Pagi ini dimulai dengan membaca berita menyedihkan dari Amerika, dimana seorang calon konselor sekolah menyatakan dia akan sulit bekerja dengan para gay dikarenakan kepercayaan yang dia anut. Kenapa menyedihkan? Sebab saya percaya bahwa tiap manusia memiliki hak untuk diperlakukan sama. Tiap manusia itu setara.
Secara teknis, dunia menjadi begitu dekat sekarang. Kita bisa dengan mudah menghubungi orang-orang atau bahkan bepergian ke seluruh penjuru dunia. 80 days around the world bisa diganti dengan 80 minutes around the world dengan telepon lama, atau bahkan 80 seconds around the world pakai Skype. Tapi bukannya meluas, hati orang-orang malah cenderung mengecil. Bukannya menghilangkan label, malah justru menambah label: "homo", "wanita", "teroris", "radikal", "hippie ga jelas*, dan masih banyak lagi. Penganut agama A menolak berkumpul dengan penganut B, suku A menolak membantu suku B, si warga negara C menolak adanya warga negara D di negaranya. Kenapa malah kebencian yang dipelihara?
Apakah saya homosexual? Bukan. Saya masih cinta lekong-lekong yang sexy menawan. Apakah saya menyetujui homosexualitas? Ga bisa dibilang iya. Karena saya masih percaya kalau Tuhan memang mentakdirkan pria dengan pria Ia akan membuat Adam 1 dan Adam 2 di Taman Eden, begitu pula dengan Eve/Hawa 1 dan Eve/Hawa2. Tapi apapun yang anda lakukan di tempat tidur jelas bukan urusan saya, kecuali bila pasangan saya yang anda ajak berkencan ;).
Alasan klise bahwa pria harus dengan wanita dan sebagainya itu crap buat saya. Kata siapa wanita lebih bahagia bersama pria, atau pria lebih bahagia bersama wanita? Banyak hubungan pria-wanita hancur karena sang pria atau sang wanita atau keduanya tidak ma(mp)u menjaga hubungan mereka, ga ma(mp)u menghargai pasangannya. Tapi jangan salah, hubungan pria-pria atau wanita-wanita juga bisa hancur karena alasan-alasan di atas. So it's not about who you love, but about how you love.
Saya tahu setelah saya publish artikel ini isi komen saya mungkin akan dibombardir orang-orang yang menentang homoseksualitas, dan link artikel saya akan RT berulangkali di twitter dengan tulisan "Kafir!" "penentang Tuhan" dan seterusnya. I don't care. I don't support them, but I'm not bothered either*. Ada orang-orang yang obsesinya (menurut saya) lebih kacau: beberapa kenalan saya terobsesi dengan uang, yang lain terobsesi dengan kekuasaan, dan benda-benda lain yang tidak berguna untuk kehidupan manusia secara keseluruhan plus ga bisa dibawa mati. Better go fix them, love. Leave the dudes and dudettes alone.
* Yes, I have to admit that the "count-me-in!" dudes and dudettes ANNOYS me. I imagine it's hard enough for the gay people to spread their message and love across without being sabotage by those silly people who just join just because of the Fad, not because of their true nature. And if you want to look like a girl, go all in and get a boobs job, otherwise please leave your skin-tight-leotard at home. Please.
Photo taken from: http://heikoandsweechan.blogspot.com/2010/08/behind-holding-hands.html
A little bit of this, a little bit of that, and all the things the cat sees along her way
AdSense Page Ads
Tuesday, November 29, 2011
Monday, November 7, 2011
Bersikap Dewasalah!
"emang kenapa punya ibu tiri and adik tiri??? trus berasumnsi nasibnya kek bawang putih?? emang dgn alasan gitu dibolehin ngerokok n minum miras di rumahnya????" - Komentar di forum detik soal Maia dan Al, putranya.
Walau miris membacanya, memang benar ada banyak orang sukses yang sebenarnya kondisi hidupnya saat kecil seolah pasti menjadi orang gagal (paling tidak menurut norma/pandangan masyarakat umum). Lihat saja Steve Jobs yang anak diluar nikah dan sekaligus anak adopsi, saat dia meninggal dunia jauh lebih berduka daripada kematian pemimpin dunia manapun. Namun itu bukan berarti bahwa wajar bila anak-anak dipaksa mengalami kondisi sulit karena orang tua. Hanya karena mereka cukup kuat untuk bertahan hidup bukan berarti tindakan orang tua mereka benar.
Kadang saya merasa kehebatan manusia itu overrated, terlalu dilebih-lebihkan. Manusia memang hebat dan kuat, namun hebat dan kuatnya manusia datang dari sesamanya. Bayi manusia yang baru lahir namun tak diurus memiliki kans hidup nol besar, tak seperti spesies lainnya. Entah kenapa kita sering tidak menyadari ini. Manusia butuh sesamanya untuk bertahan hidup, dan lebih dari apapun, mereka butuh orang tua mereka. Kita menggembar-gemborkan keajaiban cinta, dan memang benar sampai saat ini hanya Manusia yang terbukti bisa merasakan cinta, namun kita sering kali melupakan cinta dan kebaikan terhadap anak kita.
Apa yang akan anak anda pelajari dengan melihat perang mulut diantara orang tua? Dengan melihat siksaan verbal atau bahkan fisik terhadap salah satu orang tua mereka? Apa yang akan mereka pelajari dengan melihat kebencian diantara orang tua, ketidakmampuan untuk bersikap dewasa? Apa yang akan mereka pelajari dari pandangan dingin di mata anda, dan pemikiran anda (entah tersirat ataupun tersurat) bahwa anda menyesal melahirkan mereka? Semua yang saya sebut diatas akan melunturkan harga diri mereka, menumbuhkan rasa tidak percaya diri, menumpulkan suara hati dan kebaikan alami, dan memperuncing amarah dan emosi negatif mereka. Ini yang mereka pelajari, ini yang mereka ketahui.
Manusia adalah satu-satunya spesies yang mampu mengubah sesamanya secara negatif. Anda membuat anak anda menjadi monster negatif, ia akan pergi dan melukai orang lain, orang lain itu kemudian akan melukai orang lain lagi, dan seterusnya. Kebaikan itu menular, namun tidak semenular emosi negatif. Saat anda menyakiti anak anda, melukai hatinya secara tidak perlu, berarti anda bertanggung jawab terhadap sekian banyak lainnya orang yang tersakiti, yang terluka. Anda tidak perduli? berarti mungkin memang anda tidak seharusnya memiliki anak. Jangan pernah memutuskan melahirkan dan menbesarkan seorang anak tanpa berpikir panjang.
Stop berangan-angan mengubah dunia menjadi tempat yang lebih indah, surga di dunia. Bila anda ingin mengubah dunia menjadi lebih baik, mulai lah dari diri anda sendiri. Manusia hebat, manusia kuat, namun tak ada seorang anak pun, seorang manusia dewasa pun yang boleh diperlakukan sekejam ini. Berhenti menyakiti anak anda. Bersikap dewasalah.
Walau miris membacanya, memang benar ada banyak orang sukses yang sebenarnya kondisi hidupnya saat kecil seolah pasti menjadi orang gagal (paling tidak menurut norma/pandangan masyarakat umum). Lihat saja Steve Jobs yang anak diluar nikah dan sekaligus anak adopsi, saat dia meninggal dunia jauh lebih berduka daripada kematian pemimpin dunia manapun. Namun itu bukan berarti bahwa wajar bila anak-anak dipaksa mengalami kondisi sulit karena orang tua. Hanya karena mereka cukup kuat untuk bertahan hidup bukan berarti tindakan orang tua mereka benar.
Kadang saya merasa kehebatan manusia itu overrated, terlalu dilebih-lebihkan. Manusia memang hebat dan kuat, namun hebat dan kuatnya manusia datang dari sesamanya. Bayi manusia yang baru lahir namun tak diurus memiliki kans hidup nol besar, tak seperti spesies lainnya. Entah kenapa kita sering tidak menyadari ini. Manusia butuh sesamanya untuk bertahan hidup, dan lebih dari apapun, mereka butuh orang tua mereka. Kita menggembar-gemborkan keajaiban cinta, dan memang benar sampai saat ini hanya Manusia yang terbukti bisa merasakan cinta, namun kita sering kali melupakan cinta dan kebaikan terhadap anak kita.
Apa yang akan anak anda pelajari dengan melihat perang mulut diantara orang tua? Dengan melihat siksaan verbal atau bahkan fisik terhadap salah satu orang tua mereka? Apa yang akan mereka pelajari dengan melihat kebencian diantara orang tua, ketidakmampuan untuk bersikap dewasa? Apa yang akan mereka pelajari dari pandangan dingin di mata anda, dan pemikiran anda (entah tersirat ataupun tersurat) bahwa anda menyesal melahirkan mereka? Semua yang saya sebut diatas akan melunturkan harga diri mereka, menumbuhkan rasa tidak percaya diri, menumpulkan suara hati dan kebaikan alami, dan memperuncing amarah dan emosi negatif mereka. Ini yang mereka pelajari, ini yang mereka ketahui.
Manusia adalah satu-satunya spesies yang mampu mengubah sesamanya secara negatif. Anda membuat anak anda menjadi monster negatif, ia akan pergi dan melukai orang lain, orang lain itu kemudian akan melukai orang lain lagi, dan seterusnya. Kebaikan itu menular, namun tidak semenular emosi negatif. Saat anda menyakiti anak anda, melukai hatinya secara tidak perlu, berarti anda bertanggung jawab terhadap sekian banyak lainnya orang yang tersakiti, yang terluka. Anda tidak perduli? berarti mungkin memang anda tidak seharusnya memiliki anak. Jangan pernah memutuskan melahirkan dan menbesarkan seorang anak tanpa berpikir panjang.
Stop berangan-angan mengubah dunia menjadi tempat yang lebih indah, surga di dunia. Bila anda ingin mengubah dunia menjadi lebih baik, mulai lah dari diri anda sendiri. Manusia hebat, manusia kuat, namun tak ada seorang anak pun, seorang manusia dewasa pun yang boleh diperlakukan sekejam ini. Berhenti menyakiti anak anda. Bersikap dewasalah.
Thursday, November 3, 2011
Kuta Karnival 2011
It’s the sun, It’s the sea, it’s the wind that breeze and the huge kites that flew (and some huge beer-bottle balloons that I just adore), it’s Kuta Karnival 2011 in full spirit!!
Yup, one of my favorite event of the year has return, and it returns with such full throttle, no less than the OktoberFest as its theme!! Okay, the official theme was: Light Up The World. But still, with all those Carlsberg, Heineken, Storm and Bintang (and along numerous other import/local beer that I just only knew at the event, including the fabled Kuda Putih), it’s difficult to remember the original theme was not about beer festival. Anyway, it was anything but boring ;)
Kuta Karnival (along with Sanur Festival on November and Denpasar Heritage Festival on December) is definitely my favorite Bali event. This laid-back style carnival/festival allows yours truly to wander along all day long on the beach, relieving my thirst and hunger from various drink and food stall (not many food stall this year though, shame), run and play with the cold water/wave when I felt bored (or slightly intoxicated), and just sit dumbfounded watching the majestic sunset. Best parts: nobody cares what you did during the event as there are so many people loitering around anyway. Oh yeah, I got to dress whatever I want (I choose “polite” clothes this time, as I’m in the “age self-conscious” period) and get to see some really nice guys. Mmmm…. This is what girls should do in their free time… Having fun, that is. What else? What are you thinking about??
Some friends of mine, a delightful couple from South Africa, came on the last day. We talk and laugh and basically just chatting away (a bit nonsense-ly I presume) and the next thing I know we’ve been hanging around there since 2 – 8 pm. Wowie! When I visit the event on the first day, they have an opening parade, and it was pure beauty. Especially as it is set against the setting sun, it was both breathtaking and most memorable. On the last day, however, my friends and I get to see the closing band parade. Some are good (especially the metal ones, and my friend manage to get a picture with the lead singer), some are so so, but one strikes gold: A children band (local Bali children, yeaaah!!) who just know how to swagger, how to pluck the guitar, and how to leave me and my friends dancing and clapping feverishly for them. Yup, they’re THAT good!!
I was more than a bit upset when it ended, I felt like Cinderella at 11.55 pm (or something similar). But no worries, I still have Sanur Festival to look forward to in another 2 weeks or so, and Denpasar Festival in less than 2 months, and of course, Kuta Karnival next year :). Love Love Love Bali!!!
View the Parade Video here, And more photos here.
Yup, one of my favorite event of the year has return, and it returns with such full throttle, no less than the OktoberFest as its theme!! Okay, the official theme was: Light Up The World. But still, with all those Carlsberg, Heineken, Storm and Bintang (and along numerous other import/local beer that I just only knew at the event, including the fabled Kuda Putih), it’s difficult to remember the original theme was not about beer festival. Anyway, it was anything but boring ;)
Kuta Karnival (along with Sanur Festival on November and Denpasar Heritage Festival on December) is definitely my favorite Bali event. This laid-back style carnival/festival allows yours truly to wander along all day long on the beach, relieving my thirst and hunger from various drink and food stall (not many food stall this year though, shame), run and play with the cold water/wave when I felt bored (or slightly intoxicated), and just sit dumbfounded watching the majestic sunset. Best parts: nobody cares what you did during the event as there are so many people loitering around anyway. Oh yeah, I got to dress whatever I want (I choose “polite” clothes this time, as I’m in the “age self-conscious” period) and get to see some really nice guys. Mmmm…. This is what girls should do in their free time… Having fun, that is. What else? What are you thinking about??
Some friends of mine, a delightful couple from South Africa, came on the last day. We talk and laugh and basically just chatting away (a bit nonsense-ly I presume) and the next thing I know we’ve been hanging around there since 2 – 8 pm. Wowie! When I visit the event on the first day, they have an opening parade, and it was pure beauty. Especially as it is set against the setting sun, it was both breathtaking and most memorable. On the last day, however, my friends and I get to see the closing band parade. Some are good (especially the metal ones, and my friend manage to get a picture with the lead singer), some are so so, but one strikes gold: A children band (local Bali children, yeaaah!!) who just know how to swagger, how to pluck the guitar, and how to leave me and my friends dancing and clapping feverishly for them. Yup, they’re THAT good!!
I was more than a bit upset when it ended, I felt like Cinderella at 11.55 pm (or something similar). But no worries, I still have Sanur Festival to look forward to in another 2 weeks or so, and Denpasar Festival in less than 2 months, and of course, Kuta Karnival next year :). Love Love Love Bali!!!
View the Parade Video here, And more photos here.
Mbak Kim Kardashian dan Thank-You-Note
Saya ingin tahu apakah Kim Kardashian dan/atau suaminya sempat menulis thank-you note untuk fotografernya...
Pikiran itu tercetus di benak saya siang ini, saat saya sibuk menata 400-an testimonial klien kantor saya. Percaya tidak percaya, orang-orang yang menulis testimonial untuk kami secara global tampak lebih bahagia dengan pasangannya, lebih menikmati hidup, dan memiliki tingkat perceraian lebih rendah. Okay, data ini jelas tidak 100% akurat, karena saya hanya mengobservasi via Facebook; dan tingkat perceraian klien kami memang amat-sangat rendah. Tapi tetap saja saya jadi kepikiran.
Testimonial bisa dibilang thank-you note: Klien mengakui (dan memuji) hasil kerja kita. Biarpun hanya sebaris-dua, rasanya menyenangkan sekali diapresiasi. Untuk klien pun ada benefitnya lho, karena kalau lain kali ia menggunakan company/perusahaan yang sama pasti ia akan diperlakukan lebih baik lagi. Siapa sih yang tidak suka dipuji? Siapa sih yang tidak suka dapat perlakuan ekstra baik?
Masalahnya hanya satu, tidak semua orang memiliki kerendahan hati untuk bilang “Terima Kasih”. Walaupun 100% gratis untuk mengucapkan kata “Terima Kasih” itu. Jadi wajar saja kalau orang yang menulis testimonial dan/atau tidak pelit mengucapkan “Terima Kasih” (tampaknya) hidup lebih bahagia, mereka sudah mengerti esensi hidup : saling menghargai. Yeah, anda memang membayar si mbok untuk bebersih rumah anda, atau untuk perawatan lengkap di Rumah sakit, atau untuk service total di rumah makan mewah; tapi tidak ada salahnya kan untuk tetap tersenyum dan mengucap, “Terima Kasih”. Perkataan itu membuat orang yang membantu anda (dan anda sendiri) merasa sebagai “Manusia”.
