Seorang teman menulis status di Facebook: "Semoga masa kampanye ini cepat selesai. Prihatin melihat saudara seiman saling serang dan saling fitnah." Pikiran saya yang jahil langsung tergelitik dan bertanya: memang kalau ga seiman ga sebangsa ya??
Saya tidak prihatin melihat saudara-saudara seiman saya (Hindu Bali) saling gontok-gontokan soal capres 2014. Maksudnya, saya tidak prihatin atau khawatir akan kelangsungan agama saya. Saya pribadi yang ngejalanin kok, ga ada urusannya siapa capres yang bakal terpilih atau yang dijagokan rekan-rekan seiman saya. Siapapun itu asal bisa bikin Indonesia lebih maju kenapa nggak. Urusan kenegaraan dan urusan keagamaan itu dua hal yang berbeda, toh presiden RI harus mengayomi semua WNI walaupun yang berbeda agama dengan beliau bukan?
Yang saya prihatin adalah saudara-saudara SEBANGSA (yup, pake huruf kapital biar lebih joss) yang saling serang dan saling fitnah. Semua hal bisa dipake adu domba kok, mulai dari masalah kuat-kuatan agama, suku, kekayaan, ras, sampai muka pun bisa jadi bahan serangan (balik). Para WNI yang terpelajar (macam saya dan anda para penulis dan pembaca Kompasiana) harusnya ngeh kalau ini cerita lama. Pemilu Malaysia, pemilu Amerika, dan saya rasa pemilu-pemilu di banyak negara lain pun pasti jurkamnya sibuk saling serang karakter dan bukannya adu program. Pertanyaannya, apa gosip dan/atau fitnah ini mempengaruhi kepemimpinan mereka?
Kampanye Amerika tahun 2012 adalah salah satu yang paling "ganas" yang pernah saya lihat, dan kedua kubu sibuk menjatuhkan satu sama lain dengan berbagai fitnah dan cerita lebay, yang mana membuat publik Amerika terbelah dua. Akhirnya yang menang tetap Obama, karena memang dia yang punya program yang paling solid untuk kenyamanan hidup warga negara Amerika. Jadi buat apa sibuk saling memaki dan mencibir dan mati-matian menolak hanya karena yang satu hanya ayahnya yang Islam dan yang satu lagi konon keluarganya berantakan? Apakah ini yang akan menyejahterakan rakyat Indonesia, atau akankah program-program yang ditawarkan?
Tapi sebagus apapun presidennya, tidak banyak gunanya kalau kita masih cuma berpikir soal "seiman" dan bukan "sebangsa". Bangsa Indonesia itu luar biasa besar lho, dari Sabang sampai Merauke. Sementara kalau bicara soal seiman, Hindu saja bermacam-macam di Indonesia. Bahkan di Bali sekalipun tiap daerahnya ada sedikit perbedaan dalam menjalankan agama dan adatnya. Inilah kenapa dulu kita punya Sumpah Pemuda : Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa; karena tanpa itikad persatuan ini sulit mempersatukan tiap suku/agama/golongan di Indonesia yang masing-masing punya agenda dan egoisme sendiri. Inilah kenapa akhirnya Belanda dan Jepang bisa kita tendang dari bumi Indonesia, dan kita bisa bilang ke dunia: "Merdeka!"
Pasti banyak dari anda yang berpikir: "Buat apa saya pikirkan orang yang tidak seiman/sesuku/segolongan dengan saya?". Ini wajar, karena banyak pemuka agama (bukan agamanya lho!) yang memproklamirkan kalau orang yang tidak seiman itu akan masuk neraka atau bahkan dilarang didekati apalagi diakui. Pertanyaannya, mau dibawa kemana sikap ini? Bayangkan anda mau bikin mobil, tapi bukannya bekerja sama tiap departemen (mesin, cat, bodi, etc) malah sibuk dengan agenda masing-masing dan tidak mengakui departemen lain. Jadilah mesin yang super gede dan maha kuat yang tidak masuk di dalam bodi yang dirancang super ramping dan cepat dengan paint job yang sangat girly dan ABG-to-the-max ala JKT48. Jangankan dijual, belum tentu itu mobil bisa jalan. Atau bagaimana bila tiap departemen menolak bekerja sama sekali karena tidak seiman/sesuku/segolongan? Walhasil itu blueprint cuma jadi alas mouse, itupun syukur kalau sudah jadi blueprint dan bukan masih cuma post it/kertas tempel, ato sekedar saran di e-mail. Inilah kondisi Indonesia sekarang.
Suami saya yang orang Amerika berkali-kali mengeluh penuh frustrasi akan lemotnya internet di Indonesia, padahal kami cuma berkunjung di Jawa dan Bali yang harusnya infrastruktur dan jaringan komunikasinya lebih baik daripada daerah lain di Indonesia. "Harusnya pemerintah kamu investasi ke jaringan komunikasi dan perhubungan. Bagaimana Indonesia bisa membela diri terhadap invasi asing kalau tidak ada jalan untuk tentaranya? Bagaimana orang Indonesia bisa belajar kalau internetnya saja nyaris tidak ada? Kenapa tidak kirim orang-orang untuk belajar di Amerika atau negara maju lainnya agar bisa punya tenaga ahli di Indonesia?" Konon begitu omelan kakanda saya, dan saya cuma bisa manggut-manggut. Bagaimana mau berpikir sejauh itu, jawab batin saya, kalau jabatan menteri dibagi-bagi kaya kacang gratis ke orang yang tidak punya kompetensi. Dan kita yang orang Indonesia tidak protes, padahal kita yang paling berkepentingan.
Ini yang harusnya kita perjuangkan di pemilu ini, masa depan Indonesia. Harusnya kita bisa protes dan meminta para pejabat terpilih adalah pejabat yang punya kompetensi dan punya track record yang bagus di bidangnya, keselektifan harus diterapkan untuk semua menteri dan bukannya untuk menkes menkeu dan menlu saja (karena saya sangat ragu menteri kominfo yang sekarang punya kompetensi di bidang kominfo dengan segala celetukan doi yang ga jelas). Harusnya kita bisa berpikir lebih jauh dari cuma sekedar "Ih, dia kan tidak seagama". Harusnya kita bisa berpikir dan bertanya: "Negeri seperti apa yang nanti akan ditinggali anak cucu saya?"
Suka tidak suka, kita satu bangsa: bangsa Indonesia. Anak cucu kita pun (kecuali yang membelot ke luar negeri ya) akan tetap jadi WNI, dan tinggal di bumi Indonesia ini. Bahkan yang sudah bukan WNI pun pasti tetap ingat tanah leluhur, karena darah tidak bisa bohong. Anda boleh cari, tapi saya rasa tidak ada satu negara pun di dunia ini yang hanya dihuni secara eksklusif oleh satu agama/suku/golongan. Kita bisa main gontok-gontokan antar golongan dan agama seperti Mesir dan Thailand, saling usir-mengusir sesama warga negara seperti Myanmar, atau kita bisa menguatkan diri dan bersatu untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Sekarang saatnya kita memilih.