Baca tulisan orang soal beli makan di Sol*ria, ngeri-ngeri sedap rasanya hahaha. Tulisan itu memprotes kenapa harga makanan di restoran itu mahal banget, belum lagi minumnya; dan porsi yang diberikan nggak seberapa pula. Derita dunia deh pokoknya. Saya mengerti perasaanmu mas, saya mengerti…
Jangan salah lho, harga-harga restoran di Indonesia itu muahal. Ingat banget dulu jaman kuliah kerjaannya kalau nge-mal sebelum kesana sudah harus makan dulu biar nggak tergoda jajan, atau kalau terpaksa sekali, cari resto fast food dan beli cemilan paling murah (baca: burger goceng/Rp 5,000). Food court juga nggak menjamin keberadaan makanan yang walau terjangkau namun masih beradab. Sengsara mode on kadang.
Itu cerita jaman kuliah dulu, sekarang gaji dollar lain cerita dong. Iya kan? Anda salahhhh….. Terakhir pulang ke Jakarta/Bali November 2016, rasanya syok syalala. Bahkan untuk saya yang gajinya dollar, seminggu di Jakarta terkuras lumayan banget. Sekali makan berdua bersama teman di Pizza Hut misalnya, habis sampai Rp 250rb. Kita sih emang makannya agak kalap, semua dipesan. Tapi misalnya gaji saya Rp 5jt, makan sekali sudah 1/20 gaji. Lumayan banget kan? Belum lagi tiap ketemu biasanya di Starbucks atau tempat kopi lainnya, padahal saya disini ke Starbucks kalau lagi diskon atau buy one get one free xixixi.
Kadang-kadang, saya bisa mengerti kenapa harganya syalala. Kedai-kedai kopi ternama misalnya, karena mereka menjual pengalaman. Duduk santai sambil menyesap kopi, diiringi alunan music yang chill/bikin adem; baik kerja, ketemu klien, atau bahkan sekedar relaksasi, rasanya jadi pol banget. Dulu waktu kerja dibawa bos saya makan di restoran Indonesia di Kebayoran Baru yang harganya bikin sakit hati, tapi masih bisa ngerti juga. Rasanya memang enak dan kondisinya asik banget, walau untung bukan saya yang bayar. Bisa nggak bayar kos-kosan kalau saya yang harus bayar.
Di sisi lain, saya ngemil di gerai restoran Indonesia di Atrium Senen November lalu, harganya mahal, porsi sedikit, nggak enak, dan disajikan di piring Styrofoam. Err…. Agak marah rasanya, karena bagi banyak orang yang lidahnya masih lebih suka makanan Indonesia, pilihannya nggak banyak. Seperti kata si penulis status fesbuk itu, bisa kan sedikit manusiawi gitu porsi dan pelayanannya, jangan rakus nggak jelas.
Nah, disini yang agak saru/kurang jelas sih. "Rakus". Bikin restoran itu mahal lho. Ijin usahanya, bayar franchise nya, renovasi ruangan, alat-alat restoran (mulai dari alat masak sampai meja kursi). Mas penulis ini bilang harga markup nya bisa sampai sekian kali lipat. Yah iya sih kalau dihitung dari bahan bakunya saja, tapi kan ada bayar gaji pegawainya, sewa toko, belum pemulusan kanan kiri biar nggak diresehin. Wajar banget kalau kadang restoran 'menggetok' harga agar cepat balik modal. Apalagi kadang buat orang Indonesia, harga mahal dianggap jaminan mutu. Kalau nggak mahal jangan-jangan nggak okehhh. Kalau nggak mahal ngapain juga disamperin. Dari sekian banyak yang komplen soal harga seperti mas penulis ini, masih banyak orang-orang yang menganggap keluar uang segitu adalah bentuk pencapaian.
Tapi ini Indonesia, dan nggak ada aturan kalau restoran/usaha apapun semena-mena terhadap pelanggan. Itulah kenapa di tempat hiburan, sebiji kelapa muda bisa seharga Rp 25rb atau bahkan lebih. Atau di daerah turis seperti Malioboro yang makan rame-rame bisa kena hingga hitungan juta, bukan lagi ratusan ribu. Di Amrik sini pemerintahnya juga nggak ngurusin lho. Yang diurus kalau tempatnya nggak bersih, atau kalau nggak sesuai iklan. Kalau bilangnya daging sapi impor tapi yang dipakai daging sapi lokal, pemerintah bisa bertindak. Nah kalau restorannya aja yang nggak cihui? Konsumen dong yang bertindak hehehe.
