Seorang kenalan saya di Fesbuk memposting tentang dia menjalani proses mendapatkan Green Card yang 10 tahun. Saya masih ingat waktu saya memproses GC saya yang 10 tahun. Saat itu hubungan saya dengan mantan suami sudah gonjang-ganjing, dan dalam sebuah pertengkaran dia dengan ganasnya bersabda kalau dia tidak akan membantu saya mengurus GC saya, dan jangan beraninya saya memakai fasilitas di apartemen kami (printer dia, computer dia, etc) untuk mengurus dokumen-dokumen saya. Saya cuma manyun males saat itu. Please deh, tempat print/fotokopi bertebaran di Downtown Los Angeles; kalau dia nggak mau bantu, saya kerjakan sendiri juga nggak apa-apa, berkas ditolak imigrasi tinggal balik badan pulang kampung. Tolong ya Oom, kamu pikir perempuan Indonesia selemah apa?
Balik ke kenalan saya itu, karena pengalaman saya yang membuat jengkel saat mengurus GC itu, postingan dia membuat saya tersenyum sinis. "Awas-awas," cibir saya. Kurang dari sedetik kemudian saya merasa sangat benci diri saya sendiri. Sirik dan sinis kok dipelihara sih. Sama seperti saat saya tertawa sinis (dalam hati) melihat teman sekantor saya yang bersinar bahagia mengurus hari perkawinannya yang semakin mendekat. Padahal saya benar-benar bahagia untuk mereka, tapi kenapa juga saya masih reseh dan ga terima kalau mereka terlihat bahagia?
Begini ya, bukan salah mereka hari perkawinan atau urusan GC saya tidak seindah dan sesimpel mereka. Dan walaupun saya sirik, pada kenyataannya nggak ada dari kesirikan saya yang bisa mengubah fakta, apalagi memutar waktu sehingga bisa memperbaiki nasib saya. Dengan kata lain, percuma saya sirik. Salah sasaran kalau saya sirik apalagi marah dengan mereka. Bukan salah mereka hidup mereka [terlihat] lebih baik.
Ini intinya: "Terlihat". Kita nggak pernah tahu seperti apa orang itu sebenarnya. Bahkan yang teman dekat pun belum tentu tahu apa isi kepala dan isi hati seseorang. Tapi itu tidak mencegah kita untuk dengan pedenya ngejudge/menilai orang dari status Fesbuk/akun media sosialnya. Kenal juga nggak, sok tahu iya. Saya paling gerah kalau dengar, "Tapi kamu kan enak….." Gini yaaaaaaa, bukan berarti saya selalu senyum kanan kiri ketawa haha hihi karena saya tidak ada masalah, tapi karena saya nggak mau aja ngeracunin orang dengan kenegatifan saya. Toh situ juga kalau diajak curhat malah diemberin/disebar kemana-mana, atau kalau saya berkisah sedihnya hidup saya situ malah berkata, "Tapi hidup saya lebih sedih loh…" Masalahnya, orang nggak tahu dan nggak mau tahu hal ini. Tahunya cuma hidup saya [terlihat] enak, padahal mungkin saja mereka lebih beruntung daripada saya.
Bukan berarti saya nggak pernah sirik lho. Saya. Tetep. Sirik. Melihat teman Fesbuk bisa jalan-jalan ke Grand Canyon. Melihat teman kantor disayang habis-habisan oleh pacarnya. Melihat bestfriend punya hape Pixel dari Google. Melihat orang-orang yang hidupnya terlihat (catet ya, terlihat) lebih enak daripada saya. Katanya sirik tanda tak mampu, dan memang iya, saya nggak mampu mendapatkan itu semua. Jadi boleh dong saya sirik, boleh dong saya menginginkan kehidupan dan benda-benda yang lebih baik.
Tapi cukup sekian saja siriknya, karena sirik pun harus tahu diri. Bedakan sirik karena memang ingin lebih dengan sirik karena merasa kita lebih hebat dari orang yang kita sirikin sehingga mereka seharusnya nggak mendapatkan hidup yang lebih baik daripada kita. "Sirik ih sama yang punya mobil, nggak enak banget menunggu angkutan umum dikala hujan", bandingkan dengan "Sirik ih sama si A sudah punya mobil, padahal waktu awal kerja aku yang mengajarkan dia," dan disusul dengan a) omelan betapa tidak adilnya dunia, dan/atau b) berpikiran buruk tentang si A (pasti jadi simpanan, pasti hadiah dari orang tuanya, dsb). Dengan kata lain, sirik (baca: menginginkan) barang/pengalaman boleh, sirik orang/pribadi jangan.
Sirik itu nggak selalu buruk lho. Saya yang sirik dengan jepretan kamera hape teman saya yang kinclong dan indah, akhirnya mempersiapkan untuk membeli hape yang (agak) lebih bagus untuk mendapatkan foto yang bagus juga. Jadi kesirikan bisa dipakai untuk memotivasi kita untuk jadi lebih baik. Sirik karena teman punya kehidupan yang terlihat perfect? Mengaca dulu sana, apa yang bisa kita perbaiki. Bos saya pernah bilang: "Kalau maumu banyak tapi nggak rela susah, ya nggak usah repot-repot mauin sesuatu." Mau pasangan pengertian tapi kitanya marah-marah 2 jam kalau dia telat 10 menit saja. Mau karir bagus tapi materi bacaan hanya dari pesan berantai BBM/Whatsapp/berita hoax di Fesbuk. Mau punya barang mahal tapi kerja overtime walau dibayar tetap menganggap perusahaan tidak manusiawi. Ayo ambil kaca sana, ambil kaca.
Kembali soal nggak tahu kehidupan orang, saya pernah tertampar gara-gara sirik dan menilai nggak jelas. Saya sempat bete dan tidak suka sahabat saya, yang buat saya tipikal perempuan manja yang hanya modal wajah cantik. Setelah dekat dan akhirnya bersahabat, ternyata nona satu ini sekuat baja dan bisa segarang harimau. Ternyata pula jadi wanita cantik itu tidak seasyik yang saya pikir, malah banyak masalahnya. Menyesal lho jadinya. Nggak ada faedahnya sirik sendiri nggak jelas, karena belum tentu yang saya pikirkan tentang orang lain itu benar, bisa saja saya melihat hanya sedikit dari siapa dia yang sebenarnya. Dan kalau saya yang jadi korban asal tuduh karena sirik begitu pasti nggak enak rasanya.
Bagi saya ini pelajaran yang penting: berkaca dengan berpikir apa yang orang pikirkan tentang saya sebelum saya memikirkan macam-macam tentang orang lain. Enak nggak kalau saya diposisi mereka dan dipikir seperti apa yang saya pikir tentang mereka? Bagaimana kalau pikiran saya itu salah? Bukan hanya masalah dosa, tapi juga ketidakadilan yang sudah saya lakukan pada mereka. Percaya deh, mendengar kata-kata "Tapi hidupmu kan enak…" yang penuh kesirikan disaat kita mati-matian berusaha tetap bertahan saat badai menerjang itu sama sekali nggak enak.
"Kamu kan enak tinggal di Amerika," "Kamu kan enak punya uang," "Kamu kan enak cantik dan supel". Sini lho Mas ganteng dan Mbak ayu, boleh banget ngejalanin jatuh bangunnya saya sampai akhirnya bisa di posisi saya sekarang. Tapi awas sampai menenggak racun serangga. Saya rasa semua orang yang pernah jatuh bangun namun tak jera berusaha hingga menemukan kebahagiaannya pasti pernah merasa seperti saya juga. Enak situ nggak ngerasain tapi tinggal komen sirik penuh kenyinyiran.
Punya hati sedikitlah jadi orang. Jangan hanya langsung menilai dan menghakimi dari sekilas apa yang kita lihat. Kalau memang penasaran, coba mencari tahu dan mengerti bagaimana orang yang kita sirikin itu memiliki hal yang bikin kita sirik, dan jadikan sumber inspirasi/contekan hidup untuk mendapatkan hal tersebut. Sayangnya nggak semua orang mau repot, lebih gampang sirik dan nyinyir dan merasa dunia tidak adil. Padahal hidup itu nggak enak lho kalau ada yang mengganjal begitu, dan kalau tiap kali melihat sesuatu bawaanya sirik dan iri hati, apa nggak pegal hati ya? Jangan begitulah jadi orang. Keburukan hati biasanya membuat wajah terlihat tak sedap dipandang pula. Nanti tambah sirik lagi sama yang wajahnya terlihat adem hihihi….
No comments:
Post a Comment