Karena lagi seru disini perseteruan antara Ke$ha dan produsernya, saya jadi teringat kalau dulu sempat suka Ke$ha dan memutuskan mendengarkan album lamanya. Dan saya terlempar kembali ke dalam depresi dong.
Musik memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap manusia. Mendengar musik yang sama bisa membawa kembali bukan hanya kenangan, namun juga perasaan yang kita rasakan saat itu. Lagu Ke$ha membawa saya ke masa lalu dimana saya begitu hancur, begitu desperate, begitu butuh pengakuan. Sesaat saya menjadi si upik abu itu, yang berusaha menipu dirinya dan percaya dia bisa menjadi keren dan populer dan tangguh dan percaya diri seperti lirik lagu Ke$ha, walaupun dia tahu itu mustahil.
Saya mendengarkan Ke$ha setelah kalah taruhan dengan nasib. Jadi ceritanya saya memutuskan sudahan dengan pacar saya yang super sempurna karena dapat tawaran yang lebih baik. Sekarang sih saya mengerti kalau tawaran baru waktu itu cuma katalis, dan memang hubungan kami sudah mandeg. Tapi saat itu saya nggak tahu, yang saya tahu saya berlaku egois dengan memutuskan pacar saya demi tawaran baru ini. Ternyata dia nggak mau dong dengan saya, walau kedua keluarga sudah mendukung banget. Ternyata lagi dia sebenarnya dari awal punya pacar lain, dan saya baru tahu 4 bulan setelah dia memutuskan tidak saling bertemu lagi. Malam itu saya menyetel Ke$ha sekencang-kencangnya, bernyanyi dan berdansa untuk menutupi luka yang menganga di hati.
Terkhianati. Itu perasaan saya. Keluarganya tidak mewanti-wanti apapun walaupun keluarga kami dekat. Mereka mengkhianati saya. Selama beberapa bulan kami dijodohkan semua keluarganya begitu ramah pada saya, dan saya berpikir bahwa mungkin, mungkin saya akan bisa menjadi wanita normal, menikah dan diterima di keluarga suami. Apalagi kami sekasta, ibu saya bisa lepas beban pikiran. Dan saya cuma ingin ibu saya tenang. Dan saya cuma ingin menjadi milik seseorang yang bisa saya andalkan. Tapi mereka mengkhianati saya. Mereka memilih tidak melindungi saya dan membiarkan saya dalam gelap. Pria ini pun mengkhianati saya. Teriris-iris rasanya sangat tahu diantara dua kali ia saya ajak bertemu teman-teman saya (dan bersikap sangat mesra), ternyata ia menyempatkan pergi sunsetan bersama pacarnya, dan ditag "bersama ayang *****".
Namun yang paling utama, saya yang berkhianat. Saya yang menjunjung tinggi kehormatan sebagai wanita. Saya yang berpikir loyalitas adalah segalanya. Saya yang harusnya tahu diri dan berterimakasih diberikan Tuhan pacar yang sedemikian baik dan sempurna. Namun saya buang itu semua demi sebuah hubungan yang gagal, demi keegoisan saya. Kepercayaan diri saya terhantam keras, dan rasa bersalah begitu membebani saya. Dari situlah kehidupan pribadi saya mengalami spiral menurun (walaupun pekerjaan saya tetap luar biasa), sampai akhirnya mencapai titik nadir, rock bottom, dan memutuskan online dating cari teman kencan bule. Dan disinilah saya sekarang, menulis blog saat pulang kantor menuju apartemen saya di pusat kota Los Angeles.
Kadang saya suka bingung sendiri kalau ada teman yang sedih dan teman lain komen: "Udah ah, ngapain sedih terus?" atau "Udah jangan nangis lagi, cowok/cewek begitu aja", seolah perasaan bisa di on-off semudah menggunakan saklar lampu. Atau yang berpikir harusnya ada jeda tertentu orang bisa sedih, dan kalau lewat periode tertentu harus udahan sedihnya. Prinsip saya, selama nggak ganggu ya biar aja dia mau sedih. Intervensi bisa dilakukan kalau emosinya mulai membahayakan dirinya atau orang lain, tapi jelas tidak dengan menafikan atau menganggap ringan kesedihannya.
