AdSense Page Ads

Monday, September 22, 2014

Saya dan Mister Bule


Dulu saya sampai sumpah-sumpah di hadapan teman-teman saya, ga akan pernah saya pacaran sama yang namanya bule, kecuali kalau Bule itu singkatan Bulu Lebat (ehem..!). Umur semakin menjelang pun saya tetap keukeuh untuk tidak mencari bule. Ga sudi, jawab saya pada teman-teman yang berbaik hati mencarikan pasangan, mending jomblo daripada sama bule. Lalu di umur saya yang ke 31 saya pindah ke Amerika agar bisa bersama si Akang bule tercinta. Waduh.

Waktu saya membaca cerita tentang Fani si Bule Hunter, saya jadi teringat cerita saya juga. Alasan saya tidak suka bule sama dengan alasan yang dikemukakan Fani: saya ga mau dianggap tampang babu karena bule biasanya suka tampang babu, saya ga mau sama orang yang songong karena biasanya bule suka nganggap rendah orang Indonesia, saya ga mau dianggap matre dan gampangan karena biasanya yang suka bule itu matre dan gampangan. Di sebuah pesta seorang kenalan saya dengan entengnya bilang ke saya, jangan mau bergaul dengan si Xx (yang mana adalah teman saya DAN penyelenggara pesta tersebut) karena dia nakal dan suka mengejar-ngejar bule. Bujug buneng, pikir saya, segitu antinya orang dengan 'bule hunter'. Nggak ada deh ceritanya saya mau sama bule.

Sewaktu saya bekerja di Bali (yang notabene isinya bule semua) pemikiran saya jadi berubah. Banyak juga bule yang pasangannya orang Indonesia yang cantik ala model. Biasanya semakin tinggi pendidikan dan status sosial si bule tersebut maka semakin tinggi juga ekspektasinya. Ga cukup cuma berpenampilan eksotis saja, sang wanita pun harus bisa 'nyambung' dan cerdas. Sebaliknya, bule kelas teri pun cuma bisa menggaet wanita yang kelas teri juga. Sama seperti hubungan pacaran biasa, sebenarnya. Kesongongan pun tergantung sama kelasnya si bule tersebut. Lagi-lagi yang berpendidikan akan cenderung lebih sopan daripada yang tidak, sama saja dengan abang mikrolet versus orang kantoran. Semua yang dituduhkan terhadap bule sebenarnya bisa dipakai untuk orang Indonesia juga, kita saja yang sibuk rasis sendiri.

Tapi saya tetap tidak mau sama bule. Di Asia [timur] kulit putih dianggap menarik karena dianggap simbol kemakmuran. Kalau anda memiliki kulit putih mulus, berarti anda cukup berada untuk tidak harus melakukan pekerjaan kasar seperti bertani. Di negara barat sebaliknya, kulit gelap dianggap menarik karena terlihat sehat. Itulah kenapa Tanning Salon laris manis di Amerika, terutama di kawasan pantainya. Saya pribadi penganut ke-macho-an tingkat tinggi. Cowok harus cowok, gitu lho. Pasangan ideal menurut saya adalah yang berkulit gelap dengan badan yang oke dan kemampuan bela diri/musik/kegiatan cowok lainnya. Saya tidak suka orang kulit putih yang terlihat seperti udang rebus saat terbakar matahari. Ga seksi bo'. Inilah kenapa saya juga tidak bisa lagi menjudge para bule hunter, bisa jadi beberapa dari mereka memang dasarnya hanya bisa tergugah atau terpesona dengan kulit putih dan penampakan fisik para bule ini, seperti halnya saya hanya bisa tergugah oleh pria-pria bertampang berandalan. Selera tidak bisa dipaksa toh? Lalu saya bertemu dengan si Akang, dan saya pun belajar kalau selera itu bisa dirubah.

Seperti cerita Fani, saya akhirnya mencoba peruntungan dengan bule karena frustasi dengan cowok Indonesia. Masuk grup pencarian jodoh di Facebook malah jadi sakit hati karena yang laris manis adalah cewek-cewek yang cute dan putih ala model atau anggota JKT48. Pasang foto profil yang normal dicuekin saat mencoba mengajak chatting atau mengirimkan friend request, tapi pasang foto profil yang agak berani malah diajak 'main' terus. Cari jodoh di kalangan keluarga juga begitu, lengkap dengan wanti-wanti: "Jangan banyak omong, jangan keliatan terlalu pintar, kurangi berat badan, pakai makeup yang rapi" dan seterusnya. Padahal dari segi skill professional saya rasa saya lebih baik dari kebanyakan orang, kenapa saya yang harus low profile biar dapat pasangan. Sakit hati kan. Sementara pekerjaan saya tidak memungkinkan saya untuk bertemu orang baru, karena job desc saya cuma diam di kantor membalas e-mail. Setelah sekian lama stress akhirnya saya pun mengiyakan saran teman untuk bergabung di online dating. Saya butuh teman ngobrol. Saya butuh teman yang bisa diajak tertawa dan berdiskusi tentang hal-hal yang menarik. Saat itu saya sudah ditipu setidaknya oleh 3 cowok Indonesia yang mengaku single padahal tidak, sudah diajak selingkuh setidaknya oleh 4 cowok lain, sudah dilabrak oleh setidaknya 2 pasangan yang marah (dan saya tidak tahu apa masalahnya), dan tidak terhitung banyaknya ajakan 'main'. Mending bule, batin saya, paling nggak bisa diajak ngobrol dan ga usah berharap. Saat itu saya sudah melepas harapan untuk bisa menikah dan punya suami, dan saya jelas tidak mau menikah dengan bule. Nothing to lose lah istilahnya. Mana saya tahu saya malah akhirnya dapat si Akang dan menjalani 'Hidup Bahagia Selamanya'.

Awalnya saya tengsin dan malu. Bener lho, saya sempat malu gimana gitu punya pacar bule, kesannya saya nggak laku banget sampai harus nyari bule. Tapi semakin lama saya bersama si Akang, semakin saya sadar: bule juga manusia. Katanya bule suka gatal dan hobi gonta-ganti pasangan kanan kiri, tapi banyak kenalan saya yang juga hobi perempuan. Katanya bule gombal dan ga bisa dipercaya, cowok Indonesia juga banyak yang model playboy kampung begitu. Katanya bule sok kaya padahal kere; tapi gimana ga sok kaya kalau biasanya $1 cuma dapat burger mini di Burger King di Indonesia bisa makan warteg lengkap, apalagi OKB di Indonesia kelakuan juga begitu. Intinya, apapun yang dituduhkan terhadap bule sebenarnya bisa dituduhkan juga terhadap orang Indonesia. Para bule hunter yang digadang-gadang ga punya harga diri pun sebenarnya demikian. Apa bedanya para bule hunter yang mengejar bule demi gaya hidup atau kemakmuran dengan wanita lain yang mengejar orang kaya lokal [juga] demi gaya hidup atau kemakmuran? Kelakuan sama, cuma obyeknya saja yang berbeda. Bukan hanya bule, orang Indonesia pun banyak yang mengaku-ngaku kaya padahal kere. Pertanyaannya, apa iya anda akan menikahi seseorang tanpa memeriksa terperinci ekonominya atau bahkan sekedar apa pekerjaannya? Saya malah kasihan sama bule itu, apalagi kalau memang bule itu benar-benar sayang tapi ternyata hanya diporotin. Kalau begini yang 'jahat' siapa? Lagi-lagi, dilema kematrean ini bisa terjadi pada pasangan non-bule sekalipun. Anda mau bilang seperti apapun, tidak ada hal berarti yang secara spesifik membedakan hubungan bule-Indonesia dengan hubungan Indonesia-Indonesia.

Walaupun begitu, saya cuma bisa geleng kepala melihat para bule hunter yang secara aktif bermanja pada para bule dan melihat rendah pada orang Indonesia. Saya pernah beberapa kali bertemu dengan orang-orang seperti ini, yang tiba-tiba jadi ramah setelah tahu pasangan saya bule juga. Rasanya saya pengen bilang, "Udahlah mbak-mbak, mereka juga cuma manusia kok. Bulenya mereka nggak bisa menular ke Mbak, dan kalaupun bisa ditularkan kebulean itu ngga lebih superior dari ke-Indonesia-an kita kok..." Saya bukannya anti diskriminasi terhadap orang Indonesia, saya anti diskriminasi terhadap manusia secara keseluruhan. Saya juga kadang suka pakai baju ala barat, summer dress yang unyu-unyu dan bikini misalnya (walau saya terlihat seperti paus terdampar), tapi nggak berarti saya lebih stylish daripada mbak-mbak yang main dipantai dengan busana lengkap (kaos dan celana pendek). Dan biar pasangan saya bule pun, nggak berarti saya jadi lebih keren daripada yang pasangannya orang Indonesia. Saya lebih keren karena si akang memang keren secara keseluruhan. [Sandal melayang]. 

In the end, bule juga (cuma) manusia; ada yang baik dan ada yang kupret. Seperti halnya dalam setiap hubungan, kalau anda memiliki niatan tulus untuk menjalin hubungan yang baik dan barokah maka niscaya hubungan anda pun bisa baik terlepas dari ras pasangan anda; sebaliknya, kalau niatan anda untuk numpang tenar dan hidup gratisan, jangan harap dapat pasangan yang baik dan menyayangi anda apa adanya. Fair is fair toh? Hidup di luar negeri pun tidak selalu seindah di film-film, sebagaimana saya ceritakan di seri Corat Coret dari Amerika. Kalau anda saat ini masih sibuk menggosipkan orang karena ia berpasangan dengan bule, atau sebaliknya kalau anda saat ini masih sibuk merancang strategi untuk mendapatkan pasangan bule demi perbaikan nasib, saran saya cuma satu: sudah, sudah. Anda tidak mau didiskriminasi/diperlakukan berbeda karena ras anda bukan? Jadi kenapa anda memperlakukan para bule ini berbeda? Happy Monday everyone :)

Update 2016: Pengen tahu akhir cerita saya? Baca disini (update 2017) dan disini (update 2016) ya... :)

2 comments:

  1. Halo mbak. Tulisannya mbak sangat menghibur sekali. Dan sangat realistis. Hehe

    Mbak saya punya pacar (same sex) orang Belgia. Dan ini pertama kali saya punya pasangan bule. Menurut mbak kalau menjalin hubungan sama bule kita harus gimana? Soalnya dianya itu seperti burung lepas gitu, gak mau di atur. Bukannya aku ngekang, cuman kadang2 hal yang salah aku ingatin dia gak mau nerima.

    ReplyDelete
  2. mba tulisannya bagus banget, tapi boleh yaa saya kasih saran, saya lihat disetiap tulisan mba, setiap paragrap itu isi barisnya banyak banget, saran saya sih, isi per paragraf itu maksimal 4 bari deh mba, soalnya huruf-huruf nya kecil klo paragrafnya berisi baris yang banyak, jadi susah bacanya. Maaf ya mba, itu sih saran aja hehehhe..

    ReplyDelete

Search This Blog