#thepromisering
Ini ceritanya cincin berlian total berat 0.1 karat, konon conflict free. Selama ini saya pikir kalau berlian harus yang gede kinclong, tapi ternyata banyak macamnya lho. Berlian ada juga yang model begini, cimut-cimut dan ga terlalu terang. Harganya jelas jauh lebih terjangkau daripada berlian tunggal, walau dengan total karat yang sama. Tapi tetap berlian juga judulnya, biarpun lebih mahal tiket masuk Disneyland daripada cincin ini.
Ini ceritanya cincin berlian total berat 0.1 karat, konon conflict free. Selama ini saya pikir kalau berlian harus yang gede kinclong, tapi ternyata banyak macamnya lho. Berlian ada juga yang model begini, cimut-cimut dan ga terlalu terang. Harganya jelas jauh lebih terjangkau daripada berlian tunggal, walau dengan total karat yang sama. Tapi tetap berlian juga judulnya, biarpun lebih mahal tiket masuk Disneyland daripada cincin ini.
Kalau disini, cincin seperti ini sebutannya promise ring. Berkat kampanye diam-diam pedagang berlian dan perhiasan DeBeer dari tahun 1939-1948, engagement ring atau cincin tunangan menjadi suatu kewajiban, dan kudu diamond atawa berlian. Kalau argumen jaman sekarang, cincin mahal membuktikan kesiapan si calon suami dan betapa berharganya si calon istri di mata calon suami. Wajar kalau akhirnya banyak yang memilih memberi promise ring terlebih dahulu, yang terjangkau tapi nggak malu-maluin juga. Biar gimana, nggak semua orang bisa beli cincin seharga minimal $300-$500, atau bahkan ribuan dolar untuk pasangannya.
Tanpa saya sadari, ini sebenarnya promise ring saya yang ketiga. Padahal saya nggak tahu soal tradisi promise ring lho. Promise ring pertama saya dari pacar pertama saya. Saya yang minta, karena saya ingin hubungan kita mengikat. Pacar saya manut, keluarga saya ngamuk. Maklum, beda kasta. Tapi cincin emas mungil bermotif rantai itu tetap saya pakai bahkan setelah kami putus, sampai pola rantainya membekas di jari saya yang terbakar matahari. Cincin itu baru saya lepas setelah saya menemukan calon suami saya, yang memberikan promise ring kedua.
Promise ring yang kedua ini simbolik banget: batu kelahiran saya dikelilingi batu kelahiran dia sebagai tanda bahwa saya pusat impian dan harapan dia. Makanya sampai menikah pun saya tetap pakai promise ring ini, karena janjinya bukan cuma sekedar menikah; sekarang walau saya punya promise ring yang baru, yang dari si Akang tetap melingkar manis di jari saya. Promise ring saya yang ketiga dan paling gres ini nemu di Amazon. Awalnya ngeliat daily deal engagement ring di app Amazon saya, lalu entah kenapa ngebet banget pengen beliin diri saya sesuatu yang berharga. Setelah browsing kanan kiri akhirnya ketemu cincin ini: bahan oke, kualitas lumayan, harga terjangkau. Apa yang dijanjikan kali ini? Kali ini saya menjanjikan diri saya bahwa semua akan baik-baik saja.
Walau hubungan saya dan mantan pacar serta hubungan saya dan suami baik-baik, promise yang dijanjikan lewat promise ring itu nggak serta merta terpenuhi. Sama pacar putus. Sama Akang juga kadang gonjang-ganjing banget. Bukan berarti waktu mereka ngasi promise ring itu niatnya setengah-setengah ya, tapi karena it takes two to tango. Nggak ada orang yang 100% mirip pemikirannya antara satu sama lain, apalagi dengan latar belakang keluarga dan pemikiran yang berbeda, clash/bentrokan mulai yang kecil sampai yang besar pasti terjadi. Belum lagi ekspektasi-ekspektasi yang tak terpenuhi dari kedua belah pihak, yang membuat saya terpekur dan bertanya: kok seperti ini sih jadinya. Padahal tahu kalau nggak ada yang namanya happily ever after, tapi tetap saja saat kebahagiaan terusik emosi biasanya langsung menggila. I deserve happiness and I will get it. Yang kalau dipikir-pikir jadi sebenarnya keliru banget berharap dari promise ring pertama dan kedua itu.
Kita tahu bahwa yang bisa diandalkan ya diri kita sendiri, that we can make a change. Kita juga sudah kenyang mendengar/membaca petuah motivasional soal mencintai diri sendiri/loving ourself. Tapi mungkin nggak banyak yang ngomongin soal trust ourselves. Percaya pada diri kita sendiri. Beda dengan pede yang lebih ke self-confidence, percaya pada diri kita sendiri itu lebih susah. We are our own worst enemy. Anda mungkin berani melakukan trust fall sama orang sekantor, tapi belum tentu anda berani melakukan trust fall sama kloningan anda. We are imperfect and we know that, and we hate that imperfection. Yang paling kenceng teriak "Ah, lu pasti ga bisa" itu biasanya diri kita sendiri kan?
Kadang yang begini korban lingkungan. Entah lingkungan yang terlalu tinggi standarnya atau yang dipenuhi orang-orang ga pede yang berusaha meninggikan derajatnya dengan menjatuhkan orang lain. Kadang yang begini memang terlahir seperti ini, karena nggak semua orang terlahir penuh percaya diri. Kadang memang terlahir beda aja: beda perspektif, beda pemikiran, yang membuat nggak bisa masuk/cocok di lingkungannya, ibarat segitiga di antara segiempat. Ini juga bikin down, karena merasa tidak diterima.
Padahal walau kita makhluk sosial, kita bisa berdikari. Kita memang harusnya berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Mau orang bilang atau berpikir apapun tentang kita, fungsi dasar hidup seperti mendapatkan pangan sandang dan papan akan tetap berjalan. Depresi berkepanjangan, suicidal dan homicidal adalah efek yang jelas tidak diinginkan; tapi bahkan saat itu terjadi kita masih bernafas, dan mungkin masih makan dan minum. It takes a lot for a person to just give on living like that, yang mendadak nggak mau makan nggak mau minum sampai meninggal. Insting pertahanan hidup kita kuat lho.
Tapi tahu itu satu hal, ngerasain itu hal lain. Kalau anda yang membaca ini merasa anda tidak percaya pada diri anda sendiri, saya mau bicara apapun ya percuma. Been there, done that. We messed it up once, we're bound to messed it up again. Kudu tahu diri akan segala kelemahan dan kekurangan kita, tapi terkadang terlalu tahu diri. Well, hidup nggak usah separno gitu. Seperti lagunya Shakira: "Don't beat yourself up, don't need to run so fast/sometimes we come last, but we did our best". Gimanapun juga, pada akhirnya kita harus hidup dengan diri kita sendiri kan?
Cincin ini promise ring saya untuk diri saya sendiri. Saya berjanji semua akan baik-baik saja. Sudah tak terhitung berapa kali saya bilang ini ke diri saya jaman dahulu kala, walau itu sebenarnya hanya kebohongan karena saya tahu semua tidak akan baik-baik saja. Saya pasrah mau dikasi apapun sama Tuhan, dan selalu menghibur diri dengan berpikir "Tuhan menguji ada alasannya, Tuhan nggak akan ngasi ujian yang aku nggak bisa lulus". Kedengarannya sih beriman, tapi kalau boleh jujur, itu saya yang tidak memiliki kepercayaan terhadap diri saya. Saya yang berpikir kalau saya tidak mampu lalu bersembunyi dibalik kata 'Pasrah'. Saya yang bukannya aktif memperbaiki keadaan malah menunggu sampai badai reda. Di tengah badai. Tanpa pelindung.
Sekarang, tiap kali saya galau saya melihat cincin ini dan tersenyum. I know I am gonna be just fine. Sudah sekian banyak yang saya alami sampai saya akhirnya bisa menerima diri saya apa adanya, bisa berdamai dengan diri saya; yang mana keduanya (penerimaan dan rasa damai) adalah dasar untuk trust/kepercayaan. Saya tahu saya akan baik-baik saja, karena saya percaya diri saya, siapa saya, akan bisa membuat semuanya baik-baik saja. Nggak lagi perlu berharap dari (janji-janji) orang lain, nggak lagi perlu ngumpet di balik 'kepasrahan'. I promise myself I will be fine, and I intend to keep that promise. I know I can keep that promise.
Have a good day/night, dear friends :) .
Tanpa saya sadari, ini sebenarnya promise ring saya yang ketiga. Padahal saya nggak tahu soal tradisi promise ring lho. Promise ring pertama saya dari pacar pertama saya. Saya yang minta, karena saya ingin hubungan kita mengikat. Pacar saya manut, keluarga saya ngamuk. Maklum, beda kasta. Tapi cincin emas mungil bermotif rantai itu tetap saya pakai bahkan setelah kami putus, sampai pola rantainya membekas di jari saya yang terbakar matahari. Cincin itu baru saya lepas setelah saya menemukan calon suami saya, yang memberikan promise ring kedua.
Promise ring yang kedua ini simbolik banget: batu kelahiran saya dikelilingi batu kelahiran dia sebagai tanda bahwa saya pusat impian dan harapan dia. Makanya sampai menikah pun saya tetap pakai promise ring ini, karena janjinya bukan cuma sekedar menikah; sekarang walau saya punya promise ring yang baru, yang dari si Akang tetap melingkar manis di jari saya. Promise ring saya yang ketiga dan paling gres ini nemu di Amazon. Awalnya ngeliat daily deal engagement ring di app Amazon saya, lalu entah kenapa ngebet banget pengen beliin diri saya sesuatu yang berharga. Setelah browsing kanan kiri akhirnya ketemu cincin ini: bahan oke, kualitas lumayan, harga terjangkau. Apa yang dijanjikan kali ini? Kali ini saya menjanjikan diri saya bahwa semua akan baik-baik saja.
Walau hubungan saya dan mantan pacar serta hubungan saya dan suami baik-baik, promise yang dijanjikan lewat promise ring itu nggak serta merta terpenuhi. Sama pacar putus. Sama Akang juga kadang gonjang-ganjing banget. Bukan berarti waktu mereka ngasi promise ring itu niatnya setengah-setengah ya, tapi karena it takes two to tango. Nggak ada orang yang 100% mirip pemikirannya antara satu sama lain, apalagi dengan latar belakang keluarga dan pemikiran yang berbeda, clash/bentrokan mulai yang kecil sampai yang besar pasti terjadi. Belum lagi ekspektasi-ekspektasi yang tak terpenuhi dari kedua belah pihak, yang membuat saya terpekur dan bertanya: kok seperti ini sih jadinya. Padahal tahu kalau nggak ada yang namanya happily ever after, tapi tetap saja saat kebahagiaan terusik emosi biasanya langsung menggila. I deserve happiness and I will get it. Yang kalau dipikir-pikir jadi sebenarnya keliru banget berharap dari promise ring pertama dan kedua itu.
Kita tahu bahwa yang bisa diandalkan ya diri kita sendiri, that we can make a change. Kita juga sudah kenyang mendengar/membaca petuah motivasional soal mencintai diri sendiri/loving ourself. Tapi mungkin nggak banyak yang ngomongin soal trust ourselves. Percaya pada diri kita sendiri. Beda dengan pede yang lebih ke self-confidence, percaya pada diri kita sendiri itu lebih susah. We are our own worst enemy. Anda mungkin berani melakukan trust fall sama orang sekantor, tapi belum tentu anda berani melakukan trust fall sama kloningan anda. We are imperfect and we know that, and we hate that imperfection. Yang paling kenceng teriak "Ah, lu pasti ga bisa" itu biasanya diri kita sendiri kan?
Kadang yang begini korban lingkungan. Entah lingkungan yang terlalu tinggi standarnya atau yang dipenuhi orang-orang ga pede yang berusaha meninggikan derajatnya dengan menjatuhkan orang lain. Kadang yang begini memang terlahir seperti ini, karena nggak semua orang terlahir penuh percaya diri. Kadang memang terlahir beda aja: beda perspektif, beda pemikiran, yang membuat nggak bisa masuk/cocok di lingkungannya, ibarat segitiga di antara segiempat. Ini juga bikin down, karena merasa tidak diterima.
Padahal walau kita makhluk sosial, kita bisa berdikari. Kita memang harusnya berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Mau orang bilang atau berpikir apapun tentang kita, fungsi dasar hidup seperti mendapatkan pangan sandang dan papan akan tetap berjalan. Depresi berkepanjangan, suicidal dan homicidal adalah efek yang jelas tidak diinginkan; tapi bahkan saat itu terjadi kita masih bernafas, dan mungkin masih makan dan minum. It takes a lot for a person to just give on living like that, yang mendadak nggak mau makan nggak mau minum sampai meninggal. Insting pertahanan hidup kita kuat lho.
Tapi tahu itu satu hal, ngerasain itu hal lain. Kalau anda yang membaca ini merasa anda tidak percaya pada diri anda sendiri, saya mau bicara apapun ya percuma. Been there, done that. We messed it up once, we're bound to messed it up again. Kudu tahu diri akan segala kelemahan dan kekurangan kita, tapi terkadang terlalu tahu diri. Well, hidup nggak usah separno gitu. Seperti lagunya Shakira: "Don't beat yourself up, don't need to run so fast/sometimes we come last, but we did our best". Gimanapun juga, pada akhirnya kita harus hidup dengan diri kita sendiri kan?
Cincin ini promise ring saya untuk diri saya sendiri. Saya berjanji semua akan baik-baik saja. Sudah tak terhitung berapa kali saya bilang ini ke diri saya jaman dahulu kala, walau itu sebenarnya hanya kebohongan karena saya tahu semua tidak akan baik-baik saja. Saya pasrah mau dikasi apapun sama Tuhan, dan selalu menghibur diri dengan berpikir "Tuhan menguji ada alasannya, Tuhan nggak akan ngasi ujian yang aku nggak bisa lulus". Kedengarannya sih beriman, tapi kalau boleh jujur, itu saya yang tidak memiliki kepercayaan terhadap diri saya. Saya yang berpikir kalau saya tidak mampu lalu bersembunyi dibalik kata 'Pasrah'. Saya yang bukannya aktif memperbaiki keadaan malah menunggu sampai badai reda. Di tengah badai. Tanpa pelindung.
Sekarang, tiap kali saya galau saya melihat cincin ini dan tersenyum. I know I am gonna be just fine. Sudah sekian banyak yang saya alami sampai saya akhirnya bisa menerima diri saya apa adanya, bisa berdamai dengan diri saya; yang mana keduanya (penerimaan dan rasa damai) adalah dasar untuk trust/kepercayaan. Saya tahu saya akan baik-baik saja, karena saya percaya diri saya, siapa saya, akan bisa membuat semuanya baik-baik saja. Nggak lagi perlu berharap dari (janji-janji) orang lain, nggak lagi perlu ngumpet di balik 'kepasrahan'. I promise myself I will be fine, and I intend to keep that promise. I know I can keep that promise.
Have a good day/night, dear friends :) .
No comments:
Post a Comment