AdSense Page Ads

Monday, February 16, 2015

Penembakan di Chapel Hill: Mengapa ini Bukan Terorisme

Desember lalu saya membaca artikel yang ditulis seorang ibu yang berkeras bahwa teman sekolah anaknya tidak datang ke pesta ulang tahun anaknya karena anaknya autis. Tulisan itu dengan cepat menarik banyak komentator, yang hampir semuanya sinis terhadap ibu itu. Bukan apa-apa, seperti yang dikatakan berbagai komentator: anak mereka yang normal saja kadang-kadang tidak diundang atau tidak ada yang datang ke pesta mereka. Saya manggut-manggut setuju. Jangan sensi sendiri gitu deh. 

Di Amerika sini, perilaku 'Elu harus respect sama gue!' ini lumayan marak dan menyebalkan. Kasus Michael Brown misalnya, dimana anak muda kulit hitam ini ditembak mati polisi. Ini akhirnya menyebabkan kerusuhan di kota Ferguson dan demonstrasi besar-besaran di berbagai kota. Ceritanya menolak kekerasan yang dilakukan polisi, padahal si Mike Brown ini sebelumnya merampok toko lalu menyerang polisi. Begitu pula saat seorang remaja perempuan ditembak mati polisi, padahal dia mencuri mobil dan berusaha melindas polisi. Buat saya yang orang Indonesia dengan akal (lumayan) sehat, menyerang polisi yang punya pistol itu begonya ndalilah sekali, apalagi polisi disini sudah sangat stres dan parno karena hampir setiap orang disini punya pistol. Tapi para demonstrator disini nggak perduli, yang mereka perduli kaum mereka (kulit hitam, hispanik) terbunuh oleh polisi (kulit putih). Nggak masuk akal kan?

Saya setuju sekali dengan tulisan di fesbuk: Agama/keyakinan itu seperti penis, anda bisa punya satu dan saya tidak akan peduli, tapi akan jadi masalah kalau anda ngotot memaksakannya di depan muka saya. Masalahnya sekarang adalah victim mentality, yang ngerasa dibully dan dianiaya/dizholimi karena pilihan/kondisi hidup yang mereka punyai. Gay/transgender yang teriak-teriak tidak adil padahal mereka sendiri yang ganggu, kelompok minoritas yang koar-koar dizholimi padahal mereka yang berulah, dan ibu-ibu yang menuduh orang takut terhadap anak autis mereka padahal sudah biasa anak-anak saling cuek-cuekan. Mereka adalah contoh victim mentality, yang kalau disenggol dikit langsung: Oh ini pasti karena gue gay/lesbian/transeksual/kulit hitam/hispanik/anak dengan down syndrome/anak autis/etc. Padahal hidup memang penuh senggol menyenggol, dan anda tidak bisa mendapatkan 'free pass' bebas senggol hanya karena kepercayaan hidup anda.

Victim mentality ini terulang kembali dengan berita di soal penembakan di Chapel Hill. Hal yang paling pertama saya baca adalah postingan teman saya yang bilang "Kenapa ini tidak ada yang meliuput/tidak masuk berita??" Padahal penembakan ini masuk berita nasional di Amerika sini, dan anda bisa baca liputannya di NBC atau Yahoo misalnya. Berikutnya muncul postingan-postingan kenapa ini tidak dianggap perbuatan teroris, atau membandingkan penembakan ini dengan pembunuhan di kantor Charlie Hebdo dan menuduh media berat sebelah dan tidak melakukan pemberitaan yang adil terhadap kaum muslim. Bahkan kakak perempuan korban pun berkata bahwa media tidak seharusnya berusaha mengaburkan fakta dan bilang bahwa mereka dibunuh karena rebutan tempat parkir.

Sekarang saya minta kesabaran dan kelapangan pikiran anda untuk mencerna jawaban saya, untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi dari sudut pandang orang Amerika.

1. Gun violence/gun related-death di Amerika sangat-sangat tinggi. Tiap hari saya membaca setidaknya satu kasus baru di berita online yang berkaitan dengan senjata api. Seringkali tragis, seperti seorang ibu yang mati di supermarket karena anaknya yang berusia dua tahun merogoh tas ibunya dan tidak sengaja menembakkan pistol yang ada didalam tas tersebut. Seringkali konyol, seperti seorang wanita di Las Vegas yang terlibat pertengkaran di jalan raya dengan pengendara mobil lainnya, lalu ia ditembak oleh orang yang berantem dengannya. Saya selalu berasumsi semua orang punya pistol disini, dan saya tidak pernah merasa aman. Senjata api dan ketidakpedean/ insecurity bukanlah paduan yang baik, karena banyak orang yang jadi gatal ingin menembak orang lain tanpa alasan yang kuat hanya untuk membuktikan kalau "I'm the tough guy!". Jadi kalau dibilang pembunuhan Chapel Hill dikarenakan masalah dengan lahan parkir, saya percaya-percaya saja. Banyak pembunuhan disini dikarenakan masalah yang lebih sepele lagi kok. 

