5 tahun lebih berkecimpung di dunia perkawinan alias wedding industry bikin saya ngeh kalau kata-kata "I Do" atau ijab kabul dan upacara pernikahan apapun tidak selalu akhir dari cerita cinta anda, ataupun "Pengikat" komitmen antara anda dan pasangan. Pengikat komitmen yang sebenarnya adalah saat anda menyatakan kesiapan anda untuk menikah, dan diikuti dengan kesediaan anda untuk terikat dengan berbagai komitmen lain seperti menyewa fotografer, nge-book tempat resepsi, mengirimkan undangan, dan sekian banyak komitmen lainnya. Apalagi kita orang Indonesia bo', kalau nggak gede nggak greget gimana gitu rasanya. Masalahnya begitu komitmen ngebook kanan-kiri kan jadi tidak mungkin membatalkannya begitu saja. Mirip-mirip kehidupan pernikahan yang sebenarnya gitu deh.
Pastinya banyak dari pembaca yang berpikir kalau menikah itu goal banget deh, apalagi untuk wanita. Pokoknya lewat umur 25 sudah mulai pusing mikirin kenapa masih belum ada tanda-tanda ke bangku pelaminan, dan lewat umur 30 sudah mulai pasrah dan berpikir siap-siap jadi perawan tua. Begitu dengar ada teman yang menikah juga rasanya bahagia, dan pasti ucapannya "Aduh selamat ya...!" Nggak pernah kan dengar ada yang wanti-wanti, "Ujian baru saja dimulai lho..."Padahal kenyataannya ya itu tadi, komitmen pernikahan itu bukan dimulai dari waktu ijab kabul atau upacara pernikahan resminya, cerita "In sickness and in health, in rich and in poorness, till death do us part" itu bukan baru pas di depan altar atau penghulu. Semua itu dimulai saat anda menyatakan niat untuk menikah.
Kalau masih nggak percaya, coba pikir deh, mana ada hari lain di dalam hidup anda yang semuanya mesti berjalan sempurna dan apapun yang terjadi the show must go on? Mau bikin acara apapun masih bisa anda cancel/batalkan kapan saja, tapi seberapa sering anda dengar ada orang membatalkan pernikahan, apalagi saat sudah mepet hari atau bahkan (amit-amit) di hari pernikahannya? Saya ingat teman yang bertengkar di dekat hari pernikahannya cuma gara-gara nggak setuju dengan detail dekor. Saya pun nyaris batal menikah dengan si Akang karena di malam sebelum hari-H kami berdebat hebat. Kalau bukan si Akang yang mengalah dan berusaha mengademkan saya, mungkin saya masih jomblowati sekarang (Ay luph yu pull deh Akang...). Saya bisa seenaknya mau walk out begitu karena kebetulan kami cuma ke catatan sipil, cuma kami dan dua temannya sebagai saksi. No pressure/ga ada tekanan gitu. Kebayang nggak kalau weddingnya all-in? Sudah emosi bergejolak karena tahu hidup akan berubah (dan masih berusaha mencerna fakta tersebut), panik karena sekian banyak printilan-printilan yang harus diperhatikan ("bunganya nggak ada yang warna merah lho!" "Itu iparnya saudara misan Ibu sudah kamu kirimkan undangan kan?" "Fotografernya kena tipes!!"), tapi karena sudah terlanjur berkomitmen dan nggak mau malu maka satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah tetap lanjut.
Berusaha mengatasi segala masalah dan mau bekerja sama karena sudah komitmen dan nggak mau malu, kedengarannya tidak asing ya? Jelas saja, karena itu sebenarnya definisi pernikahan yang sebenarnya. Minus nggak mau malunya ya. Kalau sudah menikah, sudah tidak ada lagi acara walk out dan 'udahan' seenak udel seperti waktu pacaran. Dan walau hati marah, seringkali di muka umum harus tetap tersenyum dan kelihatan mesra seperti saat difoto pre-wedding. Sayang banget kan sudah booking fotografer sekian juta tapi muka kita cemberut? Atau saat disindir sama Bibi pasangan yang nyinyir dan ingin melarikan diri ke kamar dan kunci kamar untuk sibuk meratapi nasib tapi tidak bisa karena ada sekian banyak tamu undangan yang harus disapa. Makanya kalau lihat ada teman saya yang memutuskan menikah dengan resepsi saya salut banget. Komitmen dan niatnya jago bo'.
Buat yang kebetulan menikah sederhana (seperti saya) atau belum menikah, bukan berarti anda nggak berkomitmen. Semua orang punya cerita masing-masing dan preferensi masing-masing. Saya dulu pengen banget paling nggak punya foto pre-wedding, dan rasanya sirik gimana gitu kalau melihat orang nikah resepsi pakai baju indah-indah. Tapi cuma sebatas pingin saja. Saya nggak kebayang harus berpose sedemikian rupa di depan kamera dan retake berkali-kali, atau harus memikirkan seribu-satu detail pernak-pernik wedding yang mungkin tamunya juga nggak ingat. Terlalu melelahkan buat saya. Bahkan setelah menikah pun ada banyak hal yang butuh dipikirkan bersama, dan kedua belah pihak harus rajin mengelus dada karena nobody's perfect. Sebahagianya saya sama si Akang kadang saya masih berpikir kalau saja saya tahu menikah itu aslinya seperti apa pastinya saya akan berpikir lebih mendalam sebelum dengan semangat bilang "I Do". Saya rasa banyak pembaca budiman yang pernah berpikir seperti ini tentang suami/istri anda. Nggak apa-apa lho, ini normal. Namanya manusia pasti ada pasang surut. Duit aja ada inflasinya, apalagi perasaan.
Walaupun saya 'maniak' cerita dongeng, saya nggak percaya ending yang "happily ever after" karena hidup kita sebagai manusia nggak ada endingnya. Walau kita sudah tidak bernyawa, kenangan tentang kita (baik yang buruk maupun yang oke) akan tetap hidup di orang-orang yang mengenal kita. Begitu juga pernikahan, jangan cuma membayangkan indahnya berkata "I Do" di depan altar atau ijab kabul di depan penghulu. Pernikahan bukanlah akhir cerita cinta anda, bukanlah "Happily ever after" seperti di film-film Disney. Pernikahan adalah awal cerita baru, dan kali ini petualangan anda akan dilakukan berdua (plus keluarga besar). Rempong? Banget. Worth it? Mungkin, Mungkin. :)
No comments:
Post a Comment