And if anyone dares to tell me which "certain names" of men I must marry, I shall shove my beautiful blazing red kinky high heels all the way down to them throats :).
Maaf, tulisan saya kali ini dibuka dengan emosi jiwa. Saya baru saja tahu kalau salah satu "The Men I Must Marry" ato TMIMM yang ngedeketin saya ternyata punya anak istri. Ouch. Luckily saya juga ga peduli sama dia, cuma tetap saja rasanya jengkel. Sudah tahu kaum saya sulit sekali mencari pasangan, mbok ya jangan pake dimainin gitu, walau cuma usaha sekalipun. Bayangin, cuma 2% penduduk Bali yang ceritanya "saudara saya", trus kurangi lagi dengan wanitanya, lalu kurangi dengan pria yang sudah berkeluarga, kurangi lagi pria yang ga masuk kriteria umur (terlalu muda atau terlalu tua). Hasil akhirnya, TMIMM yang eligible tuh lebih sedikit dari Jalak Bali di Penangkaran. (Hmm... ide bagus... Apa kita biakkan saja mereka disana dan kita brainwash ya? evil plotting mode on).
Saya rasa banyak kaum saya (atau biar fair saya akan sebut dengan TWTSM - The Women They SHOULD Marry) yang juga berpikir kalau hal ini agak ga adil, namun jarang yang berani speak out. Relax girls, I'm here for you ;)
Sudah TMIMM itu sedikit, yang brengsek seperti pria diatas pun banyak. Dan ga semua TMIMM itu peduli sama TWTSM, kalau nemu yang oke dan cocok, biar ga TWTSM pun okelah. Toh mereka ga (terlalu) kena masalah kalau ga ngambil TWTSM. Nah kalau kami? Bukan hanya dibuang, keluarga pun seolah tercemar dan terCoreng (juga ter-Bobo dan ter-Upik... Nah, keluarga Bobo dong wkwkwkw). Kaya menjadi sedikit harimau bali betina yang tersisa, namun harimau bali jantannya malah kawin ma yang lain spesies. Lama kelamaan ya bakalan punah secara genetis. Bukan hanya ga adil, ini juga membahayakan.
Jawaban yang selalu diulang kalau ada yang ngajuin protes begini: "Kalau perempuan kawin keluar, hubungan darahnya putus. Karena laki-laki yang pegang nama keluarga, jadi wajar saja dan ga masalah dia kawin sama siapa." Hello? Belajar biologi ga sih? Anak itu kromosomnya gabungan dari kromosom orang tua. Kalau Ibunya hebat bapaknya biasa saja, ya anaknya bisa tetap hebat ikut darah/gen ibunya. Ini berlaku sebaliknya juga. Lagipula, kayanya banyak yang lupa maraknya perselingkuhan. Anak seorang pria belum tentu anak pria itu, namun anak seorang wanita sudah pasti anak wanita itu. Jadi yeah, kalau alasannya hubungan darah justru lebih masuk akal kalau bertaruh pada perempuan daripada laki-laki.
Saya ga pengen bikin huru-hara atau berusaha bilang sistem ini sucks. Oke, sistem ini memang sucks hehehe. Yang saya inginkan disini adalah kesadaran kaum saya, TWTSM bahwa mereka pun punya hak untuk memilih pasangannya. Wanita sekarang sudah maju. Kita sanggup berperan dalam mencari nafkah, dalam urusan rumah tangga, dalam mencinta. Kita setara. Walau hampir ga ada (oke, memang ga ada) TMIMM di sini yang menganggap saya "lulus kriteria", saya beruntung (pernah) tinggal dilingkungan yang menghargai saya. Saya mampu berkarya maksimal di tempat kerja, saya disayang dan dihargai oleh teman-teman saya (yang oke banget, baik secara karir maupun kelakuan). Saya berharga. Apapun yang TMIMM pikir tentang saya, saya berharga. Mungkin tidak dalam standar mereka, tapi justru dengan standar lain (yang mungkin lebih tinggi). Dan saya yakin saudara2 saya, para TWTSM lainnya juga merasakan hal yang sama. So don't lose hope, ladies. We're good, you know, we're good.
