AdSense Page Ads

Wednesday, January 29, 2020

Mantan



Kemarin seorang teman bertanya: "Bagaimana agar tidak cemburu dengan mantannya pasangan?" Susah ih pertanyaannya.

Cemburu itu wajar lho. Biar sudah tahu kita lah satu-satunya, tetap ada rasa mencelos saat mantan terucap. Nggak perduli seberapa secure nya kita.

Takut cuma pelarian.
Takut kalah kadar sayangnya.
Takut dibandingkan.
Takut nggak disayang sebesar dia sayang mantan.
Takut ditinggal.

Biar bagaimanapun juga, si mantan lah yang sempat memberikan dia kebahagiaan. Yang dulu membuatnya tersenyum. Yang dulu begitu berharga untuknya.

Nggak cuma perempuan, lelaki pun cemburuan. Seringkali rasa ini membakar tak terkendali. Mungkin karena kita beradu dengan sesuatu yang semu ya. Bagaimana cara menghapus memori? 

Bukan hak kita untuk meminta seseorang menghapus memori, kalaupun itu memungkinkan. Dari periode x sampai y pasangan kita bersama si mantan. Ya udah.

Kalau terucap bukan berarti dia masih ada rasa. Misalnya saat topik pembicaraan soal imlek dan dia mention saat dia dan mantannya imlekan di Beijing. Itu cuma fakta saja: dia pernah imlekan di Beijing. Kebetulan sama pacarnya saat itu.

Dia bisa ga nyebut nama mantannya, tapi nanti kita jadi lebih sensi lagi. Kok loe ga nyebut? Loe nyembunyiin apa? Pasti elu hura-hura disana ya? Jadi panjang kan ceritanya. 

Terkadang pun si mantan tersebut karena ia meninggalkan luka yang dalam dan ia butuh bantuan untuk bisa sembuh. Kadang ia hanya ingin bercerita karena ia merasa aman, kadang ia butuh validasi bahwa ia tidak seburuk apa
 yang dikatakan si mantan. 

Susah kan kalau tiap nama mantan terucap kita malah jadi sensi? 

Kita nggak berhak meminta seseorang menghapus masa lalunya hanya karena kita nggak pede. Kita nggak bisa terus "Pikirin perasaan gue dong!" tanpa memikirkan perasaan pasangan.

Ini beda dengan pasangan yang brengsek, yang menggunakan mention mantannya untuk mengontrol emosi anda dan/atau membuat anda merasa tidak berharga. Jangan mau dikuasai teroris emosi seperti ini.

Pada akhirnya ini antara kita dan pasangan. Bila sirik atau cemburu pada mantan, komunikasikan dengan baik dan bukan lempar piring. Kita cuma butuh diyakinkan bahwa kita pun berharga kok. Ini targetnya. Kita harus sadar, dia harus tahu. Semua harus bekerja sama.

Karena kenangan tinggallah kenangan. Kita yang sekarang disampingnya lah si masa kini dan sekaligus masa depannya. Dia memilih kita pasti ada alasannya kan?

Tuesday, January 28, 2020

Selfish



A performer that I like posted a picture of him with some 'undesirable' on a gig he was at. Despite his blatant request for no negative comments, a few still pops up.

How selfish could you be to do that? If you don't like something, just scroll along. There is no need to say "Not for me!" or other variations of what you think of the people whom he took picture with.

Just scroll along. Hide the post if necessary. There is nothing to defend here, and the world does not need to know your preference no matter how untrue you think it is. [Cue glitter bomb here]

At best, it made you look like an inconsiderate douche. Especially when he specifically requested no negative comments. At worst, you stole someone's moