AdSense Page Ads

Monday, April 24, 2017

Perjuangan Belum Selesai

Buat yang masih mengharu biru Ahok kalah, udah nggak usah ekstrim sibuk menyerang Anies-Sandi. Yang semua tindakannya sibuk dibikin meme dan dibahas di blog-blog ga jelas, dan di-share dengan taatnya ke seantero jagat maya. Do'i belum pada naik lho, jangan sampai udah basi/kehabisan tenaga saat do'i dilantik dan yang harusnya bener diperjuangkan/ dipermasalahkan jadi nggak ada artinya.

Fun fact: Saat Trump dilantik, semua kebijakannya dan perkataannya dan perbuatannya disorot publik. Sekarang menjelang 100 hari kepemimpinannya orang sudah nggak terlalu heboh dan perduli lagi.

Kekhawatiran masyarakat terhadap sinyalemen 'ini orang nggak bener' itu wajar banget. Berat buat do'i-do'i karena bagi banyak orang Ahok sudah identik dengan 'Bersih' dan 'anti korupsi'. Trump disini sudah dicap 'kampret', jadi sudah bukan sinyalemen lagi, tapi dianggap fakta normal. Bedanya adalah Trump kampret pun masih bisa dijegal oleh sistem pemerintahan Amrik, kongres senat dan kawan-kawan; sementara kalau di Indonesia pejabat negara kampret ya kita tinggal gigit jari.

Tapi apa iya? Apa iya kita segitu nggak punya suaranya? Sampai kapan mau jadi wong cilik ya cuma bisa menunduk-nunduk dihadapan priyayi belian? Priyayi belian karena jadi priyayinya dengan membeli kekuasaan, bukan karena terlahir apalagi karena tugas yang diemban.

Indonesia adalah negara demokratis, yang berarti tiap warga negara Indonesia memiliki hak suara yang sama. Nggak perduli anda di ujung hutan yang tak terjangkau listrik atau di tengah gemerlapnya ibukota, suara anda bernilai. Bodohnya kita masih memakai pola pikir feudal, sehingga pemilihan anggota DPR/MPR dan sebagainya atau bahkan kepala daerah hanya sekedar mencoblos saja, tanpa memikirkan bagaimana menuntut pertanggungjawabannya kedepan, tanpa memikirkan janji-janjinya masuk akal atau tidak. Kita dengan mudahnya menghibahkan hak suara kita.

Kalau masih berharap pemerintah/anggota dewan/kepala daerah/otoritas yang terhormat akan mendadak memikirkan nasib anda dan membuat Indonesia akan jadi lebih baik, sini saya sambit bantal, lanjutin lagi tidurnya sana. Pemerintah yang perduli dimulai dengan masyarakat yang perduli, bukan sebaliknya. Banyak peraturan-peraturan di Amerika sini (kalau tidak semua) dimulai dengan desakan masyarakat. Ada sih yang titipan pengusaha, tapi tetap suara masyarakat harus didengar. Anggota kongres / senat / pemerintahan yang nekat pura-pura budeg, siap-siap tidak dipilih lagi kedepannya, bagus kalau tidak dipecat saat itu juga.

Buat yang memilih Ahok-Djarot, perjuangan masih belum selesai. Si Oom ini masih menjabat 6 bulan lagi lho, pastikan program-program si Oom aman. Catat yang benar apa yang anda rasakan, program apa yang menurut anda berguna dan harus tetap dilaksanakan. Foto kalau perlu, dokumentasikan. Anda nggak memperjuangkan Ahok-Djarot, anda memperjuangkan Jakarta yang lebih baik. Kalau Ahok menang pun 5 tahun kedepan dia nggak bisa lagi mengurus Jakarta, bukan? Jangan bergantung pada satu orang, yakin kita bersama bisa.

Buat yang memilih Anies-Sandi, perjuangan juga masih belum selesai. Kawal terus apa yang dikampanyekan do'i-do'i ini, karena anda lebih bernilai dari sekedar sapi-sapi kampanye. Mereka butuh suara anda untuk menang, anda berhak menuntut apa yang mereka janjikan. Lihat sekeliling anda dan jujurlah, apa perubahan Jakarta yang menurut anda berarti, apa program yang menurut anda membantu, pastikan kalau gubernur selanjutnya tetap membuat Jakarta tetap lebih baik. Kalau aplikasi QLUE itu berguna, jangan rela tiba-tiba dihapus. Kalau sempat bebas pungli, jangan mau tiba-tiba dipalak PNS lagi. Jakarta bukan sekedar ego kalian untuk memilih jawara ala Indonesian Idol atau Akademi Dangdut, Jakarta juga milik anak cucu kakek nenek cicit buyut kalian, yang semuanya berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Kenapa harus repot begini? Karena kita di Jakarta adalah tolok ukur masyarakat di daerah. Kalau kalian berhasil memperjuangkan hak-hak kalian di Jakarta, yang didaerah lain pun akan bisa tergerak dan memperjuangkan hak-hak mereka. Nggak usahlah buang-buang waktu nyinyirin lawan, membuat meme atau blog ini itu meledek masing-masing pasangan. Bego amat kalau masih sibuk ngeshare begituan, yang untung kan yang bikin blog/meme etc; padahal belum tentu juga yang bikin beneran anti pasangan tertentu, bisa jadi segala oke demi jualan iklan laris. 

Perjuangan kita masih jauh, Mas dan Mbak. Saatnya kita merebut suara kita, saatnya kita membuat suara kita berarti sehingga kedepannya orang-orang calon pemimpin pikir-pikir sebelum maju atau melakukan sesuatu. Nggak harus dengan demo sekian milyar orang pula, tapi dengan bersenjatakan fakta dan persatuan antar masyarakat. Jakarta milik kita bersama lho. Anda boleh saling nggak setuju dengan berbagai hal, misalnya soal boleh/tidaknya potong sapi di pinggir jalan, tapi hal-hal yang mendasar seperti jaminan pelayanan masyarakat yang sepantasnya yang terjangkau tanpa pungli harus diperjuangkan bersama. Masuk akal kan?

Thursday, April 20, 2017

Makasih Sudah Menyekolahkan Aku

Bu,
Hari Kartini nih. Pasti Ibu sibuk mengurus si dedek centil keponakanku. Terbayang hebohnya dia dipakaikan baju kebaya dan melenggak lenggok cantik di TK nya. Dari jaman kita TK sampai sekarang anaknya si Kakak yang TK, tiap Hari Kartini berarti sibuk deh anak perempuan berdandan. Tapi buatku yang jauh di Los Angeles, Hari Kartini nggak cuma setahun sekali. Buatku tiap hari Hari Kartini.

Tiap pagi aku bangun aku diingatkan bahwa aku ada disini didekatnya Chris Pratt (kenal juga nggak padahal, tapi kan lebih dekat daripada kalau aku di Denpasar) karena Ibu yang dengan semangat Kartini memacu anak-anak perempuan Ibu untuk belajar. Ensiklopedi dan buku-buku yang Ibu beli, kursusan yang harus kita ikuti, dan tekad Ibu agar semua anak Ibu lulus kuliah, ini semua modal yang Ibu berikan pada anak-anak perempuan ibu sampai kita jadi (ahem) hebat dibidangnya.

Nggak, aku disini nggak ditanya apa itu proses fotosintesis saat melamar pekerjaan, juga nggak ditanya bagaimana menghitung percepatan benda bergerak saat nge-date, apalagi disuruh menyebutkan 5 ekspor utama Republik Kongo. Di pekerjaan juga nggak terpakai ilmu Mikrobiologi atau Parasitologi, dan jelas Farmakologi serta Histologi juga tidak tersentuh. Tapi semua 'ilmu' lain yang aku dapat saat sekolah itu terpakai lho.

Saat sekolah, aku belajar:
- Bersosialisasi: Bukan yang hapalan buku, tapi bagaimana berinteraksi dengan guru teman dan orang lain.
- Deadline: Alias peer. Belajar mencari waktu untuk menyelesaikannya dan mencari jalan keluar kalau tidak selesai.
- Aksi dan konsekuensi: Kalau salah, terlambat, tidak mematuhi aturan, siap-siap disetrap.
- Tanggung jawab pada diri sendiri: Terutama saat kuliah, saat tidak ada lagi yang mengawasi.
- Logika: Ilmu alam itu pakai logika, nggak bisa cuma dihapal.
- Hapalan: Karena ilmu sosial (sejarah, geografi etc) itu bagaimana kita melihat sesuatu dengan cepat dan mampu mengingat poin-poin pentingnya.
- Melihat secara garis besar/tidak berpikiran sempit: Dengan sedemikian banyak yang harus dipelajari, cari mati kalau masih nekat hanya menghapal buta.

Jadi saat aku:
* Mengurus perpanjangan green card, memohon nomor penduduk, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan birokrasi: pelajaran PPKn dan Geografi lah yang punya andil (baca: belajar membaca/mengartikan formulir dan membaca cepat menentukan hal-hal apa yang penting)
* Mengurus keuanganku: jelas matematika dan ekonomi/akuntansi yang berperan. Paling nggak tahu kalau keuangan sudah nggak seimbang dan bisa mengalokasikan dana dengan sesuai.
* Gonjang-ganjing rumah tangga: terimakasih banyak untuk Ilmu Alam yang memaksa saya terbiasa melihat segala sesuatu secara utuh dan mengambil keputusan dengan kepala jernih dan bukan emosi sesaat.
* Berkenalan bertemu orang baru dan mencari teman di negeri orang: setelah drama emo / ABG saat SMA dan ospek saat kuliah, ini mah kecilllll
* Mencari pekerjaan dan beradaptasi dengan atasan: apa kabar guru-guru sekolah yang sok cihui dan dosen-dosen yang sok penting hihihi? (Mayoritas guru/dosenku sih oke ya huhu, jadi kalau pak/bu guru/dosen ada yang baca jangan tersinggung #kisskiss)

Aku disini success story lho Bu. Belum sesukses yang bisa membiayai kalian semua ke Disneyland sayangnya (pergi sendiri saja kayaknya belum sanggup/nggak rela bayarnya), tapi bisa dibilang American Success Story. Imigran yang belajar melakukan apa-apa sendiri, yang 5 bulan kerja full time sudah bisa sewa apartemen sendiri, yang walau pisah dari suami masih sanggup jalan-jalan ke negara bagian lain dan hidup dengan aman dan nyaman, yang nggak tergantung dari bantuan pemerintah apalagi bantuan orang tua. Disini banyak lho Bu yang biar seumur aku masih menadahkan tangan ke orang tua. Bangga nggak sih Ibu sama aku? Aku bangga sama aku hehehe.

Dan ini semua karena Ibu. Ini semua karena Ibu memperjuangkan pendidikanku. Walau kadang sirik melihat teman-teman yang tampak lebih makmur berkat orangtuanya, aku tahu 'modal' yang sudah Ibu berikan padaku adalah sesuatu yang tidak akan pernah habis dan tidak bisa diambil dariku. Dan aku berharap akan lebih banyak orang mampu menyadari hal ini.

Anak perempuan kan bukan hanya barang ya, Ibu. Pastilah cita-cita banyak orang tua (kalau bukan seluruh orang tua) supaya anak perempuan mereka berkeluarga bahagia, anak suami lengkap. Tapi untuk mencapai itu kan perlu modal. Kalau pernikahan adalah sebuah perusahaan, tentu kandidat partner/rekan bisnis utama yang akan dipilih adalah yang bisa memajukan perusahaan, bukan yang cuma ada disitu menghias kantor. Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan rekan bisnis utama (baca: suami) dan ia harus mengurus agar dirinya plus karyawan (baca: anak-anak) tetap terjamin? Bagus kalau perusahaan utama (baca: orang tua suami/istri) masih mau dan bisa turun tangan, kalau tidak?

Sama seperti perusahaan, punya gelar tinggi-tinggi tidak menjamin bisa menjalankan perusahaan. Makanya suka sebal kalau melihat orang yang pasang status membenarkan ibu RT berpendidikan tinggi "Bagus kan anak bisa diasuh lulusan S2", tapi masih rajin main copas berita hoax. Malu sama gelar gitu. Nggak punya gelar pun bukan berarti karyawan (baca: anak-anak) nggak terurus. Nggak usah jauh-jauh, lihat Menteri Susi. Salah banget kalau berumah tangga hanya melihat pendidikan pasangan. Walau pendidikan bagus itu membantu karena kita terbiasa dengan logika dan metode ilmiah dan sebagainya, tapi balik lagi ke apa yang bisa dan telah kita pelajari, iya nggak Bu?

