Lelaki muda itu menunduk pasrah. Dia yang parasnya begitu menawan, yang membuat para wanita histeris hanya dengan kehadirannya, kali ini berharap ia tak setampan itu.
Ruang tamu itu hening, walau kedua orang tuanya duduk di sofa berhadapan dengannya. Isak tangis ibunya sesekali terdengar, yang walaupun lirih terasa seperti dentuman meriam di telinganya.
"Pah..." Ia memberanikan diri membuka percakapan. Ayahnya hanya diam, dengan pandangan mata yang menusuk. "Pah, Raden bisa jelaskan..."
"Apa yang mau kamu jelaskan?" Tukas ayahnya. Ibunya menangis lebih keras.
"Ini tidak seperti yang Papa pikir."
"Memang kamu tahu Papa pikir apa?"
Ia menunduk kelu dan menyumpahi dirinya yang terlahir rupawan. Ia menelan ludah.
"Aku tidak meniduri Melati." katanya dengan tegas, bersyukur bahwa ia tidak membasahi celananya.
Ibunya terisak makin tidak terkendali. Ayahnya masih menatapnya dengan amarah yang tak tertutupi.
"Tiga orang, Raden. Tiga orang yang melihat kamu telanjang di tempat tidur bersama Melati," bisik ayahnya. Ia pun panik.
"Pah, itu teman Melati semua! Raden bahkan tidak pernah sekamar dengan Melati!!"
"Diam kamu!!" Suara tamparan bergema kencang di ruang tamu.
"Kamu membuat malu keluarga!" Suara tamparan lagi.
"Beraninya kamu meniduri seorang wanita tanpa menikah! Binatang apa kamu?" Suara tamparan lagi, kali ini berulang kali.
"Cukup, Pah," seru ibunya tegas. "Bila berbekas, semakin buruk kita di mata tetangga."
Suara nafasnya yang menahan tangis dan sakit memenuhi ruangan, sebuah melodi tragis yang bercampur dengan suara nafas ayahnya yang menahan amarah.
"Raden," panggil ibunya dingin, "Kamu tahu kamu itu apa?"
Ia tidak sanggup menjawab diantara kesakitan yang ia rasakan. "Saya laki-laki, Mah," ujarnya lirih.
"Laki-laki. Kamu laki-laki. Sumbangsihmu pada dunia hanya membuahi dan menafkahi."
Ia menangis pilu. Ia tahu apa yang akan ibunya katakan.
"Papa Mama membesarkanmu agar kamu bisa menjadi pasangan bagi wanita yang baik, yang mampu melahirkan dan membesarkan anak-anak yang baik pula."
Airmatanya makin tak terbendung. Ia telah gagal sebagai anak.
"Kami menyekolahkanmu agar kamu bisa cukup pantas menjadi seorang suami, yang mampu menafkahi dan merawat keluargamu. Kamu hanya harus menjaga kehormatanmu, kehormatan keluargamu, dengan tidak berlaku seperti binatang."
"Mah, Melati bohong!!" Teriaknya.
"Diam kamu! Beraninya kamu berteriak pada saya, ibumu!!!" Jerit ibunya.
"Kamu hanya harus mempertahankan kehormatanmu, karena hanya itu yang bisa kamu persembahkan sebagai bukti harkatmu dihadapan calon pasanganmu!"
"Mah, Melati bohong!!!!!"
"Dan kamu gagal!!!! Kamu gagal!!!!!!"
Mereka berdua terisak. Sang Ibu dalam amarah, ia dalam kepahitan.
"Sekarang semua akan berpikir Papa Mama tidak sanggup mendidik anak. Anjing saja bisa diajar untuk tidak makan yang bukan haknya, kamu bahkan tidak bisa menahan nafsumu."
Ia terisak. Kekecewaan ibunya begitu dalam ia merasa lebih terluka daripada terkena tamparan keras ayahnya.
"Cuci mukamu dengan air dingin," perintah ibunya. "Kamu akan naik pelaminan bersama Melati akhir minggu ini. Jangan sampai merahnya membekas."
"Mah, jangan!!" serunya panik, "Mama nggak bisa begini sama Raden!! Raden mohon, Mah!!"
"Raden sudah menjaga kehormatan Raden demi Ratna. Kami sudah berencana menikah! Raden mohon Mah, jangan paksa Raden menikahi Melati!!"
Ibunya hanya berdiri diam tanpa ekspresi.
"Pah, tolong Pah. Tolong Raden!! Melati bohong!! Melati sengaja menyebarkan berita ini karena tahu Ratna lah yang Raden cintai. Tolong Raden, Pah!!!"
Ayahnya melihatnya dengan sedih.
"Kalaupun benar seperti yang kamu bilang," kata ayahnya, "tidak ada bedanya. Semua orang sudah mencapmu kotor dan tidak ada harganya."
"Tapi Ratna... Ratna tidak akan melihat Raden seperti itu. Ratna akan mengerti apa yang terjadi."
"Dan kamu pikir keluarga Ratna mau menerima kamu yang ternoda begini?" Tawa ibunya histeris. "Kalaupun Ratna mau menerima, kamu rela dia dicibir dan digunjingkan seumur hidup karena menerima barang bekas?"
Ia terdiam. Terdiam. Lalu ia menjerit frustrasi. Terus. Terus. Terus.
Ibunya beranjak pergi tanpa menoleh pada anak satu-satunya yang sekarang meringkuk di lantai, yang luka hatinya lebih menyakitkan daripada bibirnya yang berdarah dan pipinya yang penuh bekas tamparan.
Namun ayahnya tetap duduk di sofa, menunggu hingga teriakan dan isak tangis anaknya mereda sebelum beringsut duduk di lantai, membelai punggung dan kepala anak tercintanya.
"Nak," katanya pelan, "ini nasib kita sebagai lelaki. Kamu mungkin tidak mencintai Melati, tapi ini satu-satunya kesempatanmu untuk setidaknya hidup terhormat.
Papa tidak ingin kamu dikucilkan, dilecehkan, walau Papa yakin kamu berkata yang sebenarnya. Ini lebih baik daripada hidup sebagai pariah, sebagai orang buangan."
Ia terus terisak. "Ratna..." Bisiknya. "Ratna..."
Ayahnya mengusap airmatanya yang juga mengalir.
"Sabar ya nak. Alihkan cinta kasihmu yang tak sampai pada anak yang nanti akan kamu miliki bersama Melati. Inilah tugas mulia kita sebagai lelaki, menjaga dan merawat keluarga kita."
"Papa minta maaf," tambah sang ayah dengan suara tercekat, "Papa minta maaf karena tak mampu menjagamu dari dunia yang tak adil ini. Papa tak mampu memastikan kebahagiaan yang patut kamu dapatkan. Papa minta maaf, Raden. Maafkan papamu yang lemah ini."
Ia mengangkat kepalanya dan melihat ayahnya yang berurai air mata. Ia memeluk ayahnya dengan erat, dan mereka pun menangis berdua.