2. Kalau anda google, terorisme didefinisikan sebagai "The use of violence and intimidation in the pursuit of political aims". Penjelasan di Wikipedia dan website FBI juga menggarisbawahi satu hal penting dalam terorisme: aksi intimidasi untuk mengubah persepsi masyarakat. Klop dengan kata dasar dari terorisme, yaitu teror. Apakah pembunuh berseri seperti Robot Gedek teroris? Jelas tidak, karena dia tidak berusaha mengintimidasi masyarakat. Apakah penembak kantor Charlie Hebdo teroris? Iya karena ia/mereka memiliki agenda politik dibalik kekerasan yang mereka lakukan. Penembak di Copenhagen dianggap tersangka teroris karena mereka memiliki agenda politik. Tapi penembak di Sandy Hook yang menewaskan 26 orang (dan kebanyakan diantaranya anak kecil) tidak dianggap terorisme karena tidak memiliki agenda politik. Kalau penembak Chapel Hill nantinya terbukti bahwa ia melakukan hal tersebut karena memiliki agenda politik dan akan melakukan lebih banyak tindak kekerasan/teror di kemudian hari, ia pun bisa dan akan dianggap teroris. Saat ini tidak ada bukti bahwa ia melakukan penembakan tersebut karena ia memiliki agenda politik, dan tidak ada bukti ia akan meneruskan aksi teror tersebut, maka dari itu ia belum bisa dianggap teroris.

3. Seringkali yang jadi masalah adalah ketidaktahuan akan seseorang, dan bukan karena agama yang dianut. Saya sampai sekarang masih dapat pandangan merendahkan kalau saya mengungkapkan pandangan saya yang berbeda dengan mainstream orang Amerika pada umumnya, atau kalau saya kebetulan salah menggunakan tata bahasa saat berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. Ibaratnya sedikit salah saja saya sudah dicap "Dasar imigran." Adilkah? Jelas tidak. Banyak orang Amerika lain yang juga berbeda pendapat kok, dan jelas lebih banyak lagi yang bahkan tidak becus mengeja kata-kata tanpa autocorrect. Tapi mau bagaimana lagi, saya memang berbeda dengan mereka. Mereka tidak nyaman dengan saya bukan karena agama atau ras saya, tapi karena saya berbeda dengan mereka. Pengalaman ini saya rasakan bukan cuma di Amerika ya. Waktu saya pindah dari Jakarta ke Bali saya pun merasa tidak masuk dengan orang-orang Bali, yang mana adalah suku saya sendiri. Saya tidak bisa berbahasa Bali dan tidak mengerti dengan jelas adat-istiadat dan aturan-aturan yang berlaku. Sampai saat ini pun saya masih merasa sebagai outsider saat pulang kampung. Muslim, apalagi yang terlihat jelas keturunan Arab dan/atau berjilbab pastinya mengalami diskriminasi di negara barat, tapi ini bukan karena agama/kepercayaan mereka, melainkan karena mereka berbeda dengan kebanyakan orang Amerika disini. Sebaliknya, suami saya yang kulit putih baik-baik saja saat berada di kawasan mayoritas kulit putih, tapi begitu di kawasan yang mayoritas kulit hitam langsung deg-degan nggak karuan. Beli sate di Indonesia pun dari yang biasanya Rp 15,000 bisa mendadak dicharge Rp 25,000 cuma karena kinclongnya. Kalau anda terlihat berbeda dari orang-orang disekitar anda, bersiaplah diperlakukan berbeda.


Bagi saya berita tentang penembakan di Chapel Hill tidak adil. Tidak adil karena headlinenya selalu menulis "Three Muslims". Ketiga korban ini bukan hanya korban pembunuhan, melainkan juga korban media. Begitu banyak kasus pembunuhan lainnya di Amerika namun kasus ini mendapat sorotan karena yang tewas adalah muslim dan mengenakan atribut muslim. Apakah kalau mereka bukan muslim maka kasus ini tidak akan diliput? Seolah semua kemanusiaan si korban hilang dan digantikan dengan label "Three Muslims". Cuma ini 'nilai' mereka di mata media, 'Three Muslims' karena ini yang menjual. Persetan Deah ingin pergi ke Syria untuk membantu pengungsi disana atau segenap perbuatan baik yang mereka lakukan, mereka telah direduksi menjadi hanya 'Three Muslims', dan kita di Indonesia turut mereduksi nilai mereka. 

