"Beib, maaf ya kamu jadi nungguin aku," kata saya saat keluar dari gerai baju. Pacar saya nyengir iseng, "Nggak kenapa. Aku sibuk lihat pemandangan kok." Saya memberengut, "Ih kamu tuh cari kesempatan banget deh. Tungguin aku kenapa, kita kan bisa cuci mata bareng." Ups.
Musim panas di Los Angeles itu benar-benar surga dunia. Jokenya adalah, orang-orang yang tingkat kemenarikannya cuma 4 di LA itu bisa 10 di tempat lain. Pas summer, semua manusia cantik dan ganteng dengan bodi sempurna berkeliaran di LA. Anugerah ilahi banget deh.
Tapi walau celana pendeknya sudah setengah bokong atau atasan hanya bikini saja nggak berarti para lelaki langsung mengambil kesempatan. Suit-suitin atau cuma melototin nggak lepas saja bisa jadi masalah disini, apalagi yang berani nge-grepe/sentuh fisik.
Sepanjang saya bergaul dengan lelaki disini, mereka lumayan hormat sama perempuan. Kita sih melihat dan ngeh saat mahluk Tuhan nan sempurna lewat, tapi nggak ngapa-ngapain. Apalagi saat ngeh itu anak dibawah 18 tahun, kita langsung tahu diri memalingkan muka.
Saya bilang 'kita' karena saya juga ikutan hahaha. Kalau cewek lain memandangi seleb Instagram "Oh makeupnya perfect banget!" saya yang memandangi mbak-mbak cakep di Santa Monica "Oh kakinya perfect banget!". Ketertarikan dan kekaguman itu wajar.
Yang nggak wajar adalah kepemilikan secara paksa. Siapa elu ngerasa elu berhak ngeliatin gue dengan penuh nafsu dari ujung kepala sampai ujung kaki? Siapa elu ngerasa elu berhak suit-suitin dan ngegodain gue? Kapan elu gue kasi izin untuk memperlakukan gue seperti milik loe?
Beda lho rasanya. Sekali waktu saya dipanggil cantik dan ditatap dengan nanar dari ujung kepala sampai ujung kaki. Padahal saat itu saya memakai jaket dan celana panjang, tapi rasanya horror banget. Lain waktu saya pakai baju super pendek ke sebuah acara, tapi rasanya baik-baik saja karena pandangannya sekedar kagum.
"Tapi kan itu lelaki disitu, beda dengan lelaki disini," jawab anda. Yah, syukur kalau lelaki di Indonesia pada membaca ini, tapi bukan untuk mereka saya menulis ini. Saya menulis ini untuk para wanita di Indonesia, untuk mengingatkan bahwa kita punya hak atas badan kita.
Pelajaran yang saya dapat selama 5+ tahun hidup disini adalah, saya berhak berkata tidak. Saya tidak semerta-merta menjadi obyek lelaki hanya karena saya wanita. Lelaki nggak berhak mengambil kesempatan hanya karena 'ada', sama seperti kita nggak boleh jadi maling hanya karena pintu terbuka.
Berapa kali saya berada di posisi rentan, baik fisik maupun emosional, dan nggak sekalipun orang dekat saya mengambil kesempatan. Sebaliknya mereka memastikan bahwa saya baik-baik saja, bahkan yang gay sekalipun. Ini lho lelaki jantan yang sebenarnya. Ini standar yang harus kita pasang untuk lelaki.
Karena godaan akan selalu ada. Bodi oke, kita tutup biar nggak 'mengundang'. Muka cakep, kita tutup biar nggak 'mengundang'. Sekalian kita nggak keluar rumah biar nggak 'mengundang'. Tapi pas saudara suami datang dan lagi konak, tetap lho bisa diperkosa.
Terus salah gue gitu gue lahir jadi wanita? Atau apa gue harus ngerusak wajah dan badan gue biar ga dilecehkan atau di perkosa, atau mati sekalian? Ya nggak sih. Namanya hasrat, kadang kambing juga bisa digarap. Mati pun masih bisa digarap kalau orangnya 'sakit'.
Itu sih kata kuncinya. "Sakit". Orang yang nggak ngerti batasan, orang yang nggak ngerti bahwa orang lain punya hak dan harus dihormati, orang yang nggak ngerti bahwa dia bukan pusat dunia. Buat orang seperti ini, mau tampil seperti apapun akan tetap dilecehkan. Alasan mah bisa dicari.
Sayangnya kita wanita juga sering ikut membuat wanita lain sebagai obyek belaka, melecehkan 'manusia' nya seseorang. "Dasar pelacur, pamer dada kemana-mana." "Bekasnya bule pasti nggak benar." "Namanya juga janda, gatal minta digaruk." Apa iya selalu begitu?
Saya masih inget banget saat seorang stripper/penari telanjang tahu saya dari Indonesia, dia menunjuk-nunjuk suami saya, "Dia wanita baik-baik, jangan kamu sia-siakan dia! DIa sudah jauh-jauh datang kesini untukmu!" Kita berdua yang bengong dan mengangguk bingung.
Sebaliknya, saat saya bercerita pada teman saya di Indonesia bahwa suami saya selingkuh, jawaban si anak baik-baik ini adalah: "Elunya aja kali, makanya dia nggak tahan sama elu." Saya sampai shock, karena bahkan di Facebook pun sudah jelas postingan suami saya abusive banget terhadap saya.
Bukan salah wanita kita terlahir sebagai wanita. Apa yang kita lakukan, status kita, apa yang kita pakai nggak membuat orang punya hak untuk memperlakukan kita sebagai milik mereka, baik itu siulan iseng, omongan sinis, tatapan jorok, apalagi sampai kontak fisik. Kita berhak diperlakukan sebagai manusia.
Ini berlaku dua arah ya. Tante-tante kaya yang memandang anak kuliahan dengan penuh nafsu dan bilang "Ah gampang bisa dibeli," itu sama nistanya dengan abang-abang yang mengikuti mbak-mbak kantoran karena terlihat cantik. Nggak ada seorang pun yang berhak memaksakan dirinya terhadap manusia lain.
Ada kepantasan dan ada ketidakpantasan. Lingkup professional, misalnya, membutuhkan pakaian dan kelakuan yang professional juga. Tapi kita nggak pernah berhak untuk menganggap kita lebih baik dari seseorang, atau kita memiliki hak atas seseorang karena penampilannya. Mas, mbak, siapa elu?