AdSense Page Ads

Sunday, August 16, 2015

Elanto dan Internet: Hadiah Terbaik Dirgahayu Indonesia yang ke 70

Mungkin 'hadiah' paling berharga untuk Indonesia di ulang tahunnya yang ke-70 adalah penduduknya yang mulai 'melek' internet dan berani 'bersuara'. Setelah sekian lama kita cuma diam mengiyakan apa kata TVRI dan cuma bisa berspekulasi apakah ikan tangkapan pak Harto hanya trik biasa atau memang dia jago, sekarang ini kita bisa mengutarakan pikiran kita dengan lebih bebas. Yang mana munculnya Elanto-Elanto yang berani menghadang konvoi MoGe. Mampunya kita menekan polisi untuk mengusut tuntas kasus Angeline. Didengarnya suara rakyat yang menolak dana-dana tidak jelas DPR. Ini semua berkat internet dan psy-war pemilu 2014.

Pastinya para penggagas psy-war pemilu tahun lalu tidak menyangka efeknya akan sebesar ini. Atau sebelumnya, penggagas kampanye via internet yang sukses (seperti tim Jokowi-Ahok) pastinya tidak menyangka akan seperti ini. Attack, counter-attack, apapun dilakukan dan dihalalkan untuk menarik perhatian ke satu kubu dan mencoreng kubu lainnya, elegan atau tidak itu bukan masalah. Kubu tandingan tentunya tidak mau berdiam diri dan ikut dalam perang tersebut. Masyarakat jadi terbagi, terbelah. Saya sendiri sampai kehilangan teman gara-gara dukung-mendukung tersebut. Sampai sekarang, yang pemilu sudah selesai dari kapan tahu, masih saja ada sisa-sisa yang sibuk berantem sendiri di dunia maya. Walau kedengarannya sedih, namun sebenarnya ada silver lining/berkah yang timbul dari peperangan ini: kita jadi berani bersikap.

Dulu-dulu boro-boro. Gaya kita dulu mah, pemerintah urusan pemerintah, rakyat urusan rakyat. Nggak ada yang repot buka mulut karena tahu tidak ada yang membela, karena pikiran kebanyakan orang adalah “ngapain mati konyol”. Pemerintah mau apa juga kita cuma bisa ngelengos, seolah bukan urusan kita walau sebenarnya kita yang memilih mereka. Sekarang lain, dan adik-adik pengguna internet yang masih 20an tahun kebawah mungkin tidak ingat masa-masa itu. Bahkan teman-teman sejawat yang seumuran dengan saya (30an keatas) mungkin sudah lupa masa tanpa Facebook dan BBM dan media sosial lainnya, saking seringnya kita menggunakan internet: Masa dimana koran Kompas dan tabloid Tempo adalah andalan dalam mencari berita, masa dimana TV-TV masih belum berpihak tapi juga disensor sehingga pemerintah selalu terlihat baik, masa dimana saat frustasi menghadapi pemerintah cuma bisa disalurkan dengan ngomel-ngomel saat arisan atau di tempat kerja. Sekarang jangan ditanya, cukup buka media sosial pun kita sudah tahu berita hari ini (baik diinginkan atau tidak). Dunia dan pengetahuan benar-benar diujung jari kita, dan untuk beberapa tipe hape, diujung jempol kita.

Kemudahan untuk membagi apa yang kita percayai (i.e. berita) dan kemudahan untuk melihat seberapa banyak orang yang se-ide dengan kita membuat kita berani berdiri dan mengambil sikap. Ini bukan hal yang sepele lho. Pengetahuan bahwa ada sejumlah orang yang se-ide dengan kita membuat kita lebih yakin dengan apa yang kita percayai. Kalau sembilan dari sepuluh orang bilang mendengar meongan kucing sementara anda sendiri mendengar gonggongan anjing, pastinya anda pikir anda yang salah. Tapi kalau paling tidak tiga atau bahkan empat orang bilang mendengar gonggongan anjing, pastinya anda akan lebih pede dengan pengamatan anda, bukan? Walau bisa saja sebenarnya anda yang salah dengar. Konon katanya “ducks go together, eagle soar alone”, bebek perginya ramai-ramai tapi elang terbang sendiri. Tapi jangan lupa, terbang sendirian berarti lebih mudah ditembak jatuh pemburu, sementara kalau beramai-ramai walau mungkin ada satu-dua yang tertembak namun mayoritas bisa selamat. Inilah kemampuan internet yang sebenarnya.

