‘May I never see in the patient anything but a fellow creature in pain. May I never consider him merely a vessel of the disease’ by Maimonides (1135–1204)
Setelah sekian lama “mengundurkan” diri dari rimba FK, saya iseng mengecek blog PSPD, dan salah satu komentar disana sungguh menyengat saya:
Quote by Anonym ” Mengenai sampe ada angkatan 1999 yang masih ada, menurut saya itu karena kesalahan mereka sendiri, ngapain mereka bersantai santai ria dan berharap kebaikan akan diluluskan, ya jelas saja akan menambah beban stag. Kalo ga pantas lulus kenapa harus dipaksakan...?”
Thanks hotshot, it is so nice to be “appreciated” by a fellow colleague.
Mungkin si anonym yang berkomentar ini ga pernah ditendang keluar dan menghadapi kerasnya hidup ya…. Life is not that easy, it never was and it never will. Emang, senior ada yang kelihatan ‘santai-santai’ aja, tapi ga ada yang ‘berharap kebaikan akan diluluskan’. Semua usaha, semua berjuang. Saya pun salah satu diantaranya. Buat yang pernah lihat saya, pasti pikir saya salah satu yg ‘bersantai’. Ada yang tahu ga saya harus lgs kabur sesudah kuliah (bahkan saat) biar saya ga telat kerja? Ada yang lihat ga saya berurai airmata but still keep my head up high karena dibentak ma dosen yang ga percaya saya harus kerja? Yeah, I depend on me, and I’m proud of it. Begitu pula rekan-rekan saya yang terlambat karena punya anak, atau yang memang sudah berusaha tapi kondisi belum memungkinkan. Semua niat, semua usaha.
Apa komentarnya? “Ngapain mereka nikah and punya anak?”, “ klo emang otaknya ga sanggup masuk FK keluar aja,” “Udahan aja kalau ga sanggup bayar FK”. Saya pengen banget jadi dokter, tapi ga berarti saya harus sampe jual diri utk bayar kuliah. Temen saya pengen banget jadi dokter, tapi menurut dia saatnya dia menjadi seorang ibu. Ada hal-hal yang menurut kami lebih penting, tapi kami masih berusaha menjalaninya sekaligus meraih gelar dokter kami. Belum lagi kebuntuan yang rasanya menghimpit, tekanan dari lingkungan keluarga dan kampus, itu yang para senior rasakan. Kami berjuang menghadapi itu semua, dan akan terus berjuang sampai kami meraih gelar kami. Kalau bisa kami pun pengen selesai cepat, ngapain lama2 dikampus?
Sadly, waktu awal-awal saya masuk FK saya pun salah satu yang beranggapan seperti di atas. Saya rasa semua anak baru, hijau, junior etc (dan yang naïf, ga pernah berdiri dengan kaki sendiri) pasti berpikir seperti itu. I personally don’t think it’s our real nature, it’s merely how FK brainwashed us to think that way. Calon dokter yang baik adalah yang pintar, yang lulus tepat waktu, yang ga neko-neko. Diluar itu? Ke laut aja….
Saya ingat saya dianggap aneh karena sibuk bertandang ke kampus A, padahal justru para anak2 ekonomi (beserta as-dos akutansi) yang membantu saya memahami pelajaran statistic dan membuat saya mampu mendapatkan nilai B, tanpa belajar sedikitpun. FK mengajari saya healing the body of a human, tapi tidak mengajari saya healing the soul. Bila FK sanggup mengajarkan betapa berharganya jiwa manusia, saya ataupun anak FK lainnya tidak akan berpikir segitu buruknya terhadap sesama.
Lupa ya prinsipnya palliative care?
1. To cure sometimes
2. To relieve often
3. To comfort always
Ini juga applicable banget sama manusia. Terkadang si sakit akan lebih cepat sembuh bukan karena obat yang begitu tepat sasaran (there’s no such thing anyway, human body are to random!), tapi karena dokternya care terhadap mereka. Bukan sekedar si sakit, tapi seorang manusia yang punya nama, punya jiwa, punya harga diri. Jadi kenapa kita masih ga care ma sesama dan end-up bitching and badmouthing others? You wanna be a doctor, so are we!
Untuk anonym, life is hard and unfair dude, but we’re still tryin’. If you still think you’re super, I wanna see you walk in our shoes. And when you do, I’m gonna laugh my a$$ off cause I bet you ain’t gonna make it.
No comments:
Post a Comment