AdSense Page Ads

Sunday, January 15, 2012

Cinta dan Kasta




Mari kita luruskan: Cinta dan Kasta tidak ada hubungannya. Cinta adalah sesuatu yang... tak terduga, tak bisa direncanakan, tak bisa dihindarkan. Dengan kata lain ada campur tangan Tuhan disini. Kasta, disisi lain, adalah sistem sosial buatan manusia. Terlepas dari keakuratan system ini, satu hal yang pasti: tidak mungkin anda bisa zeroed in/ menyetel diri anda untuk jatuh cinta atau bahkan bergaul hanya dengan kasta tertentu. Bisa sih sebenarnya, anda hanya harus menanyakan nama lengkap/silsilah keluarga tiap orang yang anda temuin. Ini memakan waktu dan jelas menghilangkan kesempatan anda untuk lebih dekat dengan orang-orang yang mungkin sudah ditakdirkan untuk bertemu anda.

Tanggapan yang sering kali muncul dari orang berkasta (e.g Dayu) atau keluarga mereka adalah: “nanti kalau terlalu jauh pacarannya dia bisa kawin keluar/turun kasta!” [Saya pribadi tidak setuju istilah “turun”, mungkin tepatnya keluar dari keluarga. Saya percaya setiap manusia diciptakan sama.] Pertanyaannya disini: apakah itu sedemikian salah? Secara system social mungkin dianggap tidak pantas, namun apakah demikian halnya dengan pribadi dan nurani masing-masing?

Untuk menjawab pertanyaan itu saya akan bertanya pada para wanita: apa yang anda cari dari seorang pria? Uang/kekuasaan? Strata social yang baik? Kehidupan yang menyenangkan? Tiap orang memiliki alasan sendiri untuk memilih pasangan. Buat saya (dan mungkin jutaan wanita modern lainnya) yang terpenting adalah kasih sayang dan stabilitas. Saya berpendidikan, memiliki karir yang bagus, mampu mencari uang sendiri. Ketiga hal ini memastikan strata social saya dikalangan masyarakat umum (paling tidak non-Bali); dan memastikan bahwa saya hanya perlu memiliki pasangan bila saya ingin, bukan karena saya butuh. Saya tidak perlu menikahi seseorang hanya agar saya dinafkahi atau agar status social saya terangkat, tapi saya perlu (dan ingin) menikahi seseorang yang bisa membahagiakan saya hingga akhir hayat. Bila anda seorang wanita yang berpendidikan, yang memiliki karir dan mandiri, anda pun sama seperti saya. Kita memiliki hak untuk memilih pasangan kita, mencari yang sepadan secara pribadi dan bukan hanya secara gelar.

Secara adat ini salah? Mungkin. Namun bila prinsip “penyucian darah” (menikah dengan kasta lain berarti keluar dari keluarga) diberlakukan untuk para wanita berkasta (e.g. Dayu), maka harusnya ini juga berlaku bagi pasangan pria nya (i.e Ida Bagus). Secara genetis DNA anak adalah gabungan dari DNA kedua orang tuanya, kenapa kita bisa senaif itu dan menganggap hanya pria berkasta (e.g. Brahmana) yang bisa menghasilkan keturunan yang “suci”? Kelinci coklat yang dikawinkan dengan kelinci hitam akan menghasilkan paling tidak satu keturunan berbulu campuran. Secara logika ilmiah bukanlah tidak mungkin seorang (e.g. Dayu) yang menikah keluar akan menghasilkan keturunan yang “bersinar”. It’s in her blood. It’s in her soul. Dan lagipula, teori ini tidak menjelaskan tentang anak “astra” (anak yang lahir diluar pernikahan) dan hasil selingkuh.

Soal dosa? Harus saya akui saya tidak terlalu percaya dengan surga-neraka. Tuhan pasti akan mengadili saya dan mungkin hanya sedikit dosa yang lebih besar daripada mempermalukan orang tua/leluhur. Namun mari kita berpikir lagi. Bila leluhur dan Tuhan sedemikian menyayangi anda, tidakkah mereka ingin anda bahagia? Tidakkah karma baik mereka akan bertambah bila keturunan mereka, terlepas siapapun namanya, menyebarkan kebaikan di dunia hingga tercapai apa yang umat Nasrani sebut sebagai ”Damai/Surga di dunia”? Saya mungkin tidak tahu apa-apa, tapi saya yakin Tuhan tidak picik. Bukan siapa yang saya nikahi, namun apa yang saya perbuat di dunia ini yang Ia pertimbangkan.

