Lama-lama ngeliat berita tentang bos FT gerah dan muak juga. Jadi sekarang setelah ketahuan uangnya uang nasabah habis dicaci maki? Lah, salah siapa dong dulunya silau melihat gaya doski-doski ini? Melihat bos FT dibandingkan dengan istri bos fesbuk juga bikin eneg. Lu pikir bakal lu bakal ngelirik orang yang dandanannya ala istri bos fesbuk?
Let's face it. Jujur aja. Kita tuh cepat banget silau. Melihat orang pakai tas bagus dikit, pakai henpon kinclong dikit, pakai mobil mulus dikit, langsung yang "Oh la la". Coba yang biasa aja, ditoleh juga nggak. Yang kenal sama siapa dan pakai 'benda'nya apa lebih penting daripada isi dalam orangnya. Ayolah, seberapa sering sih kita yang menggunjingkan orang dengan "Tapi dia sih sabar dan baik banget lho, saya kagum sama dia" dibandingkan yang "Lihat nggak tas/jam tangannya??"
Kisah nyata: Adik saya yang lagi ngetren di instagramnya RioMotret sebagai model brand campaign untuk NY Fashion Week (iya, adik kandung. Adonannya pas bagus hahaha), waktu dia menang Miss Charm di ajang Miss Tourism Queen International di tahun 2008 nggak ada yang nyapa. Ada juga ditanya: "Siapa yang bawa?" (terjemahan: siapa yang mensponsori); dan bahkan satu Horang Kayah saudara jauh kami dengan manisnya bersabda: "Mana sini, suruh ketemu saya." Umm… Siapa elu coba? Sponsorin atau bahkan tahu dia berangkat juga kagak. Waktu wajahnya terpampang di billboard raksasa persis depan bandara Ngurah Rai dan di pintu masuk taman rekreasi di Bali tetap pada biasa saja. Bolak-balik runway untuk jualan baju malam mewah, tetap nggak dilirik karena keseharian cuek bebek bajunya.
Saya pun merasakan hal yang sama, yang kayanya semua achievement/pencapaian kami nggak ada artinya karena kami bukan horang kayah. Padahal menurut saya, saya keren banget lho. Nggak banyak orang yang datang ke Amerika dengan modal nol, dan bisa hidup sestabil saya dalam jangka waktu hanya 3 tahun. Bisa kerja kantoran pula. Anda tahu susahnya mencari kerja kantoran disini? Tapi tetap lho, acara keluarga atau jalan ke mal bisa dilihatin dan dinilai dari kepala sampai kaki. Seolah: "gini ya, pencapaian lu boleh keren, tapi kalo 'barang' lu nggak mentereng, jangan harap…"
Saya yakin bukan saya saja yang seperti ini. Ayolah, siapa sih yang nggak heboh sendiri saat harus datang ke kondangan? Berapa kali sih anda berpikir atau ditegur "Masa pakai yang itu, jelek sekali kelihatannya"? Seberapa sering anda mendengar orang menilai orang lain dari apa yang ia pakai di acara publik? Kita beli barang karena ingin dilihat, karena ingin menunjukkan siapa kita dan status kita, dimana posisi kita di kancah sosial. Kenapa? Karena kita sendiri melihat orang dari itu. We see what we want to see. Kita melihat apa yang ingin kita lihat. Kita mengasosiasikan 'barang' dengan 'status'. Bos FT ya kelewatan karena membeli 'barang' dengan uang orang (bila terbukti), tapi kita yang mengagungkan 'barang' juga bersalah.
Bukan berarti nggak boleh punya 'barang' ya. Mau beli tas semahal pesawat jet pribadi, asal uang sendiri dan sanggup, yuk sana. Menilai orang dari kapasitas 'barang' yang ia miliki juga nggak selalu buruk. Saya kalau diajak kencan, misalnya, juga lihat-lihat apa yang dia miliki. Kita boleh kok (dan harus) memiliki standar ekonomi. Kalau kita terbiasa makan di resto bintang lima dan (calon) pasangan terbiasa makan di warteg, kedepannya sulit karena hubungan yang ideal adalah yang bisa sama-sama nyaman. Salah satu masalah utama dalam hubungan adalah finansial lho. Susah untuk hepi kalau kepikiran uang (dan utang) melulu. Dan ya, kalau mau memanjakan diri sendiri, kenapa tidak? Apa salahnya? Toh hasil keringat sendiri.
Yang nggak boleh adalah silau saat melihat 'barang', yang langsung beranggapan seseorang 'Wah' bila memakai benda-benda bermerk, yang menilai seseorang berdasarkan apa yang ia pakai dan bukan dari siapa dia. Ok cowok ini bawa henpon iPhone 8 (yang bahkan belum keluar di pasaran), atau cewek ini bawa tas Hermes, tapi dia gimana ke orang lain? Baik nggak? Ramah nggak? Mau membantu nggak? Bisa dipercaya nggak? Atau anda nggak mau tahu? Yang penting total 'barang' yang dipakai seharga xx juta rupiah, maka dia otomatis lolos jadi best pren anda?
Saya suka disini karena nggak ada yang ngelirik dari atas sampai bawah mencoba menghitung total harga barang yang saya pakai sebelum mengobrol dengan saya. Biasanya (apalagi cowok) berhenti sampai di bagian wajah sebelum tersenyum sumringah. [Siapa itu yang bilang muka asli Indonesia kulit gelap itu nggak cakep, heh??]. Saya suka disini karena disini lebih penting bagaimana tampilan saya dan bukannya merk baju yang saya pakai. Saya suka disini karena orang yang walau baru kenal bisa bahagia banget saat saya sapa dengan manisnya, dan bukannya melengos pura-pura nggak kenal. Saya suka disini karena saya bisa menjadi saya, dan saya dilihat sebagai siapa saya dan bukan apa yang saya pakai. Sebaliknya, saya juga nggak silau.
Jangan salah, disini ada juga yang minta disambit sandal jepit. Teman yang datang ke acara di KJRI sekali waktu berkata dengan syoknya: "gila, lagi foto bareng bisa-bisanya tetap ngomongin kekayaan orang lain". Teman lain (bule) pernah diusir secara halus dari supermarket di kawasan 'elit' karena disangka gelandangan dengan baju gym buluk dan celana pendeknya. Dia dengan tenangnya menyuruh si manajer membawakan belanjaannya ke mobilnya, dan manajer ini bengong melihat mobil mewahnya. "That's… a really nice car," kata manajer reseh ini, "It is," kata teman saya dengan pedenya.
Pertanyaannya sekarang adalah, apa sih yang menurut anda penting? Ingat lho, memiliki suatu 'barang' bukan tanda kemampuan diri seseorang. Ingat juga, dekat-dekat orang kaya/beken nggak akan membuat anda ketularan kaya/beken. Semahal-mahalnya barang, akan ada yang lebih mahal lagi. Sampai kapan ini akan berlangsung? Kita menulis, menshare, membagikan tentang bagaimana mendidik anak berahlak mulia, tapi kita sendiri silau dengan hal-hal duniawi. Kita merasa harus memiliki suatu benda untuk menjustifikasi nilai kita, dan sebaliknya, kita menilai orang dari benda yang ia pakai. Apa hasilnya? Hasilnya ya bos FT. Jangan hanya menyalahkan mereka akan jalan yang mereka tempuh, karena secara tidak langsung kita pun menciptakan tekanan lingkungan/peer pressure hingga mereka memilih jalan itu.
Apa manusia akan bisa berubah? Susah ya hahahaha. Sekali lagi, nggak cuma di Indonesia lho. Seleb-seleb sini juga sering diagung-agungkan karena 'barang' yang mereka punyai. Tapi merubah dunia kan dimulai dari diri kita sendiri. Sanggup nggak kita tersenyum ramah dan menawarkan apa yang kita punya, terlepas dari sandal jepitnya merk Swallow ato merk Havaianas? Pede nggak kita duduk dan ngobrol sama si Mbak manis atau Mas lugu saat kondangan/acara walau kita tahu itu baju yang sama yang mereka pakai ke kondangan sebelumnya? Dan ini bukan karena kita kasihan atau sok baik, tapi benar-benar karena kita nggak perduli sama apa yang mereka pakai.
Membuka mata hati itu susah, tapi lebih sulit lagi menutup mata duniawi. Menutup mata duniawi kita membutuhkan kepercayaan-diri, membutuhkan rasa aman terhadap diri kita sendiri, membutuhkan kita mengerti lebih dalam mengenai manusia dan mampu berkata, "So what gitu?" Menutup mata duniawi membutuhkan usaha yang tidak sedikit, karena jauh lebih mudah menilai seseorang secara duniawi daripada secara pribadi. Ibaratnya mengerjakan soal pilihan ganda atau Benar/Salah lebih gampang kan daripada soal "Terangkan mengenai…"
Sekali lagi, kagum itu boleh. Punya impian itu nggak kenapa. Saya ingin sekali punya Google Phone, misalnya, ya boleh dong saya bermimpi dan berusaha mengejarnya. Tapi saya nggak ingin (dan semoga nggak akan) menjadikan diri saya sebagai "Si Ary Yang Pakai Google Phone". Apa yang saya pakai tidak mendefinisikan saya. Sebaliknya kalau saya lihat orang pakai Google Phone saya pasti sirik dan heboh berat, tapi bukan berarti mereka mendadak jadi super keren karenanya. It takes more than that to win me over, butuh lebih dari itu untuk membuat saya terkesan.
Dunia nggak butuh lebih banyak barang mahal, apalagi yang dibuat dengan mengeksploitasi negara miskin dan dengan buruh yang dibayar tidak selayaknya. Dunia butuh lebih banyak kehangatan dan gelak tawa, butuh lebih banyak penerimaaan dan pengertian. Semua yang kinclong itu indah, tapi pada akhirnya, apa sih yang sebenarnya berharga untuk anda? Apa yang anda inginkan, dan yang lebih penting lagi, apa yang anda butuhkan? Jangan lupakan itu. Jangan silau oleh dunia.
No comments:
Post a Comment