AdSense Page Ads

Thursday, April 5, 2018

Menjanda di Los Angeles



Hari ini di Indonesia sudah Jumat, tapi di Los Angeles masih Kamis malam. Saya menulis ini di bis sambil menempuh perjalanan pulang.

30 menit lebih berjalan kaki ke halte bis. 3x ganti bis. 3 jam total perjalanan. 56 km. Satu arah. Bolak balik ya semua ini dikali dua. Tiap hari, Senin sampai Jumat. Bangun jam 5.30, sampai apartemen jam 8.30.

Sebenarnya hanya sekitar 1-1.5 jam kalau naik mobil, tapi saya nggak punya mobil hahaha. Biaya punya mobil di Amrik sangat tinggi, dan karena saya tinggal di tengah kota parkirnya sulit dan mahal.

Tapi biar saya nggak punya mobil, tetap lho saya bisa beredar. Teman sampai bingung bagaimana jadwal sosial saya bisa padat dan menyeluruh padahal dengan transportasi publik+taksi online.

Jawabannya: karena saya ingin. Dunia luas gitu lho, mumpung masih bisa. Dan karena saya yakin saya bisa. Kalau saya nggak tahu, ya cari tahu. Semua pasti ada jalannya.

Hidup di Amerika itu nggak gampang. Mengurus dokumen keimigrasian, KTP, buka rekening bank, kartu kredit, mengurus asuransi, segala macam deh. Ini ditambah kendala bahasa ya.

Banyak yang harus saya pelajari sendiri, apalagi saat hubungan saya kandas. Untungnya dari sebelum pindah saya mempelajari proses birokrasi disini, sehingga saya tidak kaget atau hilang arah.

Jangan ditanya babak belurnya saya saat perceraian terjadi, baik emosional maupun finansial. Teman dekat saya tahu betapa berantakan dan buruknya saat perceraian saya.

Tapi disinilah saya, 14000 kilometer jauhnya dari rumah. Saya memutuskan kesini karena jatuh cinta dengan seorang pria. Saya memutuskan tinggal karena jatuh cinta dengan kota ini. Nggak kenapa.

Manusia ibarat bibit bunga yang beterbangan di musim ini. Beberapa dari kita akan jatuh di tanah yang subur dan kaya gizi, namun akan ada yang jatuh di tempat yang gersang. Tapi bukan berarti kita tidak bisa mekar.

Saya bukan orang kaya. Saya nggak cantik atau seksi. Saya bukan anak pejabat. Saya hanyalah wanita Indonesia biasa. Tapi saya bahagia. Kerasnya hidup tidak bisa merebut kebahagiaan saya.

Dan saya harap anda pun bahagia. Anda yang mungkin sedang putus asa. Anda yang mungkin merasa hidup tidak ada artinya. Anda yang mungkin muak dengan segala derita anda.

Ya. Saya harap anda akan bisa menemukan kebahagiaan anda. Saya harap anda akan mampu mengalahkan medan dan mekar dengan indahnya, walau tampak tak mungkin, walau tampak sulit.

Selangkah demi selangkah terus menapak maju, fokus pada tujuan anda. Bagai bibit bunga yang memanjangkan akarnya dan berjuang untuk merekah tanah demi melihat matahari.

Pasti bisa. Anda pasti bisa. Selamat berakhir pekan, para pembaca tersayang.

Wednesday, April 4, 2018

A Witch in LA



When I told people here about our witchy ways back home, I can see their eyes drifting uneasily and their manner changed. There will be some vague good-willed "That's nice", or an abrupt change of subject.

The incense burning and offerings, as well as chant and prayers to the ancestors, do not belong in the current world. And especially
not sacrifices or ghosts and ghouls. Magic is not real. It is spooky.

Yet growing up among ancient traditions and beliefs allow me to see magic in every way. I can't see spirits or things like that, nor can I 'feel' the energy or envision the chakras and auras.

It's the laughter of the Uber driver as we shared silly drunk stories of Uber passengers throughout the drive home, making my
disastrous 4-hour commute suddenly feel a lot nicer.

It's the sight of wild flowers growing, bringing up memories of the old storybook about flower parades during springtime. It's also the sign of life, the touch of nature herself.

It's me crying over Moana's climax scene, touched by the very women-empowerment storyline and the hard, hard effort on making
thebeautiful movie a reality.

It's sensing hard effort, feeling, emotion of everything around you, wrapped in them like a storm of cherry blossom petals. Everything is so real, yet so surreal.

Everything around me is magical. Me, the living, breathing me; this complex mechanism of a human body that my soul ride in is magical. Every breath I inhale and exhale, every beat of my heart and every twitch of the muscle is magical.

The magic is in us. It's the ability to breathe life in other people, as well as to take it, just by our action and thoughts. The smile that lifts, the words that strike, we are capable of both and so much more.

Life is tough, and dull, and boring, and painful. It's the color of grey upon grey, all the way till the black shroud of death comes. But is it really? Is it not bright colored, in every imaginable way possible?

Feel the things around you. Use all your five senses and let your heart tell you more. The world, and life, is magical. Be magical, too.

Monday, April 2, 2018

Tidak Selebar Layar Henpon



Saya dulu kerja jadi sales wedding photography di Bali. Ingat banget pernah dapat klien dari Huntington Beach, California. Iseng nge-google dan tempat itu terlihat indah banget. Laut biru, cowok ganteng surfing, semua terlihat sempurna.

Dua tahun kemudian saya tiba di Amerika dan ternyata tinggal di Huntington Beach dong. Nyampenya tengah malam, jadi nggak bisa lihat apa-apa. Paginya saya dengan semangat menuju pantai dan ternyata tertutup kabut.

Serius lho, itu sudah jam 8an dan masih tertutup kabut. Mana pernah pula kita orang tropis lihat kabut di pantai. Jadilah saya sibuk meratap: "Ini apaan siiiih???" Bahkan setelah matahari bersinar pun tetap lho suhunya dingin.

Weekend kemarin saya main kepantai, dan teringat saat pertama itu. Venice Beach, Santa Monica Beach, dan Sunset Beach yang saya datangi semua dingin. Jangan harap bisa berenang, seperti masuk ke air dari kulkas.

Tapi saya yang dulu nggak tahu. Kalau saya nggak kesini mengalami sendiri mungkin saya nggak akan tahu. Kalau anda nggak rajin banget baca tulisan saya (#terimakasih) anda mungkin nggak tahu dan terus berpikir lagu Katy Perry soal California Girls itu benar. Padahal nggak.

Kata orang jangan sampai kurang piknik, kata orang banyak travelling agar tambah wawasan. Tapi piknik dan travelling itu kan nggak harus secara fisik. Bisa kok jalan-jalan secara online agar tahu lebih banyak hal. Dunia bisa lho cuma selebar layar henpon.

Tapi seperti travelling dan piknik secara fisik, via henpon pun terbatasi oleh apa yang kita pilih untuk nikmati. Kalau yang kita rajin baca tentang gossip artis, ya gossip artis terus yang keluar di pilihan berita atau linimasa kita.

Terkadang ini bukan pilihan kita pribadi, terkadang ini algoritma/komputasi komputer berdasarkan berita yang pernah kita baca. Semua social media dan situs berita mengandalkan ini, karena kalau anda cocok dengan kontennya anda akan terus memakai akun/situs tersebut.

Makanya bagi yang membaca tentang Indonesia bubar, terus mendapat berita baru tentang Indonesia bubar. Sebaliknya yang membaca tentang Indonesia maju, terus mendapat tentang Indonesia maju. Kita ya apa yang kita pilih.

Nggak hanya situs berita/social media, siapa kita juga ditentukan oleh siapa teman kita. Gencaran broadcast via Whatsapp dan Line, misalnya. Jadilah yang negatif makin negatif, dan yang positif nggak bisa melihat kenyataan.

Padahal ternyata salju di Gaza itu fenomena biasa. Ternyata pantai di barat Amerika (Los Angeles dan sekitarnya) terlalu dingin untuk direnangi. Ternyata banyak juga California Girls yang nggak ala supermodel.

Satu-satunya cara agar travelling dan piknik itu bermanfaat adalah dengan mencoba sesuatu yang nggak umum. "Off the beaten path" kalau istilah sini. Diperlukan keberanian dan kelapangan hati untuk menemukan dan mengakui sesuatu yang berbeda.

Kelapangan hati? Oh iya. Nggak akan ada yang berubah dari cara pikir anda bila anda tidak mau merubahnya. Bila anda percaya seseorang jelek dan tidak baik, misalnya, anda akan terus berpikir seperti itu walau seribu bukti menyatakan sebaliknya.

Hasil akhir? "Gila, gue baru tahu lho!" Dan anda pun mendapat pengetahuan baru, anda lebih bijak daripada waktu anda memulai petualangan tersebut. Padahal anda hanya memilih main ke warteg dibelakang hotel, misalnya, dan bukan duduk aman dan nyaman di restoran hotel.

Di dunia maya pun seperti itu. Diperlukan keberanian, keingintahuan, dan kelapangan untuk tahu lebih banyak tentang dunia kita. Kalau tidak, anda akan terus berpikir unta memiliki satu punuk, padahal ada jenis unta yang punya dua punuk. 

Melangkah dari jalur yang sudah ada, dari rasa aman itu sangat menakutkan. Ngapain sih? Toh kita sudah nyaman disini. Tapi keingintahuan itulah yang membawa manusia ke dunia sekarang ini, dengan berbagai inovasi manusia.

Jadi jangan takut ya untuk ingin tahu, jangan takut untuk ingin melihat lebih banyak, jangan takut menantang diri untuk melihat dari sudut yang berbeda. Karena dunia tidak hanya selebar layar handphone, dan jelas tidak hanya sebesar grup Whatsapp alumni SMA.

Search This Blog