Di dunia yang hampir kiamat ini kita perlu lebih banyak orang baik. Kita perlu lebih banyak orang yang mengasihi sesamanya. Dan itu [hanya] bisa dipelajari dengan baik dari keluarga inti, dari orang tua yang saling menyayangi, saling menghormati, saling memikul tanggung jawab. Dan itu hanya dapat terjadi dalam sebuah ikatan [pernikahan] yang didasari kasih sayang dan tanggung jawab. Bila anda (atau keluarga perempuan anda) kebetulan mendapatkan semua ini didalam diri pria yang sama kastanya, mengapa tidak? Seorang kenalan saya mendapatkan semua ini, dan bahkan sang suami rela Sentana (masuk ke keluarga wanita) demi istrinya. Namun bila kebetulan anda mendapatkannya dari yang berbeda kasta, ini juga bukan akhir dunia.

Saya ingin mengajak semua pembaca [Hindu Bali] untuk mencerna ini dengan bijak, dengan netral. Saya tidak menyarankan agar kita merombak ulang system social yang ada. Yang saya sarankan adalah untuk maju, untuk menata kehidupan yang lebih baik berdasarkan/dengan belajar dari masa lalu dan bukan dengan keras kepala mempertahankan masa lalu itu. Secara umum, nama dan kasta sudah semakin hilang pengaruhnya, melebur di dalam kompleksnya masyarakat. Hanya orang Bali yang mengerti bedanya Dayu dan Sagung, dan bahkan hal itu tidak berpengaruh saat anda mencari pekerjaan atau ilmu. Hak-hak wanita pun kini semakin diakui, di negara-negara arab yang terkenal kaku para wanita (akhirnya) diperbolehkan membuka bisnis, mengemudi mobil, bahkan memilih pemimpin. Para wanita dalam naskah-naskah suci selalu merupakan obyek yang dihormati, bahkan ibu dari para Kurawa sekalipun. Saatnya memberikan kehormatan itu kembali untuk para wanita [Hindu] Bali. Biarkan kami memilih pasangan kami, biarkan kami membesarkan anak-anak kami tanpa tekanan dan paksaan. Biarkan kami mengatakan dengan tegas: “I wouldn’t choose or reject a [potential] partner just because of his name.”

Pada akhirnya anda [para wanita]lah yang harus memilih, apakah anda akan berbahagia dengan pilihan anda. Dan bila ada diantara para pembaca budiman yang kebetulan keluarga perempuannya menikah beda kasta saya harap saat ini anda sudah cukup legowo dan mau mendukungnya. Ingat untuk berpikir, berpikir, dan berpikir. Pernikahan bukanlah suatu permainan iseng-iseng. Jangan terburu mengatakan Ya atau Tidak hanya karena kepanikan/kesesatan sesaat, karena terpengaruh Romeo+Juliet atau karena takut terbuang dari keluarga. Pernikahan adalah untuk selamanya, dan Kebahagiaan adalah pilihan anda: anda bisa berbahagia di rumah BTN atau bersedih di Istana, pikiran dan tekad andalah yang mennetukan kebahagiaan anda. Dan para wanita, anda berhak untuk berbahagia. Anda harus berbahagia karena kebahagiaan anda adalah kebahagiaan anak-anak anda, dan anak-anak mereka, dan seterusnya. You owe that to the world, you owe that to God. Kebahagiaan ada di tangan anda sendiri :).

2 comments:

  1. sedikit tambahan.
    bukan cm wanita yg turun kasta jika menikah dgn pria kasta lebih rendah.
    Pria jg seperti itu jika keturunannya menikah 3x berturut" dgn wanita yg lbh rendah kastanya.

    kalo kasta dalam bentuknya sbgai warna dalam adat bali itu wajib.
    karna kalo tdk ad brahmana siapa yg akan jd pedanda?
    kalo Ida bagus tdk mendapatkan istri seorang dayu kemungkinan besar dy tdk dpt mediksa jd peranda!
    bgtu jg kasta ksatria. kalo tdk ada raja, siapa yg akan jd penganceng piodalan" besar di bali.?

    smua itu sudah di atur oleh leluhur.
    smua ad baik buruknya.(rwa bineda)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju sekali.... tapi kenyataannya apakah ada yang benar-benar secara tegas diturunkan kastanya bila dari keluarga pria 3 keturunan berturut-turut menikah dengan yang kastanya lebih rendah? Bahkan ada keturunan Brahmana yang tetap eksis memegang namanya walau sekian lama tidak memiliki Pedanda.Tidak adil rasanya bila hanya perempuan yang dikejar-kejar...

      Delete

Search This Blog