Saat disuit-suitin…
"Kamu sih, pakai baju begitu."
"Kamu sih, jalan sendiri disana."
"Kamu sih, keluar jam sekian."
"Lebay ah, bagus nggak dicolek."
"Makanya, jalan jangan menggoda."
Saat dicolek atau digrepe di bis…
"Kamu sih, bukan bawa kendaraan sendiri."
"Kamu sih, nggak waspada."
"Emangnya kamu nggak bisa teriak gitu, kan punya mulut."
"Kenapa mesti keluar sih?"
"Mungkin kamu terlihat 'Minta'."
Saat 'ditawar' atau dilecehkan…
"Udah, pergi aja. Jangan didengarkan."
"Ngapain juga diladenin, orang gila."
"Siapa suruh lewat sana, kamu memang cari masalah."
"Tapi dia kan berduit. Masalah loe apa?"
"Elu keliatan perek kali hahaha."
Saat diperkosa…
"Ih, jijik melihatnya."
"Pasti dia yang kelihatan ngasi ijin, emang nggak bener."
"Jadi perempuan jangan kegatelan makanya."
"Nggak mungkin kejadian kalau dia cewek bener."
"Kok pasangannya masih mau ya?"
Saat mengalami kekerasan (seksual) di rumah…
"Itu kan suami, wajib dilayani."
"Bagus pasangannya udah nafkahin, jangan lebay ah."
"Siapa suruh pilih pasangan begitu, dari awal sudah nggak bener."
"Bagus punya pasangan, ga tahu diri sama muka."
"Wanita yang baik itu yang mengalah dan menerima."
Seringkali kita terlalu cepat memberikan pendapat, walau nggak diminta. Dan sangat sering pendapat yang kita berikan itu bukan pendapat, tapi penghakiman. Saat sesuatu yang buruk terjadi, kita seolah paling mengerti dan memberikan masukan "Mestinya kamu…", seolah kita bisa memprediksi apa yang terjadi sebelumnya.
Bagi yang pernah curhat sama saya, pasti tahu kalau saya nggak pernah bilang "Lagian sih kamu…" Buat apa? Sudah kejadian. Padamkan dulu apinya, bukan sibuk cari penyebab saat sekeliling anda terbakar hebat. Ada yang tahu di halaman berapa "Dear Mantan Tersayang" saya tulis ini ? #EhKokJualan . Lagipula, saya tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, apa perasaan anda, apa yang menyebabkan semua itu terjadi.
Tapi lebih mudah menghakimi. Lebih mudah sok tahu. Lebih mudah berpikir kalau kita [baca: wanita] jadi orang [baca: wanita] baik-baik, nggak akan ada hal buruk yang terjadi pada kita. Kalau kita menjalankan hidup kita sesuai norma masyarakat, hidup kita akan lurus-lurus saja tanpa dinamika. Dan kalau ada sesuatu yang terjadi, itu salah kita.
Kalau dirampok… Itu salah kita
Kalau dipecat… Itu salah kita
Kalau diputuskan/diceraikan… Itu salah kita
Kalau dilecehkan… Itu salah kita
Kalau diperkosa… Itu salah kita
Kalau mengalami KDRT… Itu salah kita
Lalu kapan salah yang melakukan? Kapan salah orang-orang yang harusnya tahu itu tidak dilakukan, tapi tetap dilakukan? Bukan salah buah terlarang tumbuh di kebun surga, tapi salah Adam dan Hawa yang memakannya. Semua agama dan kepercayaan mengajarkan kita untuk menahan, mengontrol hawa nafsu. Semua agama dan kepercayaan menempatkan manusia sebagai mahluk yang mulia, yang memiliki akal budi diatas ciptaan Tuhan lainnya. Lalu kenapa manusia lain yang disalahkan atas ketidakmampuan kita mengontrol diri kita?
Bagi saya, anugrah terbesar Tuhan untuk manusia adalah empati, kemampuan merasakan apa yang orang lain rasakan. Bukankah Tuhan juga demikian? Bukankah Tuhan mampu merasakan apa yang dirasakan umatnya? Tapi dengan ketidak-tahuan (serta kesok-tahuan) kita, kita menempatkan diri kita 'lebih' dan 'maha tahu'. Kita tidak lagi mampu merasakan apa yang dirasakan seseorang yang berduka, karena "Toh itu salah dia,". Sejak kapan kita sedemikian jauh dari Tuhan?
Bagi anda yang disuit-suitin di jalan, bukan salah anda.
Bagi anda yang disentuh dan dilecehkan, bukan salah anda.
Bagi anda yang dipaksa berhubungan badan, bukan salah anda.
Bagi anda yang di'tawar', bukan salah anda.
Bagi anda yang terpasung dalam KDRT, bukan salah anda.
Bagi anda yang diperkosa, bukan salah anda.
Semua ini membuat diri kita terasa kotor, terasa murah, terasa begitu menjijikkan. Kepercayaan diri kita hilang, dan hidup menjadi kelam penuh ketakutan dan amarah. Walau secara fisik kita terlihat utuh, kekerasan seksual merampas bagian yang penting dari diri kita: Harga diri. Dan saat kita mencari tempat aman, seringkali penolakan yang kita terima, baik karena orang-orang merasa lebih baik dari kita maupun karena mereka tidak tahu harus berbuat apa.
Saya tahu harus berbuat apa. Saya bisa berempati.
Bagi anda yang merasa kotor, nggak. Anda nggak kotor. Anda tetaplah anda. Bagi anda yang merasa takut, masih ada tempat aman di dunia ini, masih ada orang-orang yang mampu mengontrol diri. Bagi anda yang merasa hilang dalam amarah, ada tempat damai menanti anda saat anda siap. Dan satu hal yang pasti, anda tidak sendiri. Tangisanmu adalah tangisan saya. Amarahmu adalah amarah saya. Kepedihanmu adalah kepedihan saya.
Tidak ada yang berhak mengambil sesuatu yang bukan haknya, bukankah semua kitab suci dan lontar menuliskan seperti itu? Bukankah sepanjang hidup kita kita diajar (dan terkadang dihajar) untuk mampu mengendalikan hawa nafsu? Bukankah Tuhan kita adalah Tuhan yang welas asih dan penuh cinta, yang bahkan menghargai kita umatnya yang nista dan penuh dosa? Bukan salah seseorang memiliki harta, salah pencuri yang menganggap itu haknya.
Bukan salah anda. Bukan salah anda. Bukan salah anda.
No comments:
Post a Comment