Kesedihan, keputus-asaan, kepedihan, itu semua ada dan benar-benar nyata. Tapi terkadang kita tidak mengerti bahwa orang lain merasakannya berbeda dengan kita. Saya, misalnya, tidak ambil pusing suami saya melirik cewek lain. Kadang kita ngelirik bareng kok. Buat banyak orang disini itu masalah banget. Tapi sebaliknya, saya bisa emosi jiwa kalau diperlakukan seperti tidak tahu apa-apa, walau mungkin itu bukan hal yang besar untuk orang lain. Sama seperti perasaan orang lain. Walau "cowok/ceweknya cuma segitu aja", walau banyak cerita lain yang lebih dramatis, tetaplah hak seseorang untuk bersedih. Anda juga tidak tahu cerita sepenuhnya bukan, mengapa kesedihan itu begitu berarti dan mendalam untuk orang tersebut.
6 tahun berlalu dan saya sudah move on. Terakhir saya stalking mereka berdua (si pria dan mantan pacarnya) tidak ada lagi amarah atau kesedihan. I forgive them. I understand them. Tapi tetap saat mendengar lagu Ke$ha perasaan itu tetap kembali, tetap melumpuhkan saya. It's real. It's there. Waktu akan menumpulkannya sebagaimana air sungai mengerosi kerikil-kerikil tajam dan membuatnya bulat halus, namun (mungkin) tidak bisa membuatnya hilang seluruhnya. Dan itu bagian dari anda, seperti halnya bekas-bekas luka kecil maupun besar yang ada ditubuh anda, yang jelas tak akan bisa hilang hanya dengan perkataan "Cuma segitu aja ah!".
Kalau anda yang bersedih, embrace the sadness. Rangkullah kesedihan itu. Nggak seperti kegembiraan yang harus dan bisa kita share/bagikan ke orang lain, kesedihan itu lebih intim: hanya anda dan jiwa anda, dan Tuhan/Higher Being bila anda kebetulan percaya. Bayangkan saat anda gembira, anda tidak perlu menjelaskan mengapa anda bahagia pun orang bisa ikut berbahagia. Tapi sebaliknya, tidak mungkin bisa menjelaskan sepenuhnya mengapa kita bersedih. Kita bisa menjelaskan tapi orang lain belum tentu mengerti. Dan itu tidak apa-apa.
Saat kita bersedih yang paling kita butuhkan adalah pelukan dan penerimaan dari kita sendiri. Pelukan dan perhatian orang lain membantu kita feel good terhadap diri kita sendiri, dan ini yang penting untuk diketahui. Orang lain bisa membantu kita, namun kita sendirilah yang harus menerima diri kita. Iya kita sedih. Iya kita ingin menangis. Iya dunia serasa kiamat. Silakan bersedih sampai anda bisa bilang: "Oke, cukup sedihnya. Time to move on sekarang." Ini proses yang nggak bisa didiskon, yang sebagaimana proses penyembuhan lainnya, paling efektif kalau dilakukan secara alami. Dan ini termasuk para lelaki ya. Cry if you want to. Wanita sejati nggak akan melihat itu sebagai kelemahan.
Kita perlu kesedihan sebagai bagian dari hidup kita. Buat yang pernah menonton Inside Out mungkin mengerti apa yang saya maksud. Bagi yang belum: kesedihan memicu kebahagiaan. Anda yang haus pastinya lebih bahagia saat menerima segelas air dibandingkan bila anda tidak haus. Kesedihan juga membuat kita belajar, membuat kita berhati-hati. Dan yang paling utama ya seperti yang saya bilang diatas: kesedihan mendekatkan diri anda dan jiwa anda. Jangan benci atau takuti kesedihan, namun rangkul dan mengertilah.
Kalau anda merasakan kesedihan itu mulai mengganggu hidup anda, mungkin sudah saatnya anda perlu bantuan professional. Namun bila anda masih bisa menjalaninya, silakan saja. Despair is s beautiful thing. It is the moment where who we are is destroyed and we are left in ruins, only to rise again like phoenix from its ash. It is the moment of utter humility and helplessness, and the moment of strength and hope. Seperti kata Darth Vader: come to the dark side. Be sad, good people. Be sad. Then be joyous again. And be stronger than ever.
A little bit of this, a little bit of that, and all the things the cat sees along her way
AdSense Page Ads
Monday, February 22, 2016
Kesedihan: Satu Sisi Dunia
Labels:
Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment