Weekend ini ada dua anak Jakarta yang nyasar di Bali, dan membuktikan kalau Bali tuh memang menyenangkan! Acara weekend saya dan Ecy dimulai hari jumat sore dengan gossip ria di hotel (ok, not so Bali, but we haven’t seen each other in ages!) yang berlanjut dengan dinner di Warung Italia. Good food, great affordable price! Untuk fetuccini carbonara dan Gnocchi di Patate dengan porsi yang mengenyangkan, plus 2 gelas lemon tea cuma dibandrol kurang dari 80 rb. Yummmmm!
Setelah makan, kaki pun melangkah riang menyambangi toko-toko disekitaran Seminyak. Saya tahu ada banyak orang yang menganggap window shopping itu aneh, tapi buat saya ga ada acara yang bisa ngalahin window shopping dengan teman yang asik :D .
Kebetulan Ecy memang mau hunting pernak-pernik, jadilah kami berjalan2 dengan semangat,. Sayangnya kebanyakan toko disana sudah tutup (iyalah, hampir jam 9 malam gitu lho…) tapi beberapa toko yang kami masuki pun memiliki barang-barang yang lumayan bagus lho. Mulai dari pernak-pernik kecil-kecil unuk mengisi rumah, lampu etc, sampai baju dan aksesoris (belt kulit keren!), ada semua di kawasan seminyak. Namun harga yang dibandrol pun lumayan tinggi.
Setelah puas berjalan-jalan dan mata mulai mengantuk, kami pun balik ke hotel, namun dalam perjalanan ke hotel kami tergoda oleh Fo nya Body and Soul. Hasil godaan itu: Baju manis dan ikat pinggang keren, semua dengan harga terjangkau. Untungnya tanggal tua, kalau pas kesana habis gajian bisa berabe :p . Now off to bed! Lanjut besok yaaa…..
A little bit of this, a little bit of that, and all the things the cat sees along her way
AdSense Page Ads
Thursday, July 22, 2010
Monday, July 19, 2010
Dove - Evolution
No wonder our perception of beauty is distorted.
A splendid advertisement by Dove. A much clearer version can be seen here.
Also see their Pro Age Campaign, Man Made Disability and Real Esteem.
A splendid advertisement by Dove. A much clearer version can be seen here.
Also see their Pro Age Campaign, Man Made Disability and Real Esteem.
Thinking positive is....
A quote from a friend of mine:
berpikir POSITIF adalah "saat kamu berjalan & menengadah keatas & tiba2 burung menjatuhkan kotorannya tepat ke mukamu, dan kita tidak marah & tidak menangis tetapi bersyukur bahwa kebo tidak bisa terbang seperti burung"
Thinking POSITIVE is "when you walk and look up and suddenly a bird dropping fell on your face, you do not get mad or cry but be thankful that cows can't fly like birds"
Thanks for the hilarious words, El Roy!
berpikir POSITIF adalah "saat kamu berjalan & menengadah keatas & tiba2 burung menjatuhkan kotorannya tepat ke mukamu, dan kita tidak marah & tidak menangis tetapi bersyukur bahwa kebo tidak bisa terbang seperti burung"
Thinking POSITIVE is "when you walk and look up and suddenly a bird dropping fell on your face, you do not get mad or cry but be thankful that cows can't fly like birds"
Thanks for the hilarious words, El Roy!
Living in Lies - so not cool!
2 Musisi Skotlandia ini ditolak oleh agensi Uk, namun diterima dengan tangan terbuka setelah mereka mengaku sebagai anak California yang drop out sekolah dan kehabisan uang di UK.
"These lyrics were just the same when we did them again in American accents," he says. "There was nothing different, and all of a sudden, people were saying, 'Oh, wow. They're just as good as Eminem.' But in the Scottish accent, they're saying, 'Oh, no. They don't have any talent.' "
Read the whole story here.
Moral dari cerita ini: it's a damn crazy world we're living... Masyarakat sekarang ounya standar yang (menurut saya) aneh, Pokoknya kalau "barang impor" alias bukan punya negeri sendiri pasti lebih keyeeeen (bukan keren lho)... Contohnya ya diatas itu, musisi yang lebih diterima saat ngaku orang Amerika. Begitu pula dengan sinetron kita yang dibanjiri muka-muka blasteran Caucasian (padahal aktingnya juga standar banget, kalo ga dibawah standar alias jeblok). Bahkan kadang saya pun ngerasa jauh lebih mudah kenalan/diterima sama orang kalau ngaku asli Jakarta daripada asli Bali.
You are who you are. Anda ya anda, saya ya saya. Kalau semuanya sama jadi bingung toh... Perbedaan itu ada, jadi dinikmati aja. Saya percaya yang membedakan saya dan anda bukan warna kulit saya, bukan ras saya, bukan asal saya, apalagi harta, posisi dan sebagainya. Yang membedakan saya dan anda cuma kelakuan kita di mata Tuhan, hal-hal baik (atau buruk) yang kita lakukan menurut pandangan Tuhan. Karena harta dan posisi dan segala hal duniawi itu ga bisa dibawa mati, dan percaya deh, saat mati nanti, seberapa cakep pun manusia, seberapa hebat pun asal usulnya, tetap saja bakal membusuk dan jadi nutrisi untuk tanah.
So lift your head up high and be proud of what you are, angkat kepalamu tinggi-tinggi dan banggalah akan dirimu sendiri :)
"These lyrics were just the same when we did them again in American accents," he says. "There was nothing different, and all of a sudden, people were saying, 'Oh, wow. They're just as good as Eminem.' But in the Scottish accent, they're saying, 'Oh, no. They don't have any talent.' "
Read the whole story here.
Moral dari cerita ini: it's a damn crazy world we're living... Masyarakat sekarang ounya standar yang (menurut saya) aneh, Pokoknya kalau "barang impor" alias bukan punya negeri sendiri pasti lebih keyeeeen (bukan keren lho)... Contohnya ya diatas itu, musisi yang lebih diterima saat ngaku orang Amerika. Begitu pula dengan sinetron kita yang dibanjiri muka-muka blasteran Caucasian (padahal aktingnya juga standar banget, kalo ga dibawah standar alias jeblok). Bahkan kadang saya pun ngerasa jauh lebih mudah kenalan/diterima sama orang kalau ngaku asli Jakarta daripada asli Bali.
You are who you are. Anda ya anda, saya ya saya. Kalau semuanya sama jadi bingung toh... Perbedaan itu ada, jadi dinikmati aja. Saya percaya yang membedakan saya dan anda bukan warna kulit saya, bukan ras saya, bukan asal saya, apalagi harta, posisi dan sebagainya. Yang membedakan saya dan anda cuma kelakuan kita di mata Tuhan, hal-hal baik (atau buruk) yang kita lakukan menurut pandangan Tuhan. Karena harta dan posisi dan segala hal duniawi itu ga bisa dibawa mati, dan percaya deh, saat mati nanti, seberapa cakep pun manusia, seberapa hebat pun asal usulnya, tetap saja bakal membusuk dan jadi nutrisi untuk tanah.
So lift your head up high and be proud of what you are, angkat kepalamu tinggi-tinggi dan banggalah akan dirimu sendiri :)
Thursday, July 15, 2010
Nilai selembar Ijazah
Setelah berjuang keras mencari supir dan pembantu untuk kantor kami yang mungil, akhirnya HRD kantor kami mengambil suatu kesimpulan: Pendidikan itu sekarang ga ada artinya. Watttt???
Kesimpulan mbak HRD yang malang ini bukannya ga berdasar, namun tercetus karena fakta bahwa semua pelamar, apapun tingkat pendidikan dan previous experience, minta gaji tinggi (minimal setara S1) dan punya preferensi yang tinggi pula (baca: ga mau kerja kotor). Disini poinnya bukan karena ga mau bayar mahal atau ga appreciate orang. By all means, ga masalah bayar gaji setara S1 dan dengan pekerjaan yang “bersih”, asal memang worth it. Ga rela juga kan beli kacamata Ri-ben seharga kacamata Ray-ban??