Sayangnya kemampuan ini memiliki kelemahan fatal: Penggunaannya dan hasil akhirnya tergantung manusianya. Sebagaimana pisau, klewang, keris, senapan, atau senjata lainnya, tanpa manusia yang menggunakannya mereka hanya benda mati. Namun ditangan manusia mereka bisa jadi benda mematikan. Menggunakan internet sama seperti menggunakan sebilah pisau: anda bisa menggunakannya untuk membuat sesuatu yang bisa membantu orang lain, anda bisa menggunakannya untuk melukai orang lain, anda bisa menggunakannya untuk hal-hal sepele hingga tumpul. Berita-berita hoax atau yang penuh opini yang menggiring/bernada kemarahan dan memecah belah tidak bisa dihindari. Buat apa repot-repot bayar artis untuk kampanye/mengumpulkan pendukung kalau berita di Internet sudah cukup. Begitupula dengan pencari uang dari artikel bombastis tersebut, yang tidak segan menulis sedemikian rupa hanya demi jumlah rating atau like dan share. Masalah rakyat terpecah urusan belakangan, duit nomor satu. Tinggal kita sebagai pengguna internet yang harus mampu memilah mana  yang baik dan mana yang tidak. Masalahnya kita tidak selalu bisa. Ditambah dengan keanoniman internet, jadilah seringkali kita malah membuka buruknya kita sendiri. 

Tanpa kita sadari, berita yang kita share atau like itu mencerminkan siapa kita, apa yang kita baca dan apa yang kita percayai. Kalau dulu kita pikir-pikir sebelum buka mulut karena takut menyinggung orang lain, sekarang kita 'terlindungi' oleh keanoniman internet dan merasa banyak dukungan dari like dan share orang-orang. Pokoknya hak kita untuk bersuara, bersikap. Maju terus pantang mundur. Padahal orang-orang yang lebih pintar memperlakukan internet layaknya sang juara catur, tidak sembarangan mengambil sikap apalagi mencaci. Orang yang terlihat baik di Internet tidak selalu baik lho, tapi sayangnya orang yang dengan buas mencaci di internet biasanya memang lumayan 'bermasalah'. Sikap ini yang dipakai orang-orang pintar untuk memanfaatkan yang kurang pintar/seksama. Jadilah kita pion yang bisa diatur sekehendak hati demi profit dan kekuasaan, sementara kita sibuk percaya bahwa apa yang kita percayai benar adanya. Bukannya “Gajah bertempur Pelanduk mati ditengah-tengah”, tapi “Pelanduk bertempur gajah asik menonton”.

Ini tidak terjadi di Indonesia saja lho. Di Amerika sini juga seperti itu. Penggiringan opini dirasa lebih menguntungkan dan lebih mudah daripada harus mengakomodasi seluruh pihak. Kalau di kelas sejarah dulu disebutnya Divide et Empera, dan inilah yang terjadi saat ini. Media pun tidak bisa diminta pertanggungjawabannya karena mereka pun hanya badan bisnis: mereka akan memberitakan apa yang layak jual, apa yang akan laris. Dengan kata lain, kita selaku konsumen lah yang menentukan. Kalau anda tidak percaya, coba hitung seberapa banyak postingan ilmiah yang mampir ke lini masa medsos anda. Bandingkan dengan postingan yang edgy atau bombastis yang menyangkut seks atau SARA atau selebriti termasuk selebriti religi. Ilmiah itu berat bo', sulit dicerna. Walau tahu bahwa akan ada hujan meteor itu akan membantu pemahaman kita akan betapa indahnya dunia dan betapa kecilnya manusia, tapi tas Hermes Syahrini dan memaki tokoh politik lebih gampang dilakukan. Ketemu berita 'baik' seperti orang membantu orang lain biasanya kita cuma senyum kecil dan bilang, “Oh that's nice” atau “Ih keren ya”, tapi ketemu berita 'buruk' apalagi menyangkut apa yang kita percayai, dan langsung deh kita dengan emosinya komen dan share sembari meluapkan emosi jiwa. Media dibuat oleh manusia, oleh saya dan anda yang mau repot membaca. Isi beritanya juga anda yang memilih. Sejarah sudah membuktikan bahwa kebenaran tak bisa dibungkam, mau disensor seperti apa juga pasti yang benar akan keluar.

Kenapa penting buat kita bangsa Indonesia untuk mengerti ini? Karena sumber daya manusia kita yang amat sangat besar. Kita sudah masuk peringkat utama pengguna Facebook di dunia, padahal jaringan internet yang bisa diandalkan cuma di pulau-pulau besar saja dan itupun seringkali hanya terbatas di kota besar/kota utama. Dan itu dengan tanpa mengetahui bahwa Facebook itu pakai internet. Serius ini. Banyak pengguna Facebook di Indonesia yang bilang kalau mereka tidak pernah pakai internet, karena mereka tidak mengasosiasikan Facebook dengan Internet. Kebayang nggak kalau semua melek internet dan akses internet lancar jaya? Dan bukan cuma melek internet ya, namun juga mampu menggunakannya dengan maksimal dan objektif. Karakteristik orang Indonesia yang tahan banting itu aset banget di masa sekarang, dan dengan jumlah orang saja kita bisa memastikan suara kita didengar dunia. Jargon Indonesia macan Asia atau raksasa dunia buat saya amat sangat mungkin. Dari sekian negara di dunia mungkin cuma Indonesia yang paling terlatih soal menghargai perbedaan dan kesantunan yang didapat dari adat istiadat suku masing-masing, yang mana merupakan barang yang amat sangat langka di arena global masa sekarang. Tapi ya itu, bukan hanya kendala akses, kita juga masih terkendala kemauan dan kemampuan berpikir objektif. 

Apa kita harus menyerah? Tentu tidak. Saya tidak terbayang di jaman dulu bagaimana perasaan para pendahulu kita yang belajar di STOVIA: jauh dari keluarga, berbeda dari mahasiswa lainnya, namun penuh harapan dan ma(mp)u melihat secara keseluruhan dan bukan cuma tentang mereka saja. Anda dan saya adalah bagian dari Indonesia. Apapun yang terjadi, saat mentari bersinar besok kemungkinan besar anda dan saya masih tetap bagian dari Indonesia. Ini rumah kita, tanah air kita. Sudah saatnya kita  berpikir sebagai keseluruhan, bukan hanya kelompok saya dan kelompok anda. Sudah saatnya kita bersatu dan menjadi sapu lidi yang mambu membereskan dan membuang kotoran yang ada, dan bukan hanya menjadi batangan lidi yang dipatah-patahkan oleh anak kecil yang sudah bosan. Internet bisa memecah kita, namun internet juga bisa mempersatukan kita, dan memberikan kita suara yang sepantasnya didengar dunia. Bangkitlah Indonesia, doa kami besertamu!!!

Wednesday, August 5, 2015

Manusia vs Tuhan: Sebuah Perjalanan

Kalau dipikir2 ya, Tuhan menciptakan manusia serupa satu sama lain. Cetakannya sama persis gitu lho, adonannya juga. Terus apa hak kita songong banget ngebeda2in satu sama lain? Kalau dibilang Tuhannya beda ya gimana ya. Samsung sama Apple yang produknya mirip2 (dari jauh) juga nggak 100% sama toh. Kalau pake nalar juga semua manusia sama, sejenis dan satu species. Buktinya bisa menghasilkan keturunan bukan, terlepas dari ras atau agama atau status sosialnya? Tuhan yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa pastinya bisa dong menciptakan jenis manusia yang berbeda-beda dan eksklusif. Kodok aja spesiesnya banyak bener. 

Ini bukan berarti anda harus percaya atau nerima agama/kepercayaan orang lain ya. Yang anda percayai ya hak anda. Urusan sama Tuhan/kata hati itu urusan paling asasi menurut saya. Paling mendasar. Yang nggak boleh itu memakai alasan agama/kepercayaan untuk ngebedain orang lain. Bukan apa-apa, Tuhan aja nggak rempong kok. Kenapa situ yang repot? Kalau Tuhan mau rempong, semua manusia diciptakan jelek dan buruk rupa lalu hanya yang mengikuti ajaranNya yang benar yang perlahan-lahan jadi tambah mendingan, tambah berkilau. Hmmm.... Sebenarnya ini udah kejadian bukan? Yang benar-benar orang baik mengasihi sesama etc biasanya terlihat lebih gimana gitu, yang kita ngeliatnya jadi adem. Bukan cantik fisik, tapi cantik hati.

Lain kali anda melihat seseorang, lihat kedalam matanya. Ingatkan diri anda bahwa orang tersebut bernafas seperti anda, perlu makanan dan minuman seperti anda, punya kebutuhan fisik untuk bisa bertahan hidup sama seperti anda. Ingatkan diri anda bahwa orang tersebut juga bisa marah, sedih, gembira, dan terikat berbagai ikatan emosi lainnya seperti anda. Lihat orang tersebut sebagai seorang manusia, sama seperti anda. Ini juga berlaku online ya. Kenapa harus begini? Karena metode jualan masa kini adalah penggiringan opini dan pengkotak-kotakkan. Anda vs Saya itu lebih menjual dan lebih gampang disetir daripada Kita dan/atau Kami. Kita yang memang dasarnya punya sifat kompetitif dengan mudahnya terjual dan percaya. Padahal seperti kata pepatah soal perang: menang jadi arang kalah jadi abu.

Sekali lagi, melihat seseorang sebagai manusia tidak berarti anda harus mendadak mengiyakan/menyetujui perbedaan. Anda tidak nyaman dengan LGBT? Tidak apa-apa. Itu hak anda. Anda sebal melihat perempuan pamer bodi? Tidak apa-apa. Itu hak anda. Anda berpikir agama anda yang paling benar? Tidak apa-apa. Itu hak anda. Tapi jangan semerta-merta mengambil sikap "Saya Benar Kamu Salah". Percaya deh, Tuhan lebih dari mampu untuk menghukum orang yang bersalah padaNya. Jangan menyepelekan Tuhan apalagi meninggikan diri dengan berpikir anda perpanjangan tangan Tuhan. Perpanjangan tangan Tuhan yang valid itu cuma saat anda memberi dan menolong, karena Tuhan Maha Pemurah dan Penyayang bukan?

Kalau masih bingung kapan harus bersikap, lihat secara objektif kondisi keseluruhan: apakah ada yang tertindas atau haknya dirampas? Saat ada ibu-ibu dijambret reaksi anda tentunya langsung mengejar jambret itu bukan? Atau pura-pura bego sih. Yang jelas reaksi anda pastinya bukan klarifikasi dulu si ibu agamanya apa. Contoh lain: apa iya pura disamping masjid anda membuat anda tertindas, misalnya. Kalau jawabannya ya karena mereka potong babi tiap hari, ini masuk akal. Tapi harus dilihat juga, siapa yang duluan ada. Jangan kayak orang sini yang pindah ke dekat airport lalu menuntut airportnya karena terlalu bising. Kalau jawabannya ya karena menurut buku suci mereka orang berdosa, monggo dipikirkan lagi: siapa anda mengatur-atur siapa yang dosa atau tidak? Anda aja mungkin nggak bisa nebak siapa yang korup dan yang tidak, atau bahkan siapa yang masih perawan, boro-boro nebak hitung-hitungan doa dan dosa. Lagian seperti buka toko, walau banyak saingan tapi toko yang paling bagus dan paling berfaedah untuk konsumennya biasanya paling laku. Percaya sama 'toko' anda sendirilah.

