AdSense Page Ads

Monday, May 7, 2018

Kepo Syalala



#KepoSyalala

Minggu kemarin saya patah hati. Gebetan saya ceritanya menolak serius, sementara saya malas cuma jadi mainan. Jadilah saya bye bye bye. Boleh dong jadi perempuan punya standar.

Tapi kebayang nggak kalau di Indonesia? "Makanya jangan sembarangan cari lelaki," "Cewek ga bener pasti dapatnya juga cowok ga bener," "Badan kayak lemper begitu wajarlah," berikut segala spekulasi kenapa si lelaki nggak mau serius, yang mana sebagian besar akan menyalahkan saya. Fakta bahwa cowok ini ganteng jelas nggak menolong saya. "Ngaca ga sih tuh perempuan??"

Kekepoan kita ini sangat mendarah daging, sampai kemarin mau daftar pemilu online ada pilihan status pernikahan. Sama dengan kolom agama, faedahnya apa? Apa yang saya pilih nggak akan terpengaruh dari status pernikahan atau agama saya, bukan? 

Masalahnya dengan kekepoan adalah, korban utamanya perempuan. Seberapa heboh sih kita mengkepokan lelaki? Biasanya yang kita kepoin perempuan disekitar lelaki itu. Nggak ada, misalnya, yang mengkepokan betapa brengseknya Ahmad Dhani. Semua sibuk resehin Mulan Jameela.

Seperti cerita patah hati saya. Teman-teman saya disini yang sibuk "Kebiasaan deh, lelaki" "Gue bangga loe bisa mengambil sikap," "Elu berhak dapat yang lebih baik!" Karena memang bukan salah saya dia nggak mau serius. Itu juga bukan urusan orang untuk menduga atau menghakimi saya.

Kekepoan kita dan penghakiman kita terjadi saat kita melihat sesuatu hanya dari luarnya saja, hanya dari kriteria yang timbul dalam kesempitan pikiran kita, dari proyeksi insekuritas/rasa tidak percaya diri kita. Akhirnya yang keluar/terujar pun hanyalah kenegatifan belaka.

Dan ini akhirnya menjadi lingkaran setan. Sekian banyak orang (dan saya sendiri!) bercerita alangkah tidak nyamannya menjadi bahan kepoan dan penghakiman orang lain. Kita yang negatif menjadi sebal dan membalas dengan mengkepokan dan menghakimi orang lain. Semua ini terus berlanjut.

Terlalu mudah, sekali lagi, terlalu mudah untuk melihat rendah orang lain. Sebaliknya, terlalu mudah juga mendewakan seseorang yang masyarakat pikir hebat dan keren. Yang sangat sulit adalah melihat tinggi, atau setidaknya mengakui seseorang yang 'biasa'.

Kenapa? Karena mengakui kemampuan dan kelebihan orang lain yang terlihat 'biasa' berarti mengakui bahwa kita yang 'biasa' pun sebenarnya 'luar biasa'. Kita harus meruntuhkan ego dan insekuritas kita untuk melakukan ini. Banyak yang nggak siap untuk melangkah kesitu.

Caranya sih dengan banyak latihan ya hahaha. Lihat orang sekeliling anda dan pikirkan apa hal baik yang anda bisa lihat darinya. Manusia itu ibarat berlian, ada banyak sisinya. Sinar yang dipendarkan/keluar pun tergantung sinar apa yang masuk. Jadi jangan langsung menuduh orang lain jelek bila anda tidak tahu ceritanya, atau belum melihat secara keseluruhan.

Nggak menarik ya bacaan Senin sore/Selasa pagi ini? Ahahaha. Saya sih bisa lho menulis mendayu-dayu tentang cinta dan kasih sayang, tapi cinta dan kasih sayang paling utama yang saya rasakan adalah dari orang-orang yang menerima saya apa adanya.

Bukan Ary Yogeswary yang gemuk, nggak dandan, kulit tidak terawat, kebanyakan omong, kere, nggak keren; tapi Ary Yogeswary yang menikmati dunia, yang penuh senyum dan tawa, yang siap menolong temannya, yang pantas mendapat hal-hal yang baik dalam hidupnya.

Enak lho berpikir positif. Coba deh. Awas ketagihan tapi. Bisa-bisa dunia menjadi tempat yang lebih baik, lebih nyaman, dan lebih indah kalau semua orang mau dan mampu berpikir positif. Eh.

This is America



I watched Childish Gambino's This is America, and I have to step back to take a breath.

Every time I read about crimes, pain, fear, and other bad things in the news, it hits me hard.

Every time I saw people on the street, homeless and cold, physically and/or mentally unwell, it hits me hard.

Each blow never got better. Each blow makes me want to bury my face in my hand and groan in mental pain, reeling to the anguish I felt.

Then I watch Childish Gambino's This is America. The blows are as fresh and as painful as both old and new ones.

There is so much pain and fear around, thick as a fog that obscures our vision, swirling like a monster tentacle that wrapped itself around our necks and torso, suffocating us.

I want to say it's going to get better. I want to say don't lose hope. I want to say they will be saved.

But I can't.

I don't know if it's going to get better. It's selfish to ask them to hold on to their shitty condition for the sake of 'hope'. And will any of us really go to get saved?

But I am here. I see you. You are not invisible. A little of me stays with you when I see you. 

This may sound like empty words, and nothing will change. And it is probably right.

But I am here. And just like me watching Childish Gambino's This is America, I am watching you. Thinking of you. Praying for you. And if I can, reach out my hands to you. I am here.

Friday, May 4, 2018

I'm Fine



"I'm always fine. Don't worry," I texted my friend with a smile emoji. She, in return, send back the emoji with a single tear. It hit me hard. How many times already I said that lie?

Yesterday, SAD/Seasonal depression hit me so hard that I have to stay at home. As an added precaution, I turned off my phone. Luckily my fridge is well-stocked with food that I only need to microwave them. There I was, spending the day in my room completely cut from people.

And it was great. I read on people's feeling and emotion too well, even over the virtual connection. This detachment allows me to ground myself, to be just with myself. Surprisingly, it also gives me the chance to mourn, as I just got my heart broken the night before.

I only realized now that I never had the chance to mourn my marriage. Got kicked out of the apartment, was back working two days later. Find out he was cheating, at work two days later. Move out and finalizing divorce, was back the next day. It's always the same lie: "I'm fine. Don't worry."

A part of me is doing that because a lot of people freaked out when I broke down. A lot of people care about me, and I really don't want them to worry. A part of me is doing that because it is too hard to face reality that, in fact, it really breaks me down.

My ex-husband's not worth it anyway, I told myself. I am stronger than that, I convinced myself. I am not going to let him break me down, I exclaimed defiantly to myself. But he's worth it to me. I am allowed to cry, to be sad, to mourn. And yes, it really did break me down.

When I sat in my room yesterday, among the blasts of battle cries from Age of Empire, I mourned. The sadness I feel when my heart got broken this time was painful, but in no way compare to the pain I felt two years ago. Even so, I am grateful for this chance of mourning, this chance of proper goodbye and adequate closure.

My non-relationship relationship ended. And it's okay. I made my choices, and so did he. The beautiful memories will always be there for me, the gentle embraces and delightful moments. It didn't work out like I would have wanted to, and it's okay. Not all puzzle pieces fit together. 

I reach for my phone and check his social media. I read his message to me.  At least this one was more genuine and more thoughtful than the spiteful ones from my ex, and I really appreciate that. I look at his other posts, at his profile pic. I smiled warmly. I will be fine. Don't worry.

Search This Blog