahan itu mungkin. Amerika yang dulunya terkenal dengan 'Marlboro Man', sekarang lumayan anti rokok. Orang yang merokok dianggap nggak sehat dan menjijikkan, nggak menarik. Sekali lagi, ini nggak terjadi hanya semalam, ini butuh waktu, butuh penjelasan dan pemahaman terus menerus. Semua pihak dan berbagai lapisan masyarakat harus terjangkau dan harus sepaham agar perubahan bisa terjadi.Tapi apakah mungkin? Mungkin banget.
Kalau anda masih terjebak dalam perangkap jender, "harusnya kan sebagai wanita.." dan "namanya juga lelaki...", mari kita lihat ini dari segi bisnis. Ada pihak yang mengingkari isi kontrak. Ada pihak yang memanipulasi keuangan 'perusahaan' untuk pemakaian pribadinya. Ada pihak yang melakukan 'kerja sampingan' sehingga menelantarkan kerja dan tanggung jawab utamanya di 'perusahaan'.
Kalau anda rekan kerja atau bahkan rekanan milik dalam perusahaan itu, apa yang akan anda lakukan? Kalau anda hendak mempekerjakan orang ini atau menjadi rekanan milik dengan orang ini, tidakkah anda merasa ragu dengan track recordnya yang terlihat tidak memiliki loyalitas di tempatnya 'bekerja'?
Inilah wajah perselingkuhan yang sebenarnya. Bukan sekedar drama sinetron dimana si istri teraniaya karena tokoh antagonis yang menor. Kalau anda didalamnya, silakan lho kalau masih mau marah sama pelakor. Saya tahu sakitnya. Tapi jangan sampai menolak melihat bahwa ini sebenarnya tentang hubungan anda dan pasangan anda, bukan tentang pasangan anda dan orang lain. Setelah dia memutuskan selingkuhannya, anda masih berjuang untuk memaafkan dan mempercayainya kembali, bukan?
Buat yang nggak terlibat dan nggak tahu cerita lengkapnya, huss jangan ikut-ikutan. Seperti anda-anda yang sibuk mencaci si mbak saya, padahal bisa jadi saya dan dia sudah best pren poreper, sms an dan ngobrol tiap hari. Apa ini benar atau tidak hanya saya dan dia yang tahu, jadi jangan ikut-ikutan. Bersikap boleh, tapi jangan menyerang yang anda nggak tahu. Jangan ikut-ikutan memukuli orang hanya karena semua orang terlihat melakukannya.
Saya benar-benar berharap lebih banyak orang membaca dan membeli buku saya "Dear, Mantan Tersayang" terbitan Grasindo. Membaca saja sudah bagus, tapi memiliki lebih bagus lagi karena karena ibarat text book, buku ini bisa terus dibaca dan dibaca ulang. Buku itu menjelaskan tentang bagaimana mencintai diri sendiri, mencintai pasangan secara realistis, dan apa yang harus dilakukan saat perselingkuhan terjadi. Buku ini bisa menjadi pegangan untuk tetap rasional saat yang terburuk terjadi.
Bagi saya, mengerti apa yang terjadi itu lebih sehat daripada balas dendam mempersekusi pelakor. Mimpi anda sudah hancur, kenapa terus menghancurkan hidup anda juga dengan amarah yang tak terkontrol? You deserve better. Anda berhak mendapat yang lebih baik.
Mari kita memberikan porsi amarah yang sepantasnya pada yang memutuskan selingkuh. Orang pikir-pikir untuk tergoda narkoba dan alkohol karena mereka tahu resikonya, kenapa kita tidak berpikir yang sama dengan ketidaksetiaan? Bahwa ketidaksetiaan tidak bisa diterima secara norma dan resiko pribadinya terlalu berat. Ini yang akan meredam tingkat ketidaksetiaan. Ingat, pelacuran yang profesi tertua belum punah dari muka bumi ini, jangan berharap "pelakor profesi" akan hilang dengan supresi para pelakor.
Perselingkuhan bukan tentang pelakor, tapi tentang hubungan yang sudah tidak harmonis, tentang pasangan yang memutuskan tidak setia, tentang dinamika kedua orang ini. Mari kita memberikan porsi yang seharusnya, dan terutama 'menghukum' orang yang berulang kali tidak setia. Lu bolak balik menyakiti orang lain dan lu berharap gue percaya dan respek sama elu? Jangan harap bo'.
No comments:
Post a Comment