Sudah biasa restoran disini jadi ngehits atau gulung tikar berkat review orang. Orang bisa meninggalkan review di aplikasi Yelp, misalnya. Yelp itu seru karena cukup search/cari apa yang kita mau, lalu akan keluar sekian banyak opsi yang skornya berdasarkan rating pengunjung. Semakin hokehhh tempatnya, semakin tinggi ratingnya. Reviewnya pun biasanya yang lengkap, apa menu yang oke dan apa yang tidak oke, harga, pelayanan, sampai foto menu segala ada, jadi nggak yang deg-degan mau kesana. Yang ngereviewnya ngasal, entah ekstra bagus (karena teman ownernya) atau ekstra jelek (karena ada yang mereka nggak suka) biasanya ketahuan. Singkat cerita cukup terjamin lah.
Tapi di Indonesia kan belum ada. Ada baru Qraved, dan itu juga masih baru Jakarta-Bali. Ngeliat review appnya di fesbuk juga sakit hati hahaha. Ada yang numpang jualan (online), ada yang protes kenapa babi mulu yang direview, ada yang protes kenapa ada artikel tentang kenapa babi haram yang ditayangkan, ada pula yang protes kenapa artikelnya tentang restoran semua. Duh Mbakyu, itu logonya saja garpu, masa ngereview bioskop? Ini baru appnya ya yang direview, belum kalau beneran sistem review publik seperti di Yelp. Ampun DiJe…..
Satu-satunya cara ya kita yang jadi konsumen yang cerdas. Semua dimulai dari kita, kan? Es teh tawar Rp. 20rb di restoran kelas menengah. Mengantri sekian jam untuk snack kekinian. Yang harus selalu ditanyakan adalah: worth it nggak sih? Sepadan dengan harga dan usahanya nggak sih? Penasaran sih boleh, tapi terjebak latah atau merasa 'harus' sebagai status sosial, mending jangan. Nggak apa-apa kok kalau nggak termasuk kloter pertama untuk beli kue yang paling gres. Nggak usah juga maksain ke resto di mal demi update social media kalau rasa warteg samping rumah lebih enak. Bukan tanggung jawab yang punya usaha kalau harga dan rasanya nggak karuan, tapi jelas tanggung jawab kita untuk memilih apa yang kita rasa baik dan sesuai untuk kita.
Masih bingung? Pakai kurs St*rbux deh. Disini harga segelas kopi rasa-rasa (pake susu, krim, etc) itu sekitar ½ gaji per jam. Jadi kalau gaji Rp 2.5 juta sebulan, kerja 25 hari @ 8 jam, upah per jam Rp 12.500, harga kopi wajar itu Rp 6,250. Eitttt…. Ntar dulu. Jangan buru-buru saya disambit pake bon restoran, atau buru-buru menghakimi kalau ada yang gaji sekian makan sekian. Bukan urusan saya atau anda menghakimi siapa beli apa. Poin disini adalah jangan merasa terpaksa demi gengsi. Kalau memang doyan sih nggak apa-apa, tapi jangan karena gengsi. Jangan juga kebangetan kalau ada teman yang menolak dengan sopan ajakan kongkow anda, "Ih, pasti karena nggak sanggup deh, dasar miskin!". Siapa tahu dia bukan nggak mampu, tapi karena ngerasa tempat itu nggak worth it, nggak sepadan dengan harga.
Selaku negara dengan daya beli yang (menurut saya) lumayan kuat, sudah waktunya masyarakat Indonesia lebih cerdas dalam memilih pelayanan. Jangan mau lah kita terus dibego-begoin, dibilang 'ini Keren!', langsung kita nurut seperti bebek yang sedang diangon. Kalau ngerasa nggak oke, walau di mal mentereng atau didukung seleb tercihui, ya nggak apa-apa berani bilang nggak oke. Bukan berarti boleh nge-bully ya. Bedain sekedar berpendapat nggak oke dan menolak untuk datang lagi, dengan memaki-maki ria yang sampai cucu sepupu tetangga depan tokonya kena maki juga. Tahu diri juga sih, jangan ngebandingin harga teh tawar di restoran di Mal mentereng yang sewanya berapa milyar dengan harga teh tawar warkop depan rumah. Cerdas, bukan bablas. Biar gimana, mereka butuh pelanggan lho, dan pelanggan juga butuh mereka. Yuk, jadi konsumen yang pintar :)