Ada yang bilang kalau tidak adil bahwa saat ada aksi kekerasan yang mengatasnamakan Islam maka seluruh umat Islam harus meminta maaf dan berseru menentangnya, sementara saat ada kasus seperti ini langsung dianggap cuma orang gila. Sekali lagi, perbedaannya ada di agenda politik mereka. Yang membunuh/melakukan tindak kekerasan karena emosi dan ketidak sukaan pribadi tanpa didasari agenda kedepannya ya memang gila bukan? Kalau tidak mau bersuara (dan sebenarnya Indonesia juga lumayan diam) ya tidak apa-apa. Tapi jangan marah kalau Islam tetap dianggap buruk. Daripada sibuk bilang "ISIS bikinan Amerika" atau "Dunia tidak adil terhadap Islam", bagaimana kalau muslim Indonesia yang mayoritas menunjukkan betapa damai dan indahnya Islam tersebut. You can catch more flies with honey. Kalau masih merasa tidak adil, marahlah pada ISIS dan Boko Haram dan para pengebom di Pakistan atau Afghanistan dan bahkan FPI yang membuat nama Islam menjadi jelek. Stop this victim mentality.

Kalau sampai sejauh ini anda membaca namun masih berkeras bahwa dunia (baca: Amerika) berlaku tidak adil terhadap Muslim, tolong diingat bahwa di Indonesia setiap tahunnya beredar ajakan/himbauan untuk tidak mengucapkan selamat Natal atau Imlek, dan hal-hal yang berbau non-Islam seperti baju adat Bali dan atribut Santa Klaus dan sebangsanya dianggap berbahaya dan tidak pantas, bahkan pemakaian jilboobs pun dijadikan sorotan. Anda bilang itu tidak sesuai dengan agama anda, tapi dengan anda terus memposting dan bilang "Mereka kafir!!" apa iya orang yang membaca jadi tidak sakit hati? Bahkan seorang ustad terkenal pun berkata bahwa yang sakit hati kalau dibilang kafir sebenarnya tahu bahwa menjadi kafir itu salah. Padahal semua orang juga sakit hati kalau dianggap jelek (dan kafir konotasinya jelek) tanpa alasan yang jelas. Perlakuan ini sama seperti perlakuan orang Amerika sini terhadap imigran (termasuk keturunan Arab dan pemakai Jilbab) yang alasannya juga sama: "They are not us". Anda boleh bilang semua postingan anda sesuai dengan agama yang anda anut dan anda punya hak untuk menegakkan ajaran agama anda, orang sini pun bilang ketidaksukaan mereka terhadap Muslim (baca: pendatang/imigran) sesuai dengan kepercayaan mereka yang tidak suka hal-hal yang bukan Amerika dan mereka punya hak untuk mempertahankan ke-Amerika-an anda. Bedanya cuma fobia pendatang itu normal, apalagi kalau penampilannya beda sekali dengan orang lokal; sementara di Indonesia yang diajak berantem saudara sendiri: ras Cina dan non-muslim yang sudah ada di bumi Nusantara sebelum namanya Indonesia. Konyol kan?

3 comments:

  1. Bagus sekali analisis nya Mrs. Mazerski :) Well said & aktual dalam menggambarkan kondisi yg ada. Bisa jadi ini merupakan hate crime, karena seorang pemarah biasanya sangat sensitif jika kenyamanannya terganggu sedikit saja apalagi terhadap hal2 yg dia benci. Kita tunggu hasil investigasinya lebih lanjut. Media nasional sedang sibuk dgn kasus seru jilid III yg gak kalah sensitifnya :)

    ReplyDelete
  2. saya jadi mikir, jika orang gila tanpa agenda politis yang menembak mati orang lain 'kebetulan' bernaman Hasan dan 'kebetulan' muslim... kemana lampu sorot akan diarahkan ?
    tapi dunia sepertinya memang sudah penuh dengan kebencian.... :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tergantung ya Pingkanrizkiarto. Kalau kata saya lampu sorotnya akan diarahkan ke sisi yang paling menjual. Kalau misalnya kebetulan bernama Hasan dan kebetulan Muslim, tapi juga kebetulan putra pangeran Saudi misalnya, ya pasti yang dikejar sisi orang terkenalnya. FYI kata teman saya yang tinggal di Chapel Hill 8 tahun yang lalu ada kasus seorang Muslim menabrakkan truk nya ke sejumlah orang disana, tapi seingat saya itu tidak masuk berita/tidak sampai jadi headline news. Pingkanrizkiarto benar, dunia memang penuh kebencian, tapi kalau kita bicara soal media yang paling penting buat media adalah apa yang menjual.

      Delete

Search This Blog