Saya sedang duduk di bis dalam perjalanan pulang dari kantor, dan ada ibu-ibu tua (baca: nenek-nenek) yang berkicau menggosip dengan serunya dalam bahasa Mandarin di hape. Padahal saya nggak ngerti bahasanya, tapi saya tetap tersenyum-senyum sendiri karena seru banget mendengar intonasi si ibu ini. Ibarat nonton film perang yang penuh dar-der-dor. Emang nggak ada yang bisa ngalahin gaya gosipnya (ibu-ibu) Asia, riuh bo'!
Jangan sangka saya di Amerika cuma bersentuhan dengan bahasa Inggris. Apalagi di Los Angeles sini yang multi kultural, saya kemana-mana pasti ketemu orang yang bicara bukan bahasa Inggris: Spanyol, Tagalog, Vietnam, Mandarin, macam-macam deh. Bahasa Inggris pun banyak macamnya. Saya biasanya bengong kalau ada yang ngajak ngomong dengan aksen kulit hitam yang kental. Nggak ngerti mereka bilang apa, padahal bahasa Inggris juga.
Di kantor saya pun, saya salah satu dari dua orang (yup, hanya dua orang) yang tidak bisa berbahasa Mandarin. Walhasil kalau ada keriuh-rendahan di kantor saya nggak ngerti. Atau saat duduk makan bersama, mereka ketawa ketiwi saya cukup tersenyum simpul saja. Kadang-kadang ada yang menerjemahkan, atau saya yang aktif sibuk message rekan kerja untuk bertanya ada apa karena saya suka want to know nggak jelas. Itu pun terjemahannya nggak penuh, kadang lost in translation juga karena rekan kerja saya Bahasa Inggrisnya juga ngepas banget. Jangan tanya repotnya kalau harus mengurus dokumen yang masih terselip huruf/karakter Mandarin. Asal tahu ya, terawangan terjemahan Mbah Google itu nggak selalu akurat hohoho.
Harusnya saya merasa terasing, terhina, tertindas. Mereka hire saya, harusnya mereka mengakomodasi saya dong. Tapi saya nggak bisa merasa tertindas. Habis gimana, seru mendengar mereka ngobrol. Nggak seperti rekan kerja saya yang selalu mendadak absen saat acara kantor, saya selalu ada. Makan gratis bo'. Lho?? Eh nggak, maksud saya, kan biar involve ceritanya xixixi. Biar saya nggak ngerti mereka ngomong apa, saya masih a member of the team dan mereka menghargai keberadaan saya disana.
Pesta Natal yang lalu saya dan suami sibuk lirik-lirikan dan cekikikan sendiri sementara orang-orang kantor saya sibuk berkicau dalam Bahasa Mandarin. Pas talent show pun pada karaokean dengan lagu Mandarin. Bukan lagu pop barunya ya, tapi lagu sekitaran tahun 60an kayanya. Jadul sejadul-jadulnya deh. Tapi semua orang have fun, semua orang senang dan gembira. Nggak perlu tahu bahasanya untuk bisa membaca bahasa tubuh orang, untuk merasakan apa yang ia rasakan.
Menurut penelitian, senyuman dan cemberut itu menular karena kita secara aktif dan tanpa sadar menirunya untuk tahu apa yang orang lain rasakan. Orang lain tersenyum, bawah sadar kita ingin tahu itu apa, menirunya, dan saat kita melakukan peniruan ini kita merasakan hasilnya: saya bahagia, berarti orang itu sedang bahagia juga. Sayangnya, kepekaan ini tidak berfungsi di dunia maya alias internet. Harus temu muka langsung. Itu juga kalau nggak tertutup oleh kata-kata atau sikap santun, dan prasangka bawaan kita. Makanya kepekaan saya jauh meningkat, karena saya 'dipaksa' membaca situasi dari bahasa tubuh rekan-rekan kerja saya dan bukan bergantung dari bahasa atau intonasi mereka. Mereka kadang bercanda terdengar seperti berantem hihihi.
Apa ini bermanfaat? Buat saya iya. Saya merasa kemampuan empati saya berkembang. Saya lebih sabar, lebih mengerti. Susah untuk ngejudge orang kalau kita mengerti mereka, atau setidaknya tahu bahwa mereka juga manusia, punya cerita masing-masing dan alasan masing-masing. Saya merasa, secara keseluruhan, lebih damai. Di sisi lain, rekan kerja saya yang menolak mengerti hidupnya terlihat lebih sengsara. Mulut boleh tersenyum, tapi body gesturenya menunjukkan dia tidak suka berada di sana, tidak suka terisolasi dan terasing oleh orang-orang yang tidak bisa bahasa Inggris ini. Biasanya saya yang kena cemberutan karena saya yang paling junior dan pengkhianat pula, bisa-bisanya saya ce-esan sama mereka padahal saya nggak ngerti bahasa mereka. Tapi saya mau marah balik juga nggak tega. Kasihan dia nggak bahagia.
Semua orang punya tujuan hidup masing-masing. Biasanya yang didoakan adalah semoga sukses, semoga murah rejeki, semoga sehat terus. Tapi ada yang sebenarnya lebih penting: semoga selalu bahagia. Kenapa? Karena bahagia itu tenang, karena bahagia itu adem. Punya harta atau kuasa nggak menjamin ketenangan batin. Membantu sih, karena kalau hidup sandang pangan papannya nggak terpenuhi pastinya sulit jadi tenang. Tapi bukan yang utama lho ya. Bahagia itu adalah menemukan cahaya terang dalam diri kita, mungkin jiwa kita, mungkin serpihan Tuhan yang menghidupkan kita, dan berbincang tanpa kata: "Pa kabar Bro/Sis?" " Eh akhirnya nongol juga! Baek, baek. Situ gimana?".
Saya melanjutkan menulis ini dengan santai di stasiun bis. Bisnya berangkat begitu saya sampai, dan saya cuma bisa dadah-dadah nelangsa. Setengah jam lagi baru bis berikutnya datang. Tapi nggak apa-apa. Itu berarti setengah jam ekstra saya bisa menulis, dan mungkin saya bisa bertemu teman saya yang orang Filipina yang biasanya naik bis setelah saya. Bahagia itu damai. Bahagia itu menerima apa adanya. Bahagia itu bebas prasangka. Bahagia itu menyenangkan. Semoga semua mahluk di dunia ini bahagia. Salam cinta dari Los Angeles ❤🏦🌆
http://m.mentalfloss.com/article.php?id=75227 (Why smiles and frowns are contagious)
A little bit of this, a little bit of that, and all the things the cat sees along her way
AdSense Page Ads
Friday, February 12, 2016
Dua Jam di Bis Metro Los Angeles
Labels:
Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment