Sepulangnya saya dari wawancara kewarganegaraan siang ini, saya langsung tertidur pulas di sofa. Tidur siang yang niat seniat-niatnya, hampir seperti orang mati; yang bangun tidur grogi dan tidak tahu jam berapa atau saya dimana. Tapi rasanya puas dan lega, seperti tak ada beban lagi.
Ternyata ini rasanya kebebasan.
Semenjak kami bercerai di Juli 2016, si mantan suami tak henti mengganggu saya. Bahkan setelah resmi menikah dengan istri baru dan diboyong ke Los Angeles, pesan-pesan di blog dan e-mail saya tak berhenti. Kadang berhenti sebentar, tapi ia selalu datang kembali. Semua pasangan saya dikomentari jahat, saya dikata-katai dan dibandingkan dengan istri baru, tapi pernyataan cinta juga tak berhenti. Ini maunya apa sih?
Rasanya saya tak pernah bisa lepas dari cengkeramannya. Bahkan saat saya maju sidang meminta restraining order agar ia tak boleh lagi mengontak saya, ia masih berusaha berkuasa atas diri saya. Untungnya hakim bisa melihat ini dan mengabulkan permintaan saya. Tapi walau menang, saya masih tidak tenang.
Dia masih bisa banding, dan selama sebulan-dua setelah sidang saya sibuk deg-degan menunggu surat banding yang untungnya tidak tiba. Saat di pengadilan ia juga berargumen bahwa ia berhak menghubungi saya karena ia masih sponsor saya dan bertanggung jawab agar saya tak perlu bantuan pemerintah. Sponsor ini hanya berlaku sampai saya bekerja full 10 tahun, atau saya menjadi warga negara Amerika. Jadi selama itu pula saya masih akan terikat dengannya.
Saat itu sebenarnya saya sudah ditengah proses mengajukan pindah kewarganegaraan, tapi jujur saya takut ia akan berusaha menyabotasenya. Dia bukan orang yang akan terima begitu saja 'mainan'nya kabur dan berdasar argument-argumennya di pengadilan, ia tak merasa yang ia lakukan salah. Justru menurutnya saya yang salah. Saya yang membuatnya seperti ini, saya yang menghancurkan cinta kami.
Dan benar saja, salah satu pertanyaan saat interview adalah kenapa pernikahan kami bubar tak lama setelah saya menerima green card 10 tahun. Kalau saja saya tidak punya sekian bukti perselingkuhan dan abuse plus restraining order saya, bukan tak mungkin hasil aplikasi saya dipengaruhi oleh 'bisikan' anonim.
Hidup begini rasanya… sesak. Seolah tangannya selalu ada di leher saya, siap mencekik dan menghukum bila saya tak bersikap seperti apa yang inginkan. Saya merasa saya tidak boleh bahagia. Apapun yang saya lakukan, saya harus mempertimbangkan apa reaksi dia. Tak perduli bahwa kami sudah berpisah dan memiliki pasangan masing-masing.
Inilah kenapa begitu saya lolos interview saya langsung terkapar. Hilang sudah beban saya. Elu mau ngapain gue lagi sekarang? Tidak ada lagi ikatan apapun antara dia dan saya. Tidak ada lagi ancaman bahwa ia bisa menyabotase status imigrasi saya. Sekarang saya bebas. Merdeka.
This is not an easy journey. Ini bukanlah perjalanan yang mudah. Saya berhutang banyak pada orang-orang dekat saya yang terus menguatkan saya. Dan walau sekarang saya bebas darinya, saya masih berjuang menyembuhkan mental saya dari sisa-sisa abusenya.
Tapi itu masalah nanti. Saat ini saya hanya ingin merayakan. Saya bangga dengan diri saya sendiri dan apa yang sudah saya capai. Saya bahagia akan kemerdekaan saya. Good job, Ary. Good job.
No comments:
Post a Comment