Setelah berjuang keras mencari supir dan pembantu untuk kantor kami yang mungil, akhirnya HRD kantor kami mengambil suatu kesimpulan: Pendidikan itu sekarang ga ada artinya. Watttt???
Kesimpulan mbak HRD yang malang ini bukannya ga berdasar, namun tercetus karena fakta bahwa semua pelamar, apapun tingkat pendidikan dan previous experience, minta gaji tinggi (minimal setara S1) dan punya preferensi yang tinggi pula (baca: ga mau kerja kotor). Disini poinnya bukan karena ga mau bayar mahal atau ga appreciate orang. By all means, ga masalah bayar gaji setara S1 dan dengan pekerjaan yang “bersih”, asal memang worth it. Ga rela juga kan beli kacamata Ri-ben seharga kacamata Ray-ban??
Apakah hal ini memang terjadi di pulau ini saja atau di daerah lain juga, ini sejujurnya memang mengkhawatirkan sih. Pulau ini memang sudah terkontaminasi dengan pariwisata yang berlebihan, dimana lebih banyak dibutuhkan orang-orang sector informal daripada sector formal (baca: sarjana dan kawan-kawan). Sebagaimana harga rumah disini, orang-orang pendatang (turis and such, dari Indonesia maupun luar negeri) berani bayar mahal untuk komoditi ini dan sayangnya ini merusak harga pasar. Sekarang hampir ga mungkin lho untuk pasangan muda di sini untuk punya rumah sendiri, apalagi punya pembantu untuk membantu mengurus si kecil. Gimana bisa, kalau pembantunya minta 800 ribu bersih untuk dia tabung (uang kos, bensin, makan dan segala keperluannya majikan yang tanggung). Padahal yang kerja kantoran saja belum tentu bisa nabung sebanyak itu.
Jadi apakah kita semua sekarang harus jadi sopir/pembantu/kerja kasar dan melupakan pendidikan? Toh ga jadi sarjana pun bisa tetap bergaji besar. Saya tetap berpendapat sebaliknya. Pendidikan bukanlah tentang mencari sekedar selembar kertas (ijazah), atau sebuah toga kelulusan. Pendidikan adalah proses. Ijazah dan toga yang kita dapatkan memang berarti untuk mencari pekerjaan, namun yang lebih berarti adalah interaksi yang kita dapatkan selama kita sekolah. Cara mendapatkan teman saat SMA, tawar-menawar dengan dosen, pelajaran memenuhi deadline (a.k.a pe-er dan tugas lainnya), sampai cara membuat alasan bila deadlinenya tidak terpenuhi. Semua itu yang kita butuhkan di pekerjaan dan dunia nyata.
Pendidikan juga tentang cara kita “menjual” diri kita, cara kita menampilkan diri kita terhadap dunia. Kemampuan berempati, kemampuan membuat orang nyaman atau terkesan pada kita, kemampuan untuk mengaransemen ulang kondisi yang sudah ada agar lebih sesuai dengan keebutuhan kita. Banyak hal yang diajarkan disekolah bisa dengan mudah kita cari di Yahoo atau Google, namun hal-hal diatas tak bisa hanya di browse. Bila dulu Ibu saya tersayang tidak menentang papa untuk menyekolahkan saya di sekolah yang terbaik, bila Ibu tidak memaksa terus menyekolahkan saya sampai selesai walau kondisi keuangan tidak memungkinkan, saya rasa saya ga akan berada pada posisi saya yang nyaman dan enak sekarang. I wouldn’t even be writing here.
Walau pendidikan tampak begitu tak berharga lagi sekarang, namun buat saya, pendidikan tetap yang utama. I want my children to be civilized: kind, gentle speech, have empathy and care for other people. And with more civilized people, hopefully we will have a better world.
No comments:
Post a Comment