Ada orang kantor yang rasanya ingin saya high-five/toss mukanya pakai kursi. Entah kenapa dia nggak suka sama saya, yang jelas terasa banget semangat 45 permusuhannya. Nyebelin banget, karena bukan hanya saya sering diperlakukan seperti warga kelas dua atau bahkan dianggap nggak ada, semua hal kecil dipermasalahkan. Anak SMA banget sih.
[Habis ini saya disambit Tipex sama anak SMA yang baca… Ampun adek-adek ahahahaha]
Siang ini dia melangkah ceria di ruang makan karena gebetannya membawa kue. Rasanya lumayan jengkel melihat dia begitu manis riang gembira, sambil tetap lho memancarkan aura perang terhadap saya. Tapi senyumnya terlihat begitu tulus dan gembira. Saya pun jadi ikut tersenyum.
Nggak kenapa kan dia bahagia? Entah apa yang dirasakan dalam dirinya sampai dia sebegitu bengisnya dan mendapat panggilan Ratu Es di kantor, yang jelas pasti nggak bahagia karena orang yang bahagia nggak akan memperlakukan orang dengan buruk. Jadi kalau sekarang dia bahagia, walau sebentar saja, syukur banget kan?
Banyak orang yang curhat sama saya soal perselingkuhan, ujung-ujungnya bilang "Semoga dia dan selingkuhannya menderita!" Saya pun sama saat baru-baru pisah. Saya ingin mereka membayar perbuatan mereka. Saya ingin mereka merasakan kepedihan yang saya rasakan. Nggak adil kalau saya yang terpuruk sementara mereka bebas merdeka.
Tapi hidup terus berjalan. Kesibukan baru, teman baru, hobi baru, tanpa terasa saya tidak lagi butuh pengakuan itu. Saat mendengar kabar burung tentang suksesnya si mantan, hati masih menjerit "Nggak adil!!" Tapi sebaliknya, saat mendengar kondisinya kurang baik saya malah sibuk khawatir, sibuk berpikir "Duh, semoga mereka berdua baik-baik saja."
Saat kita bahagia, saat kita 'utuh', kita nggak perlu lagi melihat kesengsaraan orang untuk merasa kita 'lebih' dari orang lain. Yang ada malah rasa ingin membantu karena tahu kita sudah berlebih secara emosional, sudah stabil dan mampu berbagi. Yang penting ditolong dulu. Kemanusiaan nomor satu deh pokoknya.
Kemanusiaan ini yang terkadang tergeser dan terlupakan. Disaat emosi meraja, setiap hal kita taburi bumbu kebencian. Wajar bersuka ria saat rekan kantor yang hobi mengadu-domba akhirnya dapat peringatan dari atasan. Hubungan sebab-akibatnya jelas. Nggak wajar kalau saat mendengar pasangannya sakit keras kita masih sibuk mencibir, bahkan bilang "Karma tuh." Nggak ada hubungannya bo'.
Apa yang kita dapat dari memanusiakan orang seperti ini? Nggak dapat piagam atau tepuk tangan. Ada juga dikatain "Dasar bego, lu!" Tapi kita dapat tenang. Kita dapat pengalaman spiritual 'naik tingkat', berhasil ikhlas. Karena ini sebenarnya ujian Tuhan untuk melihat apakah kita bisa mengendalikan hawa nafsu kita, ujian Tuhan untuk melihat mampukah kita mengasihi sesama manusia seperti Ia mengasihi kita.
Ruginya apa? Nggak ada. Saya nggak rugi merasa bahagia si orang kantor yang reseh itu merasa bahagia. Saya nggak rugi mendoakan semoga si mantan dan keluarga barunya baik-baik saja. Saya nggak rugi kalau orang lain tenang aman damai tentram bahagia. Bagus malah. Karena saya (lumayan) tenang aman damai tentram bahagia, dan jujur, rekomended banget deh.
Ada cerita di majalah Bobo tentang anak kecil yang berharap pencuri jambu di kebunnya dipukuli habis-habisan, namun saat terjadi ia justru tidak tega dan melindungi si pencuri. Ini kita. Atau tepatnya, saya berharap ini kita. Nggak kenapa kalau masih terjebak dalam emosi dan berharap yang terburuk untuk yang menzhalimi kita, tapi jangan sampai tenggelam dalam kebencian dan kebengisan. Tahu sendiri kan kalau tenggelam dalam emosi negatif begini nongolnya dimana.
[Kalau ternyata memang terdampar disana, salam salim sama Babeh. Jangan cerita ya kalau anaknya sibuk merayu lelaki di Los Angeles. Ntar saya dipanggil pulang lagi, disuruh bantuin mengurus rumah.]
Kalau masih bahagia, masih girang, masih bengis melihat kesengsaraan orang lain, yuk coba introspeksi diri. Apa sih yang membuat kita demikian nggak bahagianya sampai butuh ketidakbahagiaan orang lain untuk merasa bahagia? Selanjutnya, bagaimana caranya agar kita merasa bahagia, merasa utuh? Fokus untuk 'membetulkan' diri kita, mereparasi apa yang kurang dan apa yang rusak.
Bahagia aman damai itu nggak perlu menunggu Surga. Terlalu lama hahaha. Eh nggak, bukan begitu maksudnya. Kadang kita terlena menunggu surga tapi nggak ngeh kalau kita hidup di neraka dalam pikiran kita, atau kita membuat hidup orang lain seperti neraka. [Halo Babeh. Iya ntaran saya pulang…] Bahagia, aman, damai, dan utuh itu bisa dimulai dari sekarang lho.
Gimana? Berani mencobanya?