Aku di sekolah juga belajar utang piutang. Ini sebabnya aku tahu bahwa utangku ke Ibu yang telah memperjuangkan pendidikanku mungkin tidak akan pernah terbayar. Apa yang kupelajari saat kuliah dan sekolah adalah modal hidupku. Dan bila kelak aku berkeluarga (lagi), itu juga yang akan menjadi modal anak-anakku. Sampai akhir hayat kita, aku akan tetap berhutang pada Ibu. Jadi Ibu jangan takut kehilanganku ya, bahwa aku kabur dan melupakan Ibu. Konon kan setelah menikah wanita jadi milik suami. Tenang saja, nggak begitu kok. Hutangku masih banyak, mesti tahu diri. Lagipula, aku senang dekat-dekat Ibuku tersayang. Kiss kiss muah muah dari Los Angeles. Makasih ya sudah menyekolahkan aku, Kartini Spesialku. Ai lop yu pull.

PS: Ajik/Babe ku tersayang, makasih juga ya. Jangan ngambek klo nggak di mention, kan Ajik nggak Kartinian xixixi. Lop yu tu!!!!

8pm Slumped On The Kitchen Floor

I slumped on the kitchen floor last night, my back against the refrigerator and my tears flowing freely. I clutched a bowl of French onion soup and forced myself to eat it, resisting impulse to just slam it to the wall and see it shattered and splattered everywhere. Instead, I ate it diligently, and with each mouthful I swallowed my pain and my sorrow.

10 texts, that's all he need to destroy my day. 10 texts.

My replies were short and cheerful, but he didn't know the anguish in me. He didn't know the hold he still has in me, how he can utterly destroy me with his thoughtless words. I was advised to not disclose the facts because that'll make him feel good about himself. As any predator, he elevates his self-confidence by exacting fear from others. All his hateful words, all his demeaning remarks, all his deprecating comments, they were made to elevate him, to make me less than him as that is the only way he can 'win' over me, the only way he can achieve some sort of self-confidence and feel good about himself.

But I don't want to talk about him. I don't want to understand the why he does all that. I don't want to give more of my time and emotion for somebody like that. I want to talk about me. I want to put all my fear and anguish aside. I want to stop being so scared and shaken every time he attacked me. I want to be able to love again, to be free again. And you know what I truly, truly want?

* I want somebody I can trust my life to, that I know I will be safe with that person no matter what
* I want somebody I can tell my secret to, somebody who will never use it against me
* I want somebody I can laugh with, smile with, have adventure with
* I want somebody who is as fluent and as easy going as I am as we embarked on adventures with strangers
* I want warm embrace, hot kisses, the promise of forever which was said solemnly
* I want somebody who just laughed and smiled amusedly as I said my "Sorry" for the millionth time during dinner
* I want somebody who is secure enough with himself that he can be my anchor in the storm
* I want somebody who understands my thoughts and my moral code without me having to explain for a zillion time
* I want somebody who trusts me enough to do my own things because he knows my limit and ability
* I want somebody I can grow with, somebody who has clear vision of the future and of himself
* I want somebody that'll sit and listened and understand as I spoke about my homeland, my cultures, and everything I hold dear
* I want somebody I can love, and whom I can believe of his love
* I want somebody who will not turn his back on me just because we don't see eye to eye, just because we don't share the same view
* I want somebody who will not lie to me, who has no reason to lie to me
* I want somebody who will make me feel safe and comfortable
* I want somebody who will make me feel like I am home

Do I deserve all this? Absolutely. I am done with people who forced their own conception of me on me. I am done with being questioned about my belief, my action and such, just because they don't, can't, understand it. I am done with being made to feel incomplete, weird, irrelevant. I am done with people who can't accept me for who I am. I am done crying, shaking, freaking out over what they thought I should be. I am done. And if I can't find the person who accepts me for who I am, that is fine by me too. I have myself. That is enough. I am done.

Search This Blog