AdSense Page Ads

Wednesday, June 17, 2015

Jagalah Hati, Jangan Terpercik Muka Sendiri

"Jagalah hati, jangan kau kotori/Jagalah hati, lentera hidup ini..."

Siapa yang masih ingat dengan lagu ini? Seiring waktu sudah banyak versi yang beredar, tapi buat saya versi Bimbo [kalau nggak salah, yang versi paling pertama muncul] tetap yang paling menyejukkan. Adem gitu lho. Biasanya lagu ini akan marak/baru ketemu di bulan Ramadan/bulan puasa, padahal menurut saya liriknya valid banget untuk kehidupan sehari-hari. Menjaga hati kan tidak hanya saat bulan puasa saja toh? Sama saja seperti di Amrik sini yang baru heboh menyiarkan damai Natal saat bulan Desember. Itu pun kalah dengan yang menyiarkan diskon akhir tahun. Waduh.

Balik lagi soal menjaga hati, di era sekarang ini kayaknya susah banget ya. Setiap harinya kita dibombardir dengan informasi dan tergantung kitanya yang menyisir dan memilah yang mana yang harus kita simpan. Kalau dulu lebih gampang, cuma tahu berita dari koran [Kompas] atau televisi, dan pilihannya hanya TVRI dan RCTI/SCTV saja. Itu pun beritanya masih yang propaganda. Saya masih ingat berita Pak Harto memancing ikan di laut dan selalu dapat ikan yang guede, dan kami sekeluarga berspekulasi kalau ada penyelam di bawah perahu yang mengaitkan ikan tersebut ke pancingan Pak Harto. Padahal sudah cuma itu-itu saja sumber beritanya tapi teteup nggak percayaan hahaha. Terbayang dong apa rasanya sekarang ini, dimana kita tiap hari, tiap detik dihujani dengan informasi yang sayangnya tanpa filter: dari fesbuk/medsos, dari aplikasi berita yang kita ikuti, sampai via SMS/BBM. Mau berita benar atau salah urusan sekian, pokoknya kalau 'seru' kita paling pertama yang mengklik like/share, atau mengklik tautan/link karena judulnya sangat bombastis. Gimana mau menjaga hati kalau begini caranya?

Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, semakin sulit menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Jujur, buat saya dunia ini sekarang tampaknya terbuat dari kebohongan yang berlapis-lapis dan kesalahpahaman yang diulang-ulang. Masih ingat kan soal Aga, yang berita hoaxnya bilang ia bunuh diri karena dipukuli orang tuanya? Atau berbagai kasus anak hilang seperti di Gandaria City dan lainnya? Baru-baru ini di fesbuk saya beredar kabar kalau ada seorang pria yang dibilang pedofil di Bali dan orang-orang harus waspada. Memang gampang sih nge-share untuk mengingatkan, tapi saya teringat seorang teman yang ceritanya difitnah oleh rekan kerja dan mantan istrinya sampai harus memberi klarifikasi kepada saya bahwa ia bukan gay. Padahal dia gay pun saya nggak perduli, tapi buat dia saat itu penting sekali saya tidak menjauhi dia karena percaya dengan kabar tersebut. Sedih saya mengingatnya. 

Kalau anda pikir ini masalah cuma di Indonesia saja, anda salah besar. Di Amrik sini ada orang yang sampai mencuri identitas orang lain untuk eksis di media sosial. Ada juga orang-orang yang menebar cerita sedih soal dia kena kanker/penyakit lainnya demi mendapatkan respon/perhatian pembacanya. Ini mungkin sudah masuk ranah sakit jiwa sih ya. Dan jangan ditanya soal info-info hoax nggak jelas seperti mentega itu sebenarnya margarin yang dikasi pengawet dan pewarna. Intinya itu ya, membuat berita hoax demi mendapat perhatian, demi mendapatkan 'pengikut', atau bahkan demi balas dendam/menyakiti orang lain. Pemain berita besar pun tidak luput dari kesalahan ini. Baik media Amerika maupun Indonesia bisa dibilang sama, sama-sama 'pesanan'. Saat meliput berita, apalagi berita kontroversial, biasanya yang diliput dari sisi yang menjualnya saja atau yang sesuai dengan platform mereka. FoxNews misalnya sangat anti Obama, jadi apapun yang ditulis cuma soal salahnya Obama. Pembacanya juga jelas orang-orang yang anti Obama. Masalah isi beritanya akurat atau tidak bukan masalah, yang penting laris ris ris. Berapa banyak media Indonesia yang juga melakukan hal ini?

Celakanya, ketidaktahuan ini seringkali berjalan bersamaan dengan ketidakpedulian dan kemalasan. Klop deh. Padahal google sedikit saja setidaknya bisa tahu sisi lain ceritanya, tapi siapa sih yang repot-repot nge-google sekarang ini? Kalaupun nge-google, biasanya yang dicari versi yang ingin dilihat. "Kebiadaban umat Buddha terhadap Rohingiya" vs "Kasus Rohingiya" hasilnya bakalan beda lho. Sudah begitu, kalau di kepala sudah terbentuk opini yang dipercaya setengah mati, kalaupun ditegur atau diberikan fakta yang berbeda tetap keras kepala membenarkan apa yang dipercayainya. Seperti contoh mbak dibawah ini yang kekeuh mempertahankan haknya untuk mengshare foto jenazah Angeline, walau sudah diigatkan untuk tidak melakukannya demi menghormati almarhumah. Karena majunya informasi, kita lupa bahwa sekedar aksi klik dan share dengan jempol kita tetap akan membawa konsekuensi. Dan karena luasnya dunia maya kita tidak tahu [atau tidak mau tahu] seberapa besar dampak dan implikasi yang terjadi dari tindakan kita mengklik like dan share berita yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, padahal kita masih akan harus mempertanggung-jawabkannya terhadap yang diatas nantinya.


Mungkin buat banyak orang konsep menjaga hati demi mempertanggung-jawabkannya ke Tuhan agak terlalu jauh ya, nggak masuk logika gitu lho. Sekarang ya sekarang, urusan Tuhan mah entaran. Apalagi dalil soal internet tidak ada [secara gamblang] di kitab suci agama manapun jadi tidak ada pengingat. Tambah lagi kalau kebetulan yang dipakai sebagai alasan adalah soal agama. Seperti si Mbak dibawah ini yang kekeuh bilang kalau media liberal Indonesia kafir dan jangan dipercaya [Foto diambil dari artikel menarik ini]. Nggak apa-apa sih, tapi apa iya komen seperti ini membantu citra dirinya sendiri? Kesan yang saya tangkap di mbak diatas yang menshare foto jenazah adalah Sadis. Kesan yang saya tangkap di mbak dibawah ini adalah Rasis dan picik. Mungkin di Indonesia persona online masih belum penting ya, tapi di Amerika sini apa yang kita tulis di medsos bisa dipakai untuk melawan kita. Sudah banyak cerita bagaimana orang sini dipecat karena postingan mereka di media sosial. 



Sebagai pribadi pun apa iya anda nyaman berada bersama orang yang sibuk mengumbar kemarahan dan kebencian? Tiap kali nongol yang seperti ini di fesbuk saya, saya biasanya mengubah settingan orang tersebut menjadi 'unfollow' agar berita yang ia sampaikan tidak ada lagi di fesbuk saya, atau sekalian saya unfriend kalau saya anggap sudah tidak terselamatkan. "Baguslah!" pikir beberapa orang, "Buat apa juga temanan sama orang yang tidak satu ide??!". Salah besar. Dunia ini luas lho Mas/Mbak. Memilih untuk bergaul hanya dengan teman yang seide berarti membatasi pengetahuan kita sendiri. Secara profesional pun ini bisa menjadi masalah, karena kita tidak akan bisa beradaptasi dengan lingkungan kerja kita. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari orang lain, dan banyak hal yang bisa kita dapatkan dari orang lain. You'll never know what you can find in the next person, anda tidak akan tahu apa yang bisa anda temukan di orang lain. Bukan berarti anda tidak boleh beropini lho, tapi tatalah opini anda agar menyejukkan dan (syukur-syukur) membuat orang justru jadi mempertimbangkan opini anda tersebut. Jangan istilahnya memercik air di dulang terpercik muka sendiri. 

Sepertinya berat ya kalau harus selalu waspada, kalau harus selalu mengecek dan menimbang sebelum melakukan tindakan. Padahal like share dan komen itu cuma sejempol saja jaraknya. Tapi inilah konsekuensi menjaga hati di era teknologi informasi, dimana tidak ada lagi hukuman sosial dan maraknya godaan pengakuan instan dari follower yang bahkan tidak anda kenal. Konon katanya ini jaman edan, jaman Kaliyuga, jaman sebelum kiamat. Tergantung kitanya mau seperti apa, ingin ikutan gila atau tetap kokoh dengan mencoba menjaga hati kita. Seperti lirik lagu "Jagalah Hati", harusnya jawabannya sudah jelas:

"Bila hati kian bersih
Pikiranpun akan jernih
Semangat hidup nan gigih
Prestasi mudah diraih

Namun bila hati keruh
Batin selalu gemuruh
Seakan di kejar musuh
Dengan Allah kian jauh"

Sekarang, yang mana yang akan anda pilih? Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang merayakan. Saya harap anda sekalian (yang puasa maupun yang tidak) akan memilih yang terbaik untuk anda :)

Tuesday, June 16, 2015

In The Midst of Lies

Lately I learn much about deceit. I have always known that life is never what it seems to be, but what I learn lately has been disheartening. It seemed to me that everything around me are lies, carefully and cunningly designed to make me feel they speak to me, they speak for me. In reality, they lure me into quicksand and left me there, slowly drowned in my own weight. 

From the slope of Mount Hollywood, sitting at the Griffith Observatory and looking down to the city of Los Angeles below I ponder: is this the only real thing in life? The nature and all its might? The cool breeze touch my face and I shivered. The fog still gathers in the cold cloudy morning. Everything feels so real, yet I know the unreal world is only a few minutes away. The unreal world starts when I step into the car, fully equipped with things that I do not need but sold to me as things that I need, cleverly confusing me between my needs and my wants. Lies, lies, and more lies.

It has always been that way, the clever design where I lost my true identity and became a sheep in the flock. In the end, the only true Lord that people worship these days is Power and Profit, despite whatever reasoning one may say. Everyone needs money. Everyone want money. Money brings power, an elevation of status, stability. And actually, it is not that bad. In the world of today, money equals to what you can or can not do in life. Regardless on how brilliant a person is, he/she will not last long if he/she do not have enough money to sustain themselves. Gone are the days where people plow their land to make a living and be independent, but even in those early days you still need money or some sort of bartering items to get things that you can't make/produce yourself. 

When done right, money gives us a mean of living, a mean to reach our goal and fulfill our life. You can easily gauge how good you are at things with the money you can generate with your work. You can set a goal and know how to reach it since money is a valid and stable variable. Money itself is not evil. Nor is power. Yet money breeds power, which then breeds more money. This cycle quickly generates the temptation that human finds impossible to resist, and sucked us in like a big whirlpool in the ocean. This is not brand new, human has been fighting greed since the beginning of time, or to be precise, the beginning of human conscience. We look up to the underdogs, or to people who have power but do not abuse their power and instead stay humble. Yet at the same time, we adore power and wanted to be lead. We look up to people who have power (and money), and consequently, we too want to be looked up and adored.  

For big players, this means generating things in a way that speaks to (read: brainwash) the audience to fell in favor with whatever the big players want us to think. Whether they are selling products or ideas, we are buying them in astonishing speed because, you know, those guys have money and power so they must be right, right? A good campaigner made us feel like we are a part of an exclusive group by joining their cause, be it as an owner of a specific brand or a religious devotee. And that's the thing. We want to be exclusive. We want to feel the power of being right. We want to be, ah, a cut above the rest. The big players tapped into these instincts and present us with things that we want to see, things that we want to be. In the end, we were sold to their presentation and they too make their much wanted profit and power. In the end, we are defeated by greed and lust.

Sit and think for a moment. Can you really believe everything said in the media? Do you really need every item sold? The realization came to me when I realize I spent unhealthy amount of time doing online shopping. They all seemed to make sense to me: I need the clothes for this and that reason. Yet it took me a great deal of strength to say to myself: Stop, you don' t need that. It took more strength to actually stop browsing the websites to satiate my need, no, my want. With so many choices bombarded in your face, it is difficult to keep track of things that you actually need vs things that you are conditioned to need (a.k.a the wants disguised as needs). How many people spent nights thinking how their life will be better if only they have a bigger house/better car/finer life? It is one thing to be ambitious and actively reach for betterment, it is another thing to keep looking ahead and being consumed by the emptiness and hunger in you. The same thing happen with the media, that, depends on which channel/outlet you choose seemed to accurately (or inaccurately) speaks for you. We got swept away in the stream of opinion, convinced that our belief is right without stopping to think how that opinion could help fix the problem. Speak up, they say. The Oppressor will listen if you speak up.  Will they really though? Or are we merely pawn, an asset that unknowingly contributes their ever growing power? Everyone has his/her own agenda. Everything in this world is a facade.

It feels so disheartening. I do not trust media, I do not trust corporation, I do not trust people. My life is crumbling beneath my feet and I do not know what to do. But the sun stays the same, is it not? And smile and kind words from a stranger feels good anytime. I love the city too, the unnerving city with all her flaws and beauty. These are the things I could hold on to. These are the things that I have to hold on to, the real tangible things in the world of lies. I look at the city below once again. I have come a long way, yet even in my native country greed and ignorance and lies spread like wildfire on a hot summer day. In times, there might be nothing left but ashes and amber, burned to the ground by human greed and lust. But trees can still grow out from the ashes. I can not lose hope.

Monday, June 15, 2015

Buka/Tutup Warung Makan: Tersandung kata 'Menghormati'

Buat saya, orang-orang yang sibuk mempermasalahkan soal warung makan yang buka saat Ramadan/bulan puasa dan terutama yang mati-matian ngotot dan ga bisa 'move on' dari kata 'menghormati' kemungkinan besar pengertian Bahasa Indonesianya kurang. Atau paling nggak pas tes pemahaman bacaan nilainya jeblok. Menurut saya lho ya. Jangan marah, kan menuduh ga jelas lagi trending hohoho. Tapi tidak ah, tidak baik membuka artikel dengan bikin marah orang. Maaf ya yang merasa tersinggung, tapi monggo lho ikut saya mencoba menelaah soal buku/tutup warung ini.

Masalah utama dengan bahasa adalah kita cuma bisa melihat satu sisi, satu fakta yang tersaji diantara kata-kata yang terjalin dalam kalimat, tanpa mengetahui kondisi sebenarnya. Misalnya saja, "Amir terlambat datang ke sekolah". Yang heboh ga jelas sibuk nge-judge "Dasar Amir anak malas!", yang membela kebebasan (konon katanya), "Terus kenapa??". Padahal bisa saja Amir sudah datang tepat waktu, tapi sekolah dimajukan (lho?!).  Bisa saja Amir terlambat karena ia berjiwa sosial dan menolong rombongan nenek-nenek menyeberang jalan. Bisa juga karena Amir menonton bola semalam suntuk dan ketiduran. Banyak versinya gitu lho. Fakta yang kita pakai (dan mungkin yang dipakai guru Amir) adalah ia terlambat. Titik. Tidak ada toleransinya, salah ya salah, terlambat ya terlambat. Begitu pula dengan kata 'menghormati' yang dipakai Menteri Agama soal buka/tutup warung di bulan Ramadan. Banyak orang menghujat dan memaki, bilang pak Menteri tidak Islami. Saya juga jujur ikutan menyesalkan, soalnya kata 'menghormati' itu menyesatkan.

Kalau dibilang warung makan boleh buka untuk menghormati orang yang tidak puasa, memang rasanya gimana gitu. Siapa juga pasti emosi, ibaratnya karena satu orang tamu undangan kebetulan tidak bisa makan daging/vegetarian, semua hidangan yang tersaji di pesta/resepsi menu vegetarian semua. Ada juga si vegetarian ini yang mengalah dan tahu diri, toh kue-kue dan buah pencuci mulut juga nggak pakai daging. Sama saja, memangnya yang puasa nggak bisa bekal makanan dari rumah gitu? Stok Popmie buat lunch sebulan apa susahnya sih? Orang Indonesia itu hampir 90% muslim, jelas lebih banyak yang puasa (baca: beragama Islam) daripada yang nggak, bahkan setelah dihitung para Muslimah yang kebetulan sedang datang bulan atau orang lansia/sakit yang memang tidak bisa berpuasa. Nggak masuk akal kan kalau sekian banyak warung makan itu boleh buka untuk mengakomodir sekian sedikit orang? Bukan masalah yang kecil/sedikit harus tahu diri, tapi nggak efektif gitu lho. Menghormati boleh jalan terus, tapi mbok ya yang masuk akal.

Nah tapi bagaimana kalau warung makannya buka bukan karena menghormati yang tidak puasa, tapi karena memang harus buka demi pemasukan? Mama saya punya usaha toko fotokopi di Bali, dan tiap kali libur panjang atau libur hari raya Hindu Bali berurutan Mama bakalan pusing tujuh keliling. Pas libur begitu nggak ada yang datang fotokopi/belanja, jadi biasanya Mama akhirnya tutup toko sampai hari raya/liburnya lewat, dan terkadang bisa sampai seminggu/dua. Gaji pegawai tetap harus dibayar full, listrik dan sewa toko juga tidak didiskon, dan pengeluaran sehari-hari plus cicilan dan sebagainya juga tetap ada. Tambah puyeng saat hari raya Hindu Bali karena pengeluaran untuk upacara juga tidak sedikit. Kebayang tidak perasaan pemilik/pekerja warung makan yang dipaksa tutup saat bulan puasa? Buka saja sudah ngap-ngapan, turun drastis pemasukan karena makin sedikit orang yang makan; tapi kalau tidak buka bunuh diri namanya apalagi Lebaran menjelang. Buka menjelang buka puasa agar orang-orang bisa beli makanan berbuka mungkin bisa jadi solusi, tapi yang saya tahu banyak tempat makan yang gantian jualannya: yang dagang berbeda pagi dan sore. Bentrok lagi dong jadinya. Yang tega mungkin akan dengan tenangnya merumahkan pegawainya, tapi itu cuma memindahkan masalahnya ke pegawai. Kebayang nggak kalau anda nggak kerja, nggak punya penghasilan, dan Lebaran sudah didepan mata? Panik nggak sih? 

Poin lain adalah, kenapa cuma warung makan yang disuruh tutup? Yang fair/adil dong ah. Harusnya semua tutup dong, termasuk di mal yang wangi dan mahal. Gerai-gerai kopi, restoran fastfood, segala macam yang jual makanan dan minuman kecuali toko bahan makanan/supermarket harus ditutup. Masa cuma yang rakyat kecil saja yang disuruh tutup, yang mentereng dan perlente juga harus ikutan dong. Termasuk restoran di hotel bintang lima yang harga seporsi menunya cukup untuk beli tajil satu RT. Makanan via room service pun nggak boleh ada. Pokoknya kalau belum berbuka, semua juga jangan buka. Nah lho, jadi tambah banyak kan orang yang repot? Bukan cuma pemiliknya, pelayan dan petugas kebersihan, sampai supplier pun pastinya jadi tertohok karena jam kerja/pesanan yang menurun. Toko-toko lain di Mal yang nggak jual makanan pun jadi kena imbasnya. Siapa sih yang mau pergi belanja/jjs ke tempat yang seperti kota hantu? Di Mal itu yang dagang makanan buanyak banget lho. Kalau sudah begini, orang juga jadi malas untuk buka toko makanan di mal. Gerai-gerai besar seperti Starbucks pasti pikir-pikir untuk ekspansi kesini, rugi dong cuma bisa buka 11 bulan dalam setahun. Kalaupun masih nekat buka toko makanan, pastinya harga dinaikkan karena harus mengcover satu bulan yang tidak bisa jualan sementara sewa toko etc harus full dibayar satu tahun (plus thr pegawai yang lebaran ya). Mati banget kan?

Karena di Indonesia hampir 90% Muslim, yang repot ya mayoritas yang Muslim juga. Warung-warung tegal dan rumah makan kecil lainnya yang tidak bisa berbisnis, pegawai-pegawai warung yang dirumahkan, pekerja kasar yang tidak bisa mendapatkan asupan yang mereka butuhkan, dan jelas, Muslimin/Muslimah yang tidak bisa berpuasa karena berhalangan atau sakit atau faktor usia. Tidak semua umat Islam di Indonesia keren dan berdasi, bekerja di kantor ber-AC dan melewatkan waktu dengan mendengarkan khotbah ustad kondang di smartphone mereka. Masih banyak umat Islam Indonesia yang bekerja kasar, yang sekian hari harus berpuasa bukan karena kewajiban tapi karena memang tidak bisa membeli makan. Tidak semua umat Islam di Indonesia punya pekerjaan tetap dan stabil, masih banyak yang takut menghadapi pagi hari karena bisa jadi di hari itu mereka dipecat atau usaha mereka harus tutup. Merekalah yang dihormati, dibantu dengan kebijakan membolehkan buka warung makan saat bulan puasa. Bukan untuk yang non-Islam, namun untuk umat Islam sendiri. Apa iya anda mau merampas hak mencari penghasilan orang lain? Bisa saja sih, tapi siapkan solusinya dong; jangan cuma bisa melarang saja. Kalau mau bawa ayat agama juga silakan, tapi siapa anda mau (dan berhak) nge-judge? Percaya deh, kalau anda percaya Tuhan segitu maha kuasanya dan segitu bencinya sama para penista (baca: orang yang menggoda orang lain saat puasa dengan makanan etc), apa nggak Tuhan sendiri yang bakal turun tangan. Anda nggak perlu ikutan rempong/repot juga Tuhan yang bakal 'menyelesaikan' kok.

Selama seperempat abad lebih saya tinggal di Jakarta (jiahhhh bahasanya...) saya nggak pernah mengalami kesusahan mencari makan saat bulan puasa. Warung makan buka walau ditutup dengan gorden, intinya saling menghormati lah. Saat SMA saya bahkan pernah ditegur teman saya karena saya heboh banget ngumpetnya untuk makan saat bulan puasa, dia bilang: "Biasa aja kali." Makanya saya heran kok sekarang jadi polemik berkepanjangan. Di fesbuk banyak komentar yang memuji dan bilang kalau Menteri Agama sekarang Pancasilais dan melindungi semua umat beragama di Indonesia. Kalau kata saya yang dilindungi Menteri Agama bukan non-muslim, tapi perekonomian dan kestabilan Indonesia. Repot dong kalau harus ngurus negara yang ormasnya bisa menekan sesama warga negara dan mendikte jalannya pemerintahan (baca: FPI dan acara 'menggerebek' mereka). Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan hak hidup mereka dari pemerintah Indonesia, dan hak mencari penghasilan dengan cara halal jelas salah satu diantaranya. Hak ini, sekali lagi, hak ini yang dihormati dengan membolehkan mereka membuka usaha warung makan mereka saat bulan puasa. Apa ini menguntungkan umat non-Islam? Jelas. Enak toh kalau tahu urusan perut lancar (walau dibalik korden). Apa ini menguntungkan umat Islam? Apalagi. 90% Islam bo'! Kalau ada 100 warteg di Jakarta dengan masing-masing 5 pegawai, berarti setidaknya sudah 450 orang yang paling tidak bisa Lebaran dengan tenang karena tahu usaha mereka masih bisa jalan saat bulan puasa. Kalau usaha makanan di Jakarta sekitar 50% dari total jenis pekerjaan di Jakarta, maka dari sekitar 10 juta jiwa di Jakarta, 4.5 juta jiwa terbantu dengan dibolehkannya usaha makanan buka saat puasa. That's a lot lho. Itu banyak bo'.

Buat yang masih stuck/mandeg soal 'menghormati', mari lho saya ingatkan sekali lagi kalau hak buka/tutup warung makan saat bulan puasa itu bukan untuk menghormati yang non-Islam, tapi menghormati hajat hidup/hak hidup seseorang untuk mendapat penghasilan. Gak papa kalau anda kekeh menyebut para umat Islam yang nekat buka warung saat puasa itu kafir/pendosa etc. Hak anda juga menjudge orang, walau benar tidaknya tudingan anda itu urusan Tuhan hehehe. Sebelum anda menuding, tolong diingat bahwa berbagai orang di seluruh dunia berpuasa dengan kondisi yang berbeda. Di Los Angeles sini misalnya, jam 4 kurang sudah terang dan baru gelap lagi lewat jam malam. Kebayang nggak berpuasa seperti itu? Apa Tuhan yang salah, nggak kasihan sama umatnya di LA sini karena memaksa mereka puasa jauh lebih lama dari rekan-rekan mereka di negara lain? Restoran juga buka seperti biasa, begitu pula para wanita dengan baju seksi mereka (berhubung ini summer/musim panas). Apa mereka semua berdosa karena menjalankan aktivitas mereka seperti biasa tanpa mengindahkan orang yang berpuasa? Kalau iya, berarti semua restoran etc yang buka saat anda puasa Senin-Kamis atau (bagi yang wanita) membayar hutang puasa juga berdosa dong. Peduli amat mereka nggak tahu kalau anda puasa, salah ya salah. Seperti si Amir yang terlambat di atas. Apalagi kalau dilakukan saat tahu anda puasa. Setan, penggoda, iblis, (menurut anda) itulah mereka semua, masuk neraka mereka semua!!! Waduh, serem amat ya jadi anda. Puasa itu setahu saya menekan/mengontrol hawa nafsu, percuma kan puasa menahan lapar dan haus tapi pikirannya emosi jiwa dan sibuk mencaci dan menuduh. Kata saya lho. 

Mungkin saya salah, mungkin saya benar. Buat saya Lebaran selalu bahagia, selalu identik dengan keceriaan dan rasa syukur yang amat sangat. Buat saya setiap orang berhak merayakan hari raya (baca: Lebaran) dengan perasaan bahagia dan berkecukupan. Kalaupun anda masih gagal move on dari 'menghormati', setidaknya pikirkan dan bayangkan hal ini di kepala anda tiap kali anda melihat warung makan yang buka di bulan puasa: kebahagiaan para pemilik dan pegawainya saat Lebaran tiba, saat mereka mampu merayakan hari suci tersebut selayaknya dan membagikan kebahagiaan mereka ke orang lain juga. Itu saja sudah cukup kok. Selamat menunaikan ibadah puasa :).

Search This Blog