Lucu ngeliat orang pada kebakaran jenggot soal gaji pegawai kemenpora dipotong demi Rio. Terlepas dari bener nggaknya, ya ini hasil dari mendukung gengsi dan mengharumkan nama. Nama dan reputasi itu butuh modal bo'. Apa iya anda bakal dilirik saat makan malam elegan di restoran mewah bila hanya datang dengan gaun lusuh dan sepatu yang terlihat kumel? Jangankan dinner, wawancara pekerjaan kalau kurang kinclong bisa terancam ditolak. [Btw salut sama Indonesia yang masih keukeuh pasang iklan lowongan kerja yang diskriminatif: "berpenampilan menarik".]
Kinclong itu butuh modal. Makanya kartu kredit, kredit tanpa agunan etc laris manis, kita bisa bergaya dahulu lalu mati kemudian. Ya seperti Rio inilah, kenceng bener gembar-gembornya "Ayo dukung Rio!" tapi nggak mikir duitnya dari mana. Pada pernah ngebalance pembukuan nggak sih, minimal pembukuan rumah tangga? Atau selama ini hidup dengan berdoa setiap malam "Ya Tuhan, semoga duit masih cukup sampai gajian", bukan karena gaji kurang tapi karena nggak mau planning? Anak kuliah saja yang nge-kost sudah paham periode "Mi Instan" disaat harap-harap cemas menunggu kiriman uang bulanan dari rumah. Anda pikir duit sekian milyar untuk Rio dari mana? Pasti ada yang dikorbankan.
Pemerintah suwek dan bodoh dan kejam karena memotong gaji? Lah, tapi kan anda yang menekan pemerintah untuk "Peduli akan kehormatan bangsa"? Dan untuk apa? Untuk sebuah gelar yang mungkin 99% (atau lebih) rakyat Indonesia nggak mampu mencapainya. Racing itu bukan olahraga murah bo'. Setelah Rio, kalaupun ada racer berikutnya pasti dari keluarga berada lagi karena cuma mereka yang sanggup ngebiayain latihan dasar atau bahkan bersentuhan dengan namanya mobil balap dan nggak cuma liat di tv. Berapa sih dari anda yang pernah nonton F1 live? Pasti lebih sedikit dari yang koar2 "Ayo Dukung Rio!!". Tapi ya gengsi is gengsi toh. Nggak perduli darimana modalnya the show must go on, dan tinggal gigit jari saat cuma bisa makan nasi sama garam. Eh tapi masih bisa pake lauk kok, karena seperti petuah bijak mama saya: "Makan tuh gengsi."
Bukannya saya anti-racing ya, cuma buat saya nggak tepat aja. Mungkin anda pernah lihat atau membaca tentang masa kejayaan Russian Ballet Academy. Russian Ballet Academy yang disponsori negara Rusia bertujuan mengharumkan nama Rusia dan melestarikan baletnya. Semua orang (baca: anak kecil) bisa ikut audisinya dan kalau lolos ya jadi murid disana yang asrama plus uang saku ditanggung negara. Makanya banyak cerita balerina terkenal berasal dari keluarga miskin. Skill bisa dipelajari, tapi kelenturan tubuh dan bakat alam itu anugrah dari lahir. Di Indonesia saya yakin begitu banyaknya bakat alam yang bisa digali untuk cabang olahraga yang tidak membutuhkan biaya besar. Tinju, renang, badminton, atletik, angkat besi, ini hanya sedikit dari contoh olahraga yang bisa kita dukung. Semua butuh modal dan biaya pastinya, tapi mobil balap itu a class of its own. Dan karena tidak membutuhkan mobil balap err biaya yang terlalu besar untuk latihan, bahkan dari keluarga kurang berada pun memiliki kesempatan untuk berkompetisi dan mengharumkan nama keluarga. Pulang kampung mereka dihargai dan jadi pahlawan. Ini yang lebih berarti buat simbok dan simbah dikampung. Ini yang lebih berarti untuk masyarakat marjinal, bahwa mereka pun punya kesempatan dan tidak hanya berpikir dengan tidak pedenya: "Saya kan cuma wong ndeso".
Kalau bicara harumnya nama bangsa, kita juga nggak ada kesepakatan. Biasanya cuma sepakat dan satu suara saat nyalahin orang (baca: pemerintah). Heran aja sih disaat BPJS masih sedemikian buruknya, disaat tenaga medis dan pengajar di daerah terpencil dibayar dengan buruk, disaat masih banyak daerah di Indonesia yang tidak terjangkau (boro-boro ada listrik, apalagi internet), kita bisa pedenya menuntut pemerintah mendanai Rio sekian milyar. Taruhlah pemerintah nggak segitu korupsinya, taruhlah mereka memang punya dana itu nganggur, apa nggak lebih baik disalurkan ke yang lebih butuh? Paling nggak sekali seminggu di fesbuk saya ada yang ngepost soal lansia atau orang cacat yang malang dan hidup berkekurangan. Atau kalau mau memang membiayai untuk mengharumkan nama negara, sekalian bikin macam Russian Royal Ballet Academy gitu.
Pemerintah nggak peduli karena kita nggak peduli. Rio bukan cerita baru, dulu ada jawara tenis yang juga nggak didukung pemerintah. Di Indonesia yang masih feodal, siapa yang anda kenal atau pencitraan lebih penting dari apa achievement anda. Kalau nggak percaya, lihat aja pas pilkada, apa iya ada kinerja yang bisa anda lihat dari calonnya? Atau minimal program yang benar, bukan jargon belaka? Eit, bukan cuma di Indonesia ya. Disini pendukung Donald Trump untuk jadi Presiden Amrik buanyak banget, padahal dia sama sekali nggak qualified. Rio sama juga, berkat tulisan viral "Bocah Malang" dia jadi terbantu. Coba kalau temanya "Bocah Kaya", ada juga dimaki2 lengkap dengan dikata-katain SARA. Atau kalau kemenangannya di olahraga yang nggak tenar seperti angkat besi gitu. Repot kan, kita aja ngedukung jagoan kita pilih kasih, tapi mau pemerintah bersikap adil dan merata.
We want to be in the winning team, tapi nggak mau susahnya. Nggak usah nyalahin pemerintah yang nggak nyiapin dana, kalau tiap orang yang ngeklik like atau share artikel "Bocah Malang" Rio menyumbang Rp 15,000 saja, itu penggalangan dana sudah selesai dari kapan tahu. Nggak percaya? Misalnya tiap artikel yang menyinggung "Bocah Malang" bisa dapat 100,000 like, itu udah Rp 1.5 milyar. 10 artikel saja sudah Rp 15 milyar. Tambah lagi status-status pendukung Rio yang dilike dan diamini banyak orang. Dan itu cuma Rp 15rb ya, cuma seharga nasi pecel ayam di emperan. Para pendukung olahraga mahal minimal mampu 3kalinya lah, seharga kopi di emol gituh. Apalagi yang sanggup nonton langsung di Singapore dan Malaysia, 10 kalinya atau bahkan 100 kalinya mah duit receh itu. Tapi nggak terjadi kan. Karena rasa kebangsaan kita baru sekedar jargon, masih cuma mau (nebeng) tenar tapi nggak mau susah, pilih kasih pula. Ya jangan berharap banyak ya mas dan mbak.
Besok-besok ada lagi drama orang yang diakui di negara lain tapi tidak di Indonesia, lalu kita akan merintih dan berteriak dan mengumpat:"Dasar Indonesia tidak bisa menghargai anak negerinya!", tanpa menyadari kitalah bagian dari masalah itu. Dan sejarah terus berulang. Sampai kapan? Entahlah. Karena bertambahnya usia itu otomatis, tapi kedewasaan itu pilihan dan pembelajaran. Sudah siap naik kelas, atau mau mengulang setahun lagi?
[Pic from Mariinsky Ballet - Cinderella]
No comments:
Post a Comment