AdSense Page Ads

Monday, May 25, 2020

Ketiak Hitam



Setelah menyisir dan mengepang rambut saya malam ini, Kangmas mencium ujung kepang saya dengan rasa sayang dan berbisik, "I love you".

Hari ini hari kedua pindahan saya. Karena Covid-19 saya akhirnya memutuskan sekalian tinggal bersamanya. Kumpul kebo kalau kata orang Indonesia, walau kenyataannya kita lebih rempong dan lebih mendetail daripada sekedar kawin di capil.

Pembagian sewa apartemen dan biaya listrik/gas/dst sudah dibicarakan dari awal, jumlah dan kapan saya harus transfer. Kita bicara tentang keluarga masing-masing dan apa yang kita harapkan dari satu sama lain. Karena kalau saya seterusnya bersama dia, dia harus bisa oke dengan keluarga saya dan begitu pula sebaliknya. Bahkan sampai bagaimana saya ingin dilamar pun sudah saya utarakan.

Kita juga bicara soal gol kita kedepannya, yaitu membeli rumah bersama, dan apa yang akan terjadi bila salah satu dari kita meninggal. Kita bicara asuransi jiwa, investasi reksa dana, dan pembagian tanggung jawab keuangan kedepannya. Gaji dia diatas saya, jadi buat saya penting dia tahu saya bukan sekedar cari papah ATM.

Ini sangat bikin stress lho. Walau saya sudah diajak untuk tinggal bersama dia dan keluarganya dari awal tahun, mempersatukan dua rumah tangga yang berbeda bukanlah hal yang mudah. Mulai dari memikirkan taruh dimana rak bumbu dapur saya yang kebangetan isinya, sampai menyatukan tagihan telepon saya dibawah nomor telepon dia.

Dia stress dan anxious. Saya apalagi. Trauma diusir suami dan akhirnya menceraikannya membuat saya ketakutan. Saya bisa tetiba menangis atau bengong sendiri saat packing, atau bolak-balik bertanya pada Kangmas: "Kamu benar nggak kenapa? Kamu benar mau aku?". Untungnya dia mengerti trauma saya walau dia pun cukup stress. Komitmen bukanlah sesuatu yang enteng. 

Itulah kenapa saya nggak mengerti dengan segala iklan pemutih ketiak di IG Indonesia, atau penurun berat badan, atau pencerah wajah dan sebagainya. Kamu akan perlu lebih dari sekedar fisik sempurna untuk membina sebuah hubungan jangka panjang, apalagi yang kamu harapkan akan berkah kedepannya dan/atau akan membuatmu bahagia.

Orang yang mengerti akan beratnya sebuah komitmen nggak akan mempermasalahkan warna ketiak atau selangkanganmu. Kalau kebetulan dapat yang sibuk mempermasalahkan hal ini dan bukannya memikirkan kesiapan untuk menjalin hubungan bersama kedepannya, apa iya ini orang pantas diperjuangkan?

Jangan salah, kita sebagai manusia boleh punya preferensi. Kalau kebetulan orang yang kita suka preferensinya beda dengan siapa kita, ya nasib. Kita bisa banget kok merubah diri kita untuk memenuhi impian orang ini. Bisa, tapi bukan harus. Yang harus itu adalah mengerti dan meraih apa preferensi kita, apa yang kita inginkan untuk diri kita. 

Karena hidup bersama bukanlah sekedar mengucap akad di depan pendeta/penghulu. Hidup bersama adalah menyatukan dua insan, menyatukan dua keluarga, dan membangun kehidupan yang lebih baik dari penyatuan ini. Kalau sekedar ketiak hitam atau berat badan tak ideal (menurutnya) sudah diancam diputuskan, apa iya kedepan akan lebih baik?

Gampang sih saya bilang begini. Saya di Amerika dan nggak bohong ya, kita yang ngemong dan menyayangi lelaki poinnya jauh diatas mbak-mbak pirang super hot yang maunya dimanja. Saya juga bebas dari tekanan sekitar, bahkan terkadang termasuk teman dekat, untuk segera punya jodoh dan beranak agar tidak dianggap sebagai wanita gagal. 

Tapi dulu di Indonesia pun saya lama melajang karena ini: "buat apa gue sama elu kalau hidup gue akan lebih sengsara?"Karena ya mohon maaf pak bu om tante sekalian, gosipan kalian saat kumpul keluarga nggak akan menyelamatkan saya bila saya terjebak dalam perkawinan yang tidak bahagia. Apalagi kalau sampai punya anak dan anak ikut sengsara. Duh amit-amit.

Apakah saya akan terus bahagia dengan Kangmas kedepannya? Nggak tahu. Yang saya tahu sekian banyak sudah terjadi selama setahun lebih kami bersama. Ada sekian teriakan, tangisan, dan tawa, serta berbagai masa dimana kami bisa saja berpisah jalan namun kami tetap bersama. Dan anda tahu, ketiak hitam tidak pernah tercetus.

Sunday, May 24, 2020

Sharing Misery



I moved out from my apartment and it was an exhausting rollercoaster ride. Pack a bit. Cry. Pack a bit. Panicking. Pack a bit. Went to BF and ask "Do you really want me?". Pack a bit. Repeat endlessly. It took such a toll on him that he slept in this morning.

I have all the right to ask for mental support, to cry and be openly anxious with him without being judged. He decided to be with me, didn't he? That's the whole point of relationship, be it romantic or platonic, to find someone you can unpack your baggage with.

But it takes toll on the other person. There will be times when we, so deeply hurt and broken, can only see ourselves. We can only focus on our pain and hurt and prone to attack the people who tried to help us. In our pain, we sometimes failed to see how far that person has come for us.

Because they don't have to, but they did. It hurts to see someone you love and care in great pain, in a place where you can't reach them. It hurts to see that person writhing and crying and drowned in sorrow. All you want to do is to erase their misery and see their smile again.

And then there's the backlash. There's the "You don't know how I feel!!"  There's the constant questioning and doubts that sometimes made you doubt yourself. There's the emotional cost because you are pretty much trying to carry the weight this person has, like the footsteps on the send.

A lot of people might use this as a reasoning on why they didn't get help. "I don't want to be a burden." "I don't want people to eventually hate me." "I am too broken to be fixed." All is fine and dandy, but notice the 'I'. Relationships are not made with just 'I'. 

It's ok for wanting to be loved. It's ok for wanting to be helped. The way somebody love us and help us through our baggage show their worth, and ours. Doesn't it mean that we worth something, that somebody is willing to go through our hell even though they don't have to? 

The best way to repay their love and help is to try to get better. At the very least recognize when we're going to get bad and stop ourselves from hurting them. It could be as simple as a genuine apology after a bad episode. Baby steps is fine.

It's a privileged to be loved, and honestly there is no formula on 'how to be loved'. How we view ourselves are different than how people view us. What we perceive as a cheap metal trinket may be seen as invaluable rare piece of jewelry for others. 

I am thankful for those who think I am precious despite all my baggage and flaws. It's a journey, and I am grateful for those who stay with me and for those who tried but part ways. Thank you.

Friday, May 22, 2020

Pulang Kampung



Tante, aku sebenarnya kangen tante. Tapi aku lega tahun ini aku tidak boleh pulang kampung. Bolehkan aku egois sesaat ini?

Sekali saja nggak usah memikirkan mau pakai baju apa agar tante tidak bilang seleraku norak atau badanku yang lebar nggak cocok dengan model baju seperti itu.

Sekali saja nggak usah memikirkan alasan kenapa aku masih single dan mendengar ceramah "Wanita itu harusnya..." Atau walau tante diam pun aku masih bisa melihat tatapan tak setuju tante.

Aku tahu maksud tante baik. Aku tahu tante hanya khawatir akan kondisiku. Di jaman tante perempuan hanya bisa bergerak di sekitar rumah. Punya suami idaman itu satu-satunya cara bagi perempuan untuk memperbaiki nasib.

Dan tante takut, iya kan? Tante takut kalau aku nggak laku lalu aku sengsara seumur hidup. Tante juga takut saudara tante, orang tuaku, dianggap tidak becus mendidik anak. Bisa-bisa nama baik tante pun tercoreng.

Tapi kita beda dunia, tante. Sebagaimana tante nggak ngerti kenapa kita semua yang seumur hobi banget pakai IG, aku pun nggak ngerti kenapa fisik dan mendapat jodoh itu penting banget buat tante.

Aku bisa mandiri tante, tanpa merepotkan ayah ibuku. Aku meniti karir dengan usaha sendiri. Aku punya teman, punya hobi, punya hidup. Aku bukan perawan tua yang terpinggirkan dan teraniaya.

Tante benar sih. Akan selalu ada yang melihat aku dan berpikir aku 'kurang'. Biasanya aku berusaha cuek sih. Ibarat orang belanja, kalau model atau harga nggak cocok ya nggak dibeli kan? Ngapain diambil pusing?

Saat hari sedang tak karuan dan mood terjun bebas, penolakan ini bisa membuat stress juga. Namun saat kritik ini datang dari orang yang aku sayangi dan hormati seperti tante, rasanya runtuh dunia.

Mungkin suatu saat tante akan bisa menerima aku apa adanya. Mungkin suatu saat tante akan mengerti bahwa kita berbeda generasi. Mungkin suatu saat tante akan bisa melihat sejauh mana aku telah melangkah bila dibandingkan generasi tante dulu. Dan tante akhirnya bisa bangga padaku.

Namun sayangnya tampaknya tahun ini belum bisa ya tante. Tampaknya kita berdua belum menemukan titik temu. Semoga tahun depan ya tante. Semoga absen saya tahun ini membuat kita bisa mengerti satu sama lain kedepannya. 

Tahun ini saya pamit dulu ya tante. Akhirnya saya bisa menjamu tamu saya yang sudah menunggu saya cukup lama di ruang tunggu: Diri saya sendiri. Tahun ini dia akan bisa jadi dirinya sendiri tanpa mendengar kritik dari orang lain. Tahun ini bakalan seru.

Baik-baik di kampung ya tante. Love you. Sampai jumpa tahun depan.

Search This Blog