Bila ditanya, apakah saya akan terus berjuang mencari TMIMM, saya tidak tahu. Yang saya kejar sekarang adalah calon suami yang cukup berpikiran terbuka dan menerapkan konsep Naradeswari: Lelaki mencari perempuan yang bisa mengangkat derajat suami atau menjadi kekuatan suami. Bila ada pria yang mempercayai kekuatan wanita seperti itu, maka dia akan sanggup menghargai wanita. That's my man. Kalau kebetulan menemukan TMIMM seperti itu syukur banget, tapi kalau ga ketemu (atau ga ada) ya apa boleh buat. Sama halnya TMIMM yang bisa memilih untuk mengambil pasangan yang terbaik menurut mereka, TWTSM juga punya hak untuk mengambil pasangan yang terbaik menurut mereka. Karena wanita itu berharga. Remember that ladies!!!
PS: Buat para TMIMM yang ngebaca dan mau protes, tolong luangkan waktu untuk bercermin dan merenung sejenak, benarkah anda sudah melakukan yang terbaik untuk TWTSM? Kalau belum, tolong coba be a better man sebelum protes, oke? ;)
Inget, TWTSM itu bisa aja adik/kakak kalian, ibu kalian, cucu kalian. Don't make them suffer ya....
Update: read more here
A little bit of this, a little bit of that, and all the things the cat sees along her way
AdSense Page Ads
Wednesday, October 20, 2010
Monday, September 13, 2010
Stop hurting me, Please
"Tau kalau org yg disayang terus nyakitin dia,tp ttp bertahan dan ttp sayang. Kesetiaan atau kebodohan? Please vote."
Kalimat diatas merupakan status FB saya kemarin, dan mendapat tanggapan yang cukup hangat walau entah kenapa di akhir-akhir malah diskusinya bergeser menjadi "apakah harus memaafkan orang yang menyakiti kita". Menurut saya, baik masalah bertahan, tetap sayang, memaafkan etc itu pilihan. Tapi buat saya menyakiti orang itu juga pilihan, dan itu ga pernah dibenarkan.
Manusia adalah mahluk sosial. Ini berarti manusia akan terus berinteraksi dengan sesamanya. Dengan berinteraksi, maka pasti bisa terjadi "bahagia" (e.g. pasangan tersayang) atau "sakit/tidak bahagia" (e.g. atasan yang menyebalkan). Satu-satunya cara lepas dari ini ya dengan tidak berinteraksi sama sekali, yang hampir-hampir tidak mungkin dalam dunia global ini. Jadi yang bisa dilakukan adalah berusaha membuat interaksi ini selancar dan senyaman mungkin. How? Dengan menyadari bahwa kita ga punya hak menyakiti orang lain, dan berusaha ga nyakitin orang lain. Kadang-kadang menyakiti seseorang memang tak terhindarkan, namun ini juga masih harus ditimbang. Mengambil kerjaan/kuliah yang tidak disetujui orang tua, namun yakin bahwa dalam jangka panjang hal ini akan justru membantu orang tua, menurut saya why not? Minimum pain tapi maximum gain itu acceptable. Tapi maximum pain without minimum (oer even any) gain, itu ga bener.
Saya melihat banyak orang yang terjebak dalam situasi ini, terutama domestic abuse. Pasangan yang selalu menghina dan merendahkan hanya karena hal sepele, ABG-ABG yang tampaknya ga peduli orang serumah ga makan karena lebih baik uang beras dipakai untuk beli pulsa, Orang tua yang (walau niatnya baik) namun terus membandingkan anak dan membuatnya merasa rendah dan tertekan, ini hanya sebagian kecil yang bisa terjadi. Is it ok? No, it's not. Ada cara yang lebih baik untuk mengkomunikasikan apa yang kita rasakan kepada orang lain, dan bila orang lain yang kita ajak berkomunikasi menjadi terluka karenanya, itu berarti komunikasi kita salah.
Satu hal yang paling saya tidak suka adalah orang-orang yang walaupun tahu bagaimana teman/saudaranya tersakiti namun terus berkata "Ga papa, tahanin aja. Demi pasangan / Demi anak / demi orang tua.." Demi Tuhan, stop it! Love never hurts. Kalau sudah merasa terluka/tersakiti, ya ga "love" lagi bukan? Saya selalu dengan senang hati menginfokan teman-teman saya "Kalau kamu ngerasa sakit, pergi." Saya kehilangan banyak teman dengan cara ini, karena saya ga punya kesabaran mendengarkan curhat orang yang dikhianati berkali-kali, tapi saat saya suruh dia tinggalin pasangannya selalu dijawab "But I love him/her!". Sadis? Mungkin. Tapi saya juga ga mau orang yang saya sayang terus menangis, terus tersakiti. It hurts me as well.
Ga mudah untuk walk away saat kita terus tersakiti, apalagi bila pelakunya adalah orang yang kita sayang. Terkadang kita sampai berpikir (sadar ataupun tidak) bahwa kita memang pantas disakiti, jadi terima aja. Tolong ingat bahwa ga da yang berhak nyakitin siapapun, baik pasangan, orang tua, anak, teman kerja, ga ada. Setiap manusia berhak untuk bahagia, berhak untuk bebas dari rasa sakit dan rasa takut. Jadi, kalau ada orang dekat yang dalam posisi ini, dan anda cukup sayang dia untuk mencoba mengambil tindakan, please hold him/her close and say: "Saya tahu kamu sakit. Saya tahu ini berat. Namun ga ada yang berhak menyakiti kamu. Kamu berhak bahagia. Dan apapun keputusan kamu, saya akan ada disini buatmu." Ada hal-hal yang ga bisa dirubah, salah satunya adalah keputusan orang mengenai dirinya sendiri. Kita cuma bisa berdoa dan membuatnya mengerti bahwa dia berhak bahagia dan lepas dari rasa sakit. Kalau semua orang bahagia dan tidak menyakiti orang lain, then we'll truly have heaven on earth, won't we?
Kalimat diatas merupakan status FB saya kemarin, dan mendapat tanggapan yang cukup hangat walau entah kenapa di akhir-akhir malah diskusinya bergeser menjadi "apakah harus memaafkan orang yang menyakiti kita". Menurut saya, baik masalah bertahan, tetap sayang, memaafkan etc itu pilihan. Tapi buat saya menyakiti orang itu juga pilihan, dan itu ga pernah dibenarkan.
Manusia adalah mahluk sosial. Ini berarti manusia akan terus berinteraksi dengan sesamanya. Dengan berinteraksi, maka pasti bisa terjadi "bahagia" (e.g. pasangan tersayang) atau "sakit/tidak bahagia" (e.g. atasan yang menyebalkan). Satu-satunya cara lepas dari ini ya dengan tidak berinteraksi sama sekali, yang hampir-hampir tidak mungkin dalam dunia global ini. Jadi yang bisa dilakukan adalah berusaha membuat interaksi ini selancar dan senyaman mungkin. How? Dengan menyadari bahwa kita ga punya hak menyakiti orang lain, dan berusaha ga nyakitin orang lain. Kadang-kadang menyakiti seseorang memang tak terhindarkan, namun ini juga masih harus ditimbang. Mengambil kerjaan/kuliah yang tidak disetujui orang tua, namun yakin bahwa dalam jangka panjang hal ini akan justru membantu orang tua, menurut saya why not? Minimum pain tapi maximum gain itu acceptable. Tapi maximum pain without minimum (oer even any) gain, itu ga bener.
Saya melihat banyak orang yang terjebak dalam situasi ini, terutama domestic abuse. Pasangan yang selalu menghina dan merendahkan hanya karena hal sepele, ABG-ABG yang tampaknya ga peduli orang serumah ga makan karena lebih baik uang beras dipakai untuk beli pulsa, Orang tua yang (walau niatnya baik) namun terus membandingkan anak dan membuatnya merasa rendah dan tertekan, ini hanya sebagian kecil yang bisa terjadi. Is it ok? No, it's not. Ada cara yang lebih baik untuk mengkomunikasikan apa yang kita rasakan kepada orang lain, dan bila orang lain yang kita ajak berkomunikasi menjadi terluka karenanya, itu berarti komunikasi kita salah.
Satu hal yang paling saya tidak suka adalah orang-orang yang walaupun tahu bagaimana teman/saudaranya tersakiti namun terus berkata "Ga papa, tahanin aja. Demi pasangan / Demi anak / demi orang tua.." Demi Tuhan, stop it! Love never hurts. Kalau sudah merasa terluka/tersakiti, ya ga "love" lagi bukan? Saya selalu dengan senang hati menginfokan teman-teman saya "Kalau kamu ngerasa sakit, pergi." Saya kehilangan banyak teman dengan cara ini, karena saya ga punya kesabaran mendengarkan curhat orang yang dikhianati berkali-kali, tapi saat saya suruh dia tinggalin pasangannya selalu dijawab "But I love him/her!". Sadis? Mungkin. Tapi saya juga ga mau orang yang saya sayang terus menangis, terus tersakiti. It hurts me as well.
Ga mudah untuk walk away saat kita terus tersakiti, apalagi bila pelakunya adalah orang yang kita sayang. Terkadang kita sampai berpikir (sadar ataupun tidak) bahwa kita memang pantas disakiti, jadi terima aja. Tolong ingat bahwa ga da yang berhak nyakitin siapapun, baik pasangan, orang tua, anak, teman kerja, ga ada. Setiap manusia berhak untuk bahagia, berhak untuk bebas dari rasa sakit dan rasa takut. Jadi, kalau ada orang dekat yang dalam posisi ini, dan anda cukup sayang dia untuk mencoba mengambil tindakan, please hold him/her close and say: "Saya tahu kamu sakit. Saya tahu ini berat. Namun ga ada yang berhak menyakiti kamu. Kamu berhak bahagia. Dan apapun keputusan kamu, saya akan ada disini buatmu." Ada hal-hal yang ga bisa dirubah, salah satunya adalah keputusan orang mengenai dirinya sendiri. Kita cuma bisa berdoa dan membuatnya mengerti bahwa dia berhak bahagia dan lepas dari rasa sakit. Kalau semua orang bahagia dan tidak menyakiti orang lain, then we'll truly have heaven on earth, won't we?
Monday, September 6, 2010
"Dayu jangan sedih lagi..."
"Dayu ga boleh pusing-pusing lagi ya..." kata seorang teman saya di telepon.
Saya sedang pusing sekali saat itu, dealing sama klien dan sama bos, pokoknya mumet banget sampai ga bisa tidur. And then he called and say the words that I wanted to hear...
Tenang, ini bukan cerita roman picisan kok, bahkan bukan roman sama sekali :D
Kalau ditanya, apa yang paling berharga buat diri anda? Harta benda? kekasih? anak/saudara/keluarga? Banyak jawabannya.
Kalau pertanyaannya diganti, apa yang paling harus didahulukan dan dibahagiakan? Apakah jawabannya akan sama dengan yang diatas? Buat penggemar setia CLAMP, pertanyaan ini ada dalam salah satu komik mereka. Jawabannya, yang harus dipentingkan, didahulukan dan dibahagiakan pertama adalah diri sendiri. Perlu di note bahwa didahulukan etc disini bukan berarti kita boleh semena-mena seenaknya sendiri (me important, saya penting!), justru harus berusaha mendahulukan diri sendiri demi orang/barang yang berharga buat kita...
Logikanya adalah, kalau kita tidak bahagia, bagaimana bisa membahagiakan orang lain? Kalau kita tidak menjaga diri, bagaimana bisa menjaga orang lain? Ini tampak irasional memang, dimana-mana first thing's first, dahuluin yang utama. Namun coba deh berpikir dengan logika ini. Berusaha menyenangkan pacar yang minta ditemenin jalan-jalan padahal badan lagi sakit, akhirnya besoknya beneran ambruk dan ga sanggup nolongin dia saat benar-benar perlu. Berusaha bersikap royal (dan loyal) sama keluarga padahal ga ada budget, akhirnya malah susah sendiri dan ga bisa ngasi saat bener-bener butuh, atau lebih buruk lagi, akhirnya malah balik minta bantuan keluarga. Susah kan kalau terlalu "ga egois" begini??
Coba juga berpikir, kalau kita segitu sayangnya sama sesuatu (atau seseorang) sampai kita ga pengen dia sakit/menderita, bukankah wajar bila ada orang yang merasa seperti itu juga terhadap kita? Saya menyadari hal ini saat saya baru putus dengan kekasih saya. Teman baik saya, melihat saya zombie-mode yang dipasangin keran air yang (nangis melulu), tiba-tiba memeluk saya dan menangis lebih sedih lagi, "Dayu ga boleh begini, aku sedih ngeliat Dayu begini...". Saat itu saya benar-benar sadar, saya bukan hanya milik diri saya sendiri dan Tuhan. Saya juga milik orang-orang yang menyayangi saya. Dan ya, ga adil kalau saya drama mode dan histeris dan membuat mereka jadi panik/sedih juga.