Semua agama menjanjikan nirwana, surga, dan apapun namanya. Pokoknya tempat yang aman damai indah dan sebagainya setelah kita mati nanti. Syaratnya gampang, jadi orang baik dan taat aturan Tuhan. Nah, yang orang banyak nggak tahu itu sebenarnya surga bisa diraih saat masih hidup. Kalau semua orang hidup damai dan menghargai satu sama lain apa bukan surga namanya? Seberat-beratnya hidup, pasti perasaan anda akan sedikit terangkat/legaan saat mendengar sapaan ramah atau senyuman tulus. Ini target yang harus anda capai, jadi pelita untuk orang lain agar dunia semakin cerah. Jangan tunggu surga pas meninggal bo', masih lama itu. Apalagi dengan ilmu kesehatan yang makin canggih. Kalau nantinya masuk Surga yang beneran anggap aja bonus gitu. Tapi ini cuma bisa dicapai dengan kerendahan hati yang mengakui bahwa Tuhan Maha Pencipta, dan kekaguman akan ke Maha Kuasaan Tuhan, serta keterbukaan hati+pikiran bahwa kita tidak tahu rencana Tuhan. Dengan kata lain, tahu diri gitu lho. Jangan rempong mengklasifikasikan dan mengkotak-kotakkan orang, cukup sarung saja yang motifnya kotak-kotak.

Tuesday, July 14, 2015

Home at last. For now.



Somehow, I got stuck in life.

A friend from the other side of US went visiting, and I should have met her. Or at least explained why I could not meet her. But I didn't. The day come and go, I should have texted her and informed her way before that it wasn't possible to meet because of my new job. But I didn't. On her last day here I should have told her how sorry I was that I couldn't see her. But I didn't. I wanted to tell her the craziest work day that happened on the day we were supposed to meet. I got locked in in the bathroom, I was late for the bus and spend an hour waiting for the next bus while crying and cussing over my situation, and by the time I got home I convinced my husband to take me back to the office because I was certain that I did not lock the door properly. My friend and I would have had a good laugh over it, but we didn't. Because I didn't tell her anything.

The next day passed, and she returned home. I should have texted her by then. But I didn't. I kept on telling myself that I will text her the next day. But I didn't. A whole week passed and I still didn't contact her. Just as I choose to ignore other messages from my friends. I couldn't deal with them. It was too emotionally taxating. Life was too much for me. Even before I got the job I was already retreating into myself, slowly but sure shunning the world. I don't even know why. Life is good. It has always been. So why the sorrow? Why the lethargic indifference?

Then we decided to buy a Durga statue on a whim. As I decorated it with flowers as offering I realized what was missing from my life.

In a land where everything is within my reach, I have lost myself. Where before I live almost solely for survival, now I am spoiled with choices and options. It had become "whatever I want", and no longer "whatever I need". As with the junk processed food that is easily in my reach and saturated my body with the dangerous chemical, so does the choices available to pleasure myself. Like a glutton I rejoice in all, even though deep down inside I knew what was happening. I no longer live for myself, for what I believe. I had become a creature of desire, greedily wanting everything and thus stuck in the mirage that was made for someone else's profit. I have lost my simple life. My meaningful life. 

No more I rejoice the morning sun. No more simple guilty pleasure to splurge myself once in a while, and how proud and happy it made me feel. No more saving up for a treat, and the delight it made me feel. No more driving in the rain and singing "I'm Only Happy When it Rains". No more smug and the feel of living on the edge when drinking a can of beer. And worst of all, the utter loneliness inside. My heart slowly but sure turned into a black hole that wants everything, sucks everything without any consideration. It was no longer a battle to prove myself, a daily effort to keep existing in this life. It was "I". "I" that is entitled to everything simply because of the fact that he/she exist. And with every wants and demands that got fulfilled with minimal effort my "I" grew bigger and more loathsome, until I can't take it anymore. I hated her. I hated me.

The statue, the flower offering, the incense and the prayer reminded of who I was before. In a book that I read, the main character said that God is in the man's heart. In Hinduism we believe that our soul is actually a fraction of Himself. That night I prayed. That night I found a tiny sliver of my old self. The one with dreams and empathy. The one that looked at the world full of wonder and love. The one that was truly alive.

If words and thoughts have weight, which I am sure they have, it is not difficult to imagine the power of praying. The first time I visited the temple in LA's Chinatown I was overwhelmed with the feeling inside it. It was as if every nook and crane of the temple was filled with incense smoke and thoughts and prayer. I almost wept, swamped by emotions inside me. Now imagine a land, a country so big where prayers were said daily. A place where beliefs about spirits and nature as a living thing is the norm. Imagine living your life surrounded by those thoughts, those hopes, those prayers. Imagine living knowing fully well that you are a mere insignificant cog in this giant mechanism called Universe, yet you are substantial enough to change the life of people around you. Wouldn't you want to be there?

It was easy enough in Bali, a true fairyland where the impossible can come to life and the old wives tale came true. In an island so steeped in ancient belief to an extent that it pretty much dictate people's daily life, in an island where old temples still exist and people dutifully came to pray (which provides fresh batch of thoughts and prayers, thus prolonged its existence), I was no longer human. I was just a thing in this beautiful universe, and I was happy for my existence. But even in the capital city Jakarta, a sprawling metropolis larger than Los Angeles, I never felt alone nor lost. The prayers were abundant thanks to the Muslim's daily prayers, and the belief for spirits and nature as a complex being was still there too albeit minimum. To add, the struggle was real, and you either end up feeling thankful for what you have, or feeling genuinely sorry for what other people don't have. It was not just about thoughts and prayers, it was also about willingness to live and brute determination to make every day counts. 

My existence is not measured on what "I" have achieved or what "I" have owned. My existence lies on my ability to work with all aspects, all the cogs both seen and unseen in the complex machinery called Universe. Every little thoughts count. Every little prayers count. Every little respects count. It was simple, and I have forgotten about it.

I yearned to rest myself once again in that magical land where spirits roam and human live. I dreamed of the day where I would once again knelt and prayed at Puras, humbled and honored to be there to give my respect. I hoped to spend my life surrounded with prayers and hopes and dreams, none too small or irrelevant as every thoughts count. I longed to be alive once more, to be a complete human once more. Alas, I am not there. I am so far away to where I belong, and slowly but sure I feel myself sinking further into non-existence. Trapped like ice age mammals in tar pits thousands of years ago. I feel myself hating me more each day, and the disappointment spread like a bad bruise on an apple that eventually will left it inedible. I hate myself even though I don't know who myself anymore. Such an irony. I feel like I am beyond salvation. I am too far away from home.

Tonight we prayed to Durga and Shiva, and a brief calmness bloomed in my heart. This is home. A small, very small part; but this is the home that I know. A place where we looked up and surrender our hopes and dreams to the universe, yet continue to fight for them. A place where prayers is abundance and respect for life and the universe is flowing. I touched the feet of the little Durga statue with my finger tip and lovingly put that finger tip on my forehead, lips, and my heart. I missed Her. I missed my home. Then I opened my eyes and saw my husband gazing lovingly yet full of respect to the Durga statue. He looked at me and our eyes met. We smiled and took each other's hand. We will return one day to our magical land, and we will be human, complete human again. But that would wait. We both looked at beautiful Durga and honorable Shiva on the makeshift altar, and sighed in relief. This is home. For now.

Search This Blog