Balik lagi ke Mbak Kim itu, saya rasa walaupun dia menulis surat thank-you pribadi berlembar-lembar pun kemungkinan dia tetap akan cerai, maklum seleb. Anyway, konon dia dapat $7.5 juta Dollar dari pernikahannya selama 72 hari. Itu berkali lipat dari jumlah yang didapat rata-rata wanita, padahal sudah nikah berpuluh tahun. She might not be nice, but she sure is smart.
Pikiran itu tercetus di benak saya siang ini, saat saya sibuk menata 400-an testimonial klien kantor saya. Percaya tidak percaya, orang-orang yang menulis testimonial untuk kami secara global tampak lebih bahagia dengan pasangannya, lebih menikmati hidup, dan memiliki tingkat perceraian lebih rendah. Okay, data ini jelas tidak 100% akurat, karena saya hanya mengobservasi via Facebook; dan tingkat perceraian klien kami memang amat-sangat rendah. Tapi tetap saja saya jadi kepikiran.
Testimonial bisa dibilang thank-you note: Klien mengakui (dan memuji) hasil kerja kita. Biarpun hanya sebaris-dua, rasanya menyenangkan sekali diapresiasi. Untuk klien pun ada benefitnya lho, karena kalau lain kali ia menggunakan company/perusahaan yang sama pasti ia akan diperlakukan lebih baik lagi. Siapa sih yang tidak suka dipuji? Siapa sih yang tidak suka dapat perlakuan ekstra baik?
Masalahnya hanya satu, tidak semua orang memiliki kerendahan hati untuk bilang “Terima Kasih”. Walaupun 100% gratis untuk mengucapkan kata “Terima Kasih” itu. Jadi wajar saja kalau orang yang menulis testimonial dan/atau tidak pelit mengucapkan “Terima Kasih” (tampaknya) hidup lebih bahagia, mereka sudah mengerti esensi hidup : saling menghargai. Yeah, anda memang membayar si mbok untuk bebersih rumah anda, atau untuk perawatan lengkap di Rumah sakit, atau untuk service total di rumah makan mewah; tapi tidak ada salahnya kan untuk tetap tersenyum dan mengucap, “Terima Kasih”. Perkataan itu membuat orang yang membantu anda (dan anda sendiri) merasa sebagai “Manusia”.
Balik lagi ke Mbak Kim itu, saya rasa walaupun dia menulis surat thank-you pribadi berlembar-lembar pun kemungkinan dia tetap akan cerai, maklum seleb. Anyway, konon dia dapat $7.5 juta Dollar dari pernikahannya selama 72 hari. Itu berkali lipat dari jumlah yang didapat rata-rata wanita, padahal sudah nikah berpuluh tahun. She might not be nice, but she sure is smart.
Putusnya Kebencian
Somewhere along the line, it stopped.
Saya berjumpa dengan seorang kenalan saya kemarin. Saya benar-benar tidak ingat siapa dia, dan dia berusaha keras mengingatkan saya. Padahal dari penuturannya dia salah satu kenalan dari “periode gelap” saya. Beberapa waktu yang lampau saya bertemu dengan gang kampus yang amat saya benci, namun saya malah terlongo bego menatap mereka sementara mereka berusaha membuat percakapan yang, ehm, beradab. Begitu pula dengan orang-orang yang menyapa saya di Facebook, yang dulunya mendengar namanya saja bikin saya merinding. Seperti cerita orang Skinhead diatas yang memutuskan untuk bertobat, entah dimana dan entah kapan, kebencian itu tiba-tiba berakhir.
Buat yang kenal saya pasti tahu, saya orangnya ekstrim. Kerja untuk/bareng saya itu bisa amat menyebalkan, tapi hasilnya (paling tidak menurut saya, bos-bos saya, dank klien-klien saya) benar-benar bagus. Adu mulut dengan cowok senior saya, mengobar perang dengan organisasi kampus, sampai memarahi ketua organisasi besar di Jakarta sambil menangis. Di depan semua orang. Wajar sekali saya punya musuh dimana-mana, wajar sekali saya pun banyak memusuhi orang.
Tahu kan rasanya? Mulut rasanya pahit, dada berdebar kencang, napas tak teratur, siap untuk menyerang, untuk mempertahankan diri. Dan itu cuma karena mendengar nama mereka atau cerita tentang mereka. Saya sampai harus meminum segelas wine sebelum berangkat reuni gank kampus itu (yang ternyata batal), karena begitu emosionalnya saya. Tak berapa lama kemudian mereka tiba-tiba muncul di kehidupan saya. Lalu lebih banyak lagi “musuh” saya muncul kembali. Harusnya rasanya seperti “rise of the dead” atau film zombie lainnya, tapi saya justru tidak merasakan apa-apa. Saya tidak peduli lagi.
Ada pepatah, “Time heals what reason cannot”. Waktu akan menyembuhkan apa yang tak bisa disembuhkan oleh alasan/penjelasan. Masuk akal, hidup manusia adalah seri cobaan tiada akhir, dan cobaan yang satu lebih besar dan lebih berat dari sebelumnya. Kita tidak memiliki kemampuan untuk membenci sedemikian lama, ada banyak hal lain yang harus dipikirkan. Dan tiba-tiba, tanpa kita sadari, kebencian/amarah kita sudah tidak berarti lagi, karena kita menemukan hal lain yang lebih penting. Bisa saja anda mempertahankan kebencian/amarah itu, namun dengan risiko anda terjebak di masa lalu dan tak mampu melangkah kedepan, dan jelas, kehilangan sesuatu yang lebih penting dalam hidup anda.
Bila saat ini anda masih terjebak kebencian masa lampau, jangan takut. Waktu akan menyembuhkannya, namun hanya bila anda mengijinkannya ☺.
Saya berjumpa dengan seorang kenalan saya kemarin. Saya benar-benar tidak ingat siapa dia, dan dia berusaha keras mengingatkan saya. Padahal dari penuturannya dia salah satu kenalan dari “periode gelap” saya. Beberapa waktu yang lampau saya bertemu dengan gang kampus yang amat saya benci, namun saya malah terlongo bego menatap mereka sementara mereka berusaha membuat percakapan yang, ehm, beradab. Begitu pula dengan orang-orang yang menyapa saya di Facebook, yang dulunya mendengar namanya saja bikin saya merinding. Seperti cerita orang Skinhead diatas yang memutuskan untuk bertobat, entah dimana dan entah kapan, kebencian itu tiba-tiba berakhir.
Buat yang kenal saya pasti tahu, saya orangnya ekstrim. Kerja untuk/bareng saya itu bisa amat menyebalkan, tapi hasilnya (paling tidak menurut saya, bos-bos saya, dank klien-klien saya) benar-benar bagus. Adu mulut dengan cowok senior saya, mengobar perang dengan organisasi kampus, sampai memarahi ketua organisasi besar di Jakarta sambil menangis. Di depan semua orang. Wajar sekali saya punya musuh dimana-mana, wajar sekali saya pun banyak memusuhi orang.
Tahu kan rasanya? Mulut rasanya pahit, dada berdebar kencang, napas tak teratur, siap untuk menyerang, untuk mempertahankan diri. Dan itu cuma karena mendengar nama mereka atau cerita tentang mereka. Saya sampai harus meminum segelas wine sebelum berangkat reuni gank kampus itu (yang ternyata batal), karena begitu emosionalnya saya. Tak berapa lama kemudian mereka tiba-tiba muncul di kehidupan saya. Lalu lebih banyak lagi “musuh” saya muncul kembali. Harusnya rasanya seperti “rise of the dead” atau film zombie lainnya, tapi saya justru tidak merasakan apa-apa. Saya tidak peduli lagi.
Ada pepatah, “Time heals what reason cannot”. Waktu akan menyembuhkan apa yang tak bisa disembuhkan oleh alasan/penjelasan. Masuk akal, hidup manusia adalah seri cobaan tiada akhir, dan cobaan yang satu lebih besar dan lebih berat dari sebelumnya. Kita tidak memiliki kemampuan untuk membenci sedemikian lama, ada banyak hal lain yang harus dipikirkan. Dan tiba-tiba, tanpa kita sadari, kebencian/amarah kita sudah tidak berarti lagi, karena kita menemukan hal lain yang lebih penting. Bisa saja anda mempertahankan kebencian/amarah itu, namun dengan risiko anda terjebak di masa lalu dan tak mampu melangkah kedepan, dan jelas, kehilangan sesuatu yang lebih penting dalam hidup anda.
Bila saat ini anda masih terjebak kebencian masa lampau, jangan takut. Waktu akan menyembuhkannya, namun hanya bila anda mengijinkannya ☺.
Subscribe to:
Posts (Atom)