Saya berusaha mengutamakan diri saya sendiri, karena bila terjadi sesuatu terhadap saya maka saya pun tak bisa menjaga orang-orang yang saya cintai. Akan ada masa dimana saya harus mengambil risiko dan melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan diri saya, namun hanya bila itu adalah satu-satunya cara, dan saya tahu ada yang bisa menjaga mereka dengan lebih baik. Maybe I'm crazy, tapi saya ga bisa dan ga mau melihat orang yang saya cintai terluka, dan yeah, mereka akan terluka bila saya terluka. So yeah, take good care of yourself, folks!
Saya sedang pusing sekali saat itu, dealing sama klien dan sama bos, pokoknya mumet banget sampai ga bisa tidur. And then he called and say the words that I wanted to hear...
Tenang, ini bukan cerita roman picisan kok, bahkan bukan roman sama sekali :D
Kalau ditanya, apa yang paling berharga buat diri anda? Harta benda? kekasih? anak/saudara/keluarga? Banyak jawabannya.
Kalau pertanyaannya diganti, apa yang paling harus didahulukan dan dibahagiakan? Apakah jawabannya akan sama dengan yang diatas? Buat penggemar setia CLAMP, pertanyaan ini ada dalam salah satu komik mereka. Jawabannya, yang harus dipentingkan, didahulukan dan dibahagiakan pertama adalah diri sendiri. Perlu di note bahwa didahulukan etc disini bukan berarti kita boleh semena-mena seenaknya sendiri (me important, saya penting!), justru harus berusaha mendahulukan diri sendiri demi orang/barang yang berharga buat kita...
Logikanya adalah, kalau kita tidak bahagia, bagaimana bisa membahagiakan orang lain? Kalau kita tidak menjaga diri, bagaimana bisa menjaga orang lain? Ini tampak irasional memang, dimana-mana first thing's first, dahuluin yang utama. Namun coba deh berpikir dengan logika ini. Berusaha menyenangkan pacar yang minta ditemenin jalan-jalan padahal badan lagi sakit, akhirnya besoknya beneran ambruk dan ga sanggup nolongin dia saat benar-benar perlu. Berusaha bersikap royal (dan loyal) sama keluarga padahal ga ada budget, akhirnya malah susah sendiri dan ga bisa ngasi saat bener-bener butuh, atau lebih buruk lagi, akhirnya malah balik minta bantuan keluarga. Susah kan kalau terlalu "ga egois" begini??
Coba juga berpikir, kalau kita segitu sayangnya sama sesuatu (atau seseorang) sampai kita ga pengen dia sakit/menderita, bukankah wajar bila ada orang yang merasa seperti itu juga terhadap kita? Saya menyadari hal ini saat saya baru putus dengan kekasih saya. Teman baik saya, melihat saya zombie-mode yang dipasangin keran air yang (nangis melulu), tiba-tiba memeluk saya dan menangis lebih sedih lagi, "Dayu ga boleh begini, aku sedih ngeliat Dayu begini...". Saat itu saya benar-benar sadar, saya bukan hanya milik diri saya sendiri dan Tuhan. Saya juga milik orang-orang yang menyayangi saya. Dan ya, ga adil kalau saya drama mode dan histeris dan membuat mereka jadi panik/sedih juga.
Saya berusaha mengutamakan diri saya sendiri, karena bila terjadi sesuatu terhadap saya maka saya pun tak bisa menjaga orang-orang yang saya cintai. Akan ada masa dimana saya harus mengambil risiko dan melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan diri saya, namun hanya bila itu adalah satu-satunya cara, dan saya tahu ada yang bisa menjaga mereka dengan lebih baik. Maybe I'm crazy, tapi saya ga bisa dan ga mau melihat orang yang saya cintai terluka, dan yeah, mereka akan terluka bila saya terluka. So yeah, take good care of yourself, folks!
Subscribe to:
Posts (Atom)