Setelah menyisir dan mengepang rambut saya malam ini, Kangmas mencium ujung kepang saya dengan rasa sayang dan berbisik, "I love you".
Hari ini hari kedua pindahan saya. Karena Covid-19 saya akhirnya memutuskan sekalian tinggal bersamanya. Kumpul kebo kalau kata orang Indonesia, walau kenyataannya kita lebih rempong dan lebih mendetail daripada sekedar kawin di capil.
Pembagian sewa apartemen dan biaya listrik/gas/dst sudah dibicarakan dari awal, jumlah dan kapan saya harus transfer. Kita bicara tentang keluarga masing-masing dan apa yang kita harapkan dari satu sama lain. Karena kalau saya seterusnya bersama dia, dia harus bisa oke dengan keluarga saya dan begitu pula sebaliknya. Bahkan sampai bagaimana saya ingin dilamar pun sudah saya utarakan.
Kita juga bicara soal gol kita kedepannya, yaitu membeli rumah bersama, dan apa yang akan terjadi bila salah satu dari kita meninggal. Kita bicara asuransi jiwa, investasi reksa dana, dan pembagian tanggung jawab keuangan kedepannya. Gaji dia diatas saya, jadi buat saya penting dia tahu saya bukan sekedar cari papah ATM.
Ini sangat bikin stress lho. Walau saya sudah diajak untuk tinggal bersama dia dan keluarganya dari awal tahun, mempersatukan dua rumah tangga yang berbeda bukanlah hal yang mudah. Mulai dari memikirkan taruh dimana rak bumbu dapur saya yang kebangetan isinya, sampai menyatukan tagihan telepon saya dibawah nomor telepon dia.
Dia stress dan anxious. Saya apalagi. Trauma diusir suami dan akhirnya menceraikannya membuat saya ketakutan. Saya bisa tetiba menangis atau bengong sendiri saat packing, atau bolak-balik bertanya pada Kangmas: "Kamu benar nggak kenapa? Kamu benar mau aku?". Untungnya dia mengerti trauma saya walau dia pun cukup stress. Komitmen bukanlah sesuatu yang enteng.
Itulah kenapa saya nggak mengerti dengan segala iklan pemutih ketiak di IG Indonesia, atau penurun berat badan, atau pencerah wajah dan sebagainya. Kamu akan perlu lebih dari sekedar fisik sempurna untuk membina sebuah hubungan jangka panjang, apalagi yang kamu harapkan akan berkah kedepannya dan/atau akan membuatmu bahagia.
Orang yang mengerti akan beratnya sebuah komitmen nggak akan mempermasalahkan warna ketiak atau selangkanganmu. Kalau kebetulan dapat yang sibuk mempermasalahkan hal ini dan bukannya memikirkan kesiapan untuk menjalin hubungan bersama kedepannya, apa iya ini orang pantas diperjuangkan?
Jangan salah, kita sebagai manusia boleh punya preferensi. Kalau kebetulan orang yang kita suka preferensinya beda dengan siapa kita, ya nasib. Kita bisa banget kok merubah diri kita untuk memenuhi impian orang ini. Bisa, tapi bukan harus. Yang harus itu adalah mengerti dan meraih apa preferensi kita, apa yang kita inginkan untuk diri kita.
Karena hidup bersama bukanlah sekedar mengucap akad di depan pendeta/penghulu. Hidup bersama adalah menyatukan dua insan, menyatukan dua keluarga, dan membangun kehidupan yang lebih baik dari penyatuan ini. Kalau sekedar ketiak hitam atau berat badan tak ideal (menurutnya) sudah diancam diputuskan, apa iya kedepan akan lebih baik?
Gampang sih saya bilang begini. Saya di Amerika dan nggak bohong ya, kita yang ngemong dan menyayangi lelaki poinnya jauh diatas mbak-mbak pirang super hot yang maunya dimanja. Saya juga bebas dari tekanan sekitar, bahkan terkadang termasuk teman dekat, untuk segera punya jodoh dan beranak agar tidak dianggap sebagai wanita gagal.
Tapi dulu di Indonesia pun saya lama melajang karena ini: "buat apa gue sama elu kalau hidup gue akan lebih sengsara?"Karena ya mohon maaf pak bu om tante sekalian, gosipan kalian saat kumpul keluarga nggak akan menyelamatkan saya bila saya terjebak dalam perkawinan yang tidak bahagia. Apalagi kalau sampai punya anak dan anak ikut sengsara. Duh amit-amit.
Apakah saya akan terus bahagia dengan Kangmas kedepannya? Nggak tahu. Yang saya tahu sekian banyak sudah terjadi selama setahun lebih kami bersama. Ada sekian teriakan, tangisan, dan tawa, serta berbagai masa dimana kami bisa saja berpisah jalan namun kami tetap bersama. Dan anda tahu, ketiak hitam tidak pernah tercetus.