Apakah hal ini memang terjadi di pulau ini saja atau di daerah lain juga, ini sejujurnya memang mengkhawatirkan sih. Pulau ini memang sudah terkontaminasi dengan pariwisata yang berlebihan, dimana lebih banyak dibutuhkan orang-orang sector informal daripada sector formal (baca: sarjana dan kawan-kawan). Sebagaimana harga rumah disini, orang-orang pendatang (turis and such, dari Indonesia maupun luar negeri) berani bayar mahal untuk komoditi ini dan sayangnya ini merusak harga pasar. Sekarang hampir ga mungkin lho untuk pasangan muda di sini untuk punya rumah sendiri, apalagi punya pembantu untuk membantu mengurus si kecil. Gimana bisa, kalau pembantunya minta 800 ribu bersih untuk dia tabung (uang kos, bensin, makan dan segala keperluannya majikan yang tanggung). Padahal yang kerja kantoran saja belum tentu bisa nabung sebanyak itu.
Jadi apakah kita semua sekarang harus jadi sopir/pembantu/kerja kasar dan melupakan pendidikan? Toh ga jadi sarjana pun bisa tetap bergaji besar. Saya tetap berpendapat sebaliknya. Pendidikan bukanlah tentang mencari sekedar selembar kertas (ijazah), atau sebuah toga kelulusan. Pendidikan adalah proses. Ijazah dan toga yang kita dapatkan memang berarti untuk mencari pekerjaan, namun yang lebih berarti adalah interaksi yang kita dapatkan selama kita sekolah. Cara mendapatkan teman saat SMA, tawar-menawar dengan dosen, pelajaran memenuhi deadline (a.k.a pe-er dan tugas lainnya), sampai cara membuat alasan bila deadlinenya tidak terpenuhi. Semua itu yang kita butuhkan di pekerjaan dan dunia nyata.
Pendidikan juga tentang cara kita “menjual” diri kita, cara kita menampilkan diri kita terhadap dunia. Kemampuan berempati, kemampuan membuat orang nyaman atau terkesan pada kita, kemampuan untuk mengaransemen ulang kondisi yang sudah ada agar lebih sesuai dengan keebutuhan kita. Banyak hal yang diajarkan disekolah bisa dengan mudah kita cari di Yahoo atau Google, namun hal-hal diatas tak bisa hanya di browse. Bila dulu Ibu saya tersayang tidak menentang papa untuk menyekolahkan saya di sekolah yang terbaik, bila Ibu tidak memaksa terus menyekolahkan saya sampai selesai walau kondisi keuangan tidak memungkinkan, saya rasa saya ga akan berada pada posisi saya yang nyaman dan enak sekarang. I wouldn’t even be writing here.
Walau pendidikan tampak begitu tak berharga lagi sekarang, namun buat saya, pendidikan tetap yang utama. I want my children to be civilized: kind, gentle speech, have empathy and care for other people. And with more civilized people, hopefully we will have a better world.
Kesimpulan mbak HRD yang malang ini bukannya ga berdasar, namun tercetus karena fakta bahwa semua pelamar, apapun tingkat pendidikan dan previous experience, minta gaji tinggi (minimal setara S1) dan punya preferensi yang tinggi pula (baca: ga mau kerja kotor). Disini poinnya bukan karena ga mau bayar mahal atau ga appreciate orang. By all means, ga masalah bayar gaji setara S1 dan dengan pekerjaan yang “bersih”, asal memang worth it. Ga rela juga kan beli kacamata Ri-ben seharga kacamata Ray-ban??
Apakah hal ini memang terjadi di pulau ini saja atau di daerah lain juga, ini sejujurnya memang mengkhawatirkan sih. Pulau ini memang sudah terkontaminasi dengan pariwisata yang berlebihan, dimana lebih banyak dibutuhkan orang-orang sector informal daripada sector formal (baca: sarjana dan kawan-kawan). Sebagaimana harga rumah disini, orang-orang pendatang (turis and such, dari Indonesia maupun luar negeri) berani bayar mahal untuk komoditi ini dan sayangnya ini merusak harga pasar. Sekarang hampir ga mungkin lho untuk pasangan muda di sini untuk punya rumah sendiri, apalagi punya pembantu untuk membantu mengurus si kecil. Gimana bisa, kalau pembantunya minta 800 ribu bersih untuk dia tabung (uang kos, bensin, makan dan segala keperluannya majikan yang tanggung). Padahal yang kerja kantoran saja belum tentu bisa nabung sebanyak itu.
Jadi apakah kita semua sekarang harus jadi sopir/pembantu/kerja kasar dan melupakan pendidikan? Toh ga jadi sarjana pun bisa tetap bergaji besar. Saya tetap berpendapat sebaliknya. Pendidikan bukanlah tentang mencari sekedar selembar kertas (ijazah), atau sebuah toga kelulusan. Pendidikan adalah proses. Ijazah dan toga yang kita dapatkan memang berarti untuk mencari pekerjaan, namun yang lebih berarti adalah interaksi yang kita dapatkan selama kita sekolah. Cara mendapatkan teman saat SMA, tawar-menawar dengan dosen, pelajaran memenuhi deadline (a.k.a pe-er dan tugas lainnya), sampai cara membuat alasan bila deadlinenya tidak terpenuhi. Semua itu yang kita butuhkan di pekerjaan dan dunia nyata.
Pendidikan juga tentang cara kita “menjual” diri kita, cara kita menampilkan diri kita terhadap dunia. Kemampuan berempati, kemampuan membuat orang nyaman atau terkesan pada kita, kemampuan untuk mengaransemen ulang kondisi yang sudah ada agar lebih sesuai dengan keebutuhan kita. Banyak hal yang diajarkan disekolah bisa dengan mudah kita cari di Yahoo atau Google, namun hal-hal diatas tak bisa hanya di browse. Bila dulu Ibu saya tersayang tidak menentang papa untuk menyekolahkan saya di sekolah yang terbaik, bila Ibu tidak memaksa terus menyekolahkan saya sampai selesai walau kondisi keuangan tidak memungkinkan, saya rasa saya ga akan berada pada posisi saya yang nyaman dan enak sekarang. I wouldn’t even be writing here.
Walau pendidikan tampak begitu tak berharga lagi sekarang, namun buat saya, pendidikan tetap yang utama. I want my children to be civilized: kind, gentle speech, have empathy and care for other people. And with more civilized people, hopefully we will have a better world.
Tuesday, July 13, 2010
The Royal Pita Maha
Tuesday, July 6, 2010
Outliers by Malcolm Gladwell
Have.Got.To.Read
Musti.Kudu.Baca!
Kata siapa orang sukses bisa sukses begitu aja? There's no such thing as HUGE miracle, baby. Adanya series of small miracle hehehe... Buku ini menjelaskan bahwa semua hal yang biasanya kita baca di buku/lihat di TV mengenai orang sukses itu ga (sepenuhnya) bener. Iya, mereka bisa sukses karena mereka tekun, kerja keras, berbakat, dan sebagainya. Namun itu saja ga cukup. Mereka bisa sukses karena berada dalam kondisi yang tepat untuk jadi sukses. Tahun yang tepat, orang tua yang tepat, sampai sekolah yang tepat.
Sukses = Usaha + kesempatan/kondisi yang tepat. Jadi kalau sukses bersyukurlah,karena kalau bukan karena kehendak Tuhan mungkin ga akan tercapai segenap kondisi yang bikin anda sukses. Jangan pake sombong... Sementara bagi yang belum sukses atau mengharapkan anak anda sukses, buku ini juga menjelaskan kriteria yang diperlukan untuk sukses, jadi tinggal di tweak/di atur aja sesuai harapan anda. Sekali lagi, walau kategori sukses itu bermacam-macam, semua tergantung Tuhan dan usaha anda. Selamat menbaca, dan Good Luck!
Saturday, July 3, 2010
Duh, ga pake sombong dong....
Mana yang lebih mending, orang yang sukses besar tapi sombong atau orang yang sukses sedikit tapi biasa aja? Jawabannya tergantung preferensi kita sih. Untuk bisnis, jelas lebih bagus yang sukses besar hehehe… Tapi kalau untuk teman? Ini tercetus karena saya baru saja kenalan sama orang seperti itu. He’s damn good with what he did, and he also starts from the scratch, mind you. Tapi kok rasanya gatal pengen kick his ass ya?
Satu hal yang saya pelajari dari hidup saya selama ini: diatasnya langit masih ada langit. Oke anda ganteng/cantik, tapi pasti ada yang lebih cantik/menarik. Kaya raya? Banyak yang lebih kaya lagi. Cerdas? Orang ber IPK 4.00 itu bertebaran kok. Karir bagus? Nama/status sosial yang tinggi? Pasangan hebat? Masih, masih, masih banyak yang lebih dari anda dan saya. Sekali lagi, diatas langit masih ada langit. Lagian, sukses itu ga kan terjadi kalau Tuhan ga menyediakan kondisi yang tepat untuk itu.
Kecuali kebaikan hati, semua hal yang tersebut diatas, semua hal yang dianggap “penting” oleh masyarakat sekarang ini masih bisa digapai kok. As long as you’re willing to pay the price. Contoh: seorang ibu yang memilih keluar dari jabatannya yang tinggi agar bisa mengasuh anaknya vs wanita single yang memang memilih karir diatas segalanya. Sepintas pasti mayoritas orang memuji si wanita karir ini, padahal sebenarnya si ibu rumah tangga yang mampu membesarkan anaknya dengan baik juga hebat lho. Hidup ga cuma hitam-putih atas-bawah, ga pernah se-simple itu.
Banyak orang yang rendah diri karena merasa si Ini dan si Itu lebih hebat daripada mereka, atau justru kelewat gaya karena merasa si Ini dan si Itu ga sehebat mereka. Mungkin iya dalam beberapa segi tapi seperti yang saya jelaskan diatas, kecuali dalam masalah kebaikan/ketulusan hati, ga mungkin seseorang bisa lebih hebat dalam SEMUA hal. C’mon, humans are not perfect. Ga ada manusia yang sempurna.
Kesimpulannya?? Kalau anda merasa manusia tertindas dan ga ada bagus-bagusnya (alias rendah diri). don’t be. Pasti ada kok sisi baik dalam diri anda yang (mungkin) juga dikagumi orang lain. Dan kalau anda merasa manusia penindas yang super bagus (alias kelewat pede), don’t be. Karena masih BANYAK yang lebih bagus dari anda hehehe… Kita baru bisa “lebih” dari orang lain kalau kita sanggup untuk TIDAK berpikir bahwa kita “lebih” dari orang lain, atawa humble. Selamat mencoba ☺
Satu hal yang saya pelajari dari hidup saya selama ini: diatasnya langit masih ada langit. Oke anda ganteng/cantik, tapi pasti ada yang lebih cantik/menarik. Kaya raya? Banyak yang lebih kaya lagi. Cerdas? Orang ber IPK 4.00 itu bertebaran kok. Karir bagus? Nama/status sosial yang tinggi? Pasangan hebat? Masih, masih, masih banyak yang lebih dari anda dan saya. Sekali lagi, diatas langit masih ada langit. Lagian, sukses itu ga kan terjadi kalau Tuhan ga menyediakan kondisi yang tepat untuk itu.
Kecuali kebaikan hati, semua hal yang tersebut diatas, semua hal yang dianggap “penting” oleh masyarakat sekarang ini masih bisa digapai kok. As long as you’re willing to pay the price. Contoh: seorang ibu yang memilih keluar dari jabatannya yang tinggi agar bisa mengasuh anaknya vs wanita single yang memang memilih karir diatas segalanya. Sepintas pasti mayoritas orang memuji si wanita karir ini, padahal sebenarnya si ibu rumah tangga yang mampu membesarkan anaknya dengan baik juga hebat lho. Hidup ga cuma hitam-putih atas-bawah, ga pernah se-simple itu.
Banyak orang yang rendah diri karena merasa si Ini dan si Itu lebih hebat daripada mereka, atau justru kelewat gaya karena merasa si Ini dan si Itu ga sehebat mereka. Mungkin iya dalam beberapa segi tapi seperti yang saya jelaskan diatas, kecuali dalam masalah kebaikan/ketulusan hati, ga mungkin seseorang bisa lebih hebat dalam SEMUA hal. C’mon, humans are not perfect. Ga ada manusia yang sempurna.
Kesimpulannya?? Kalau anda merasa manusia tertindas dan ga ada bagus-bagusnya (alias rendah diri). don’t be. Pasti ada kok sisi baik dalam diri anda yang (mungkin) juga dikagumi orang lain. Dan kalau anda merasa manusia penindas yang super bagus (alias kelewat pede), don’t be. Karena masih BANYAK yang lebih bagus dari anda hehehe… Kita baru bisa “lebih” dari orang lain kalau kita sanggup untuk TIDAK berpikir bahwa kita “lebih” dari orang lain, atawa humble. Selamat mencoba ☺
Subscribe to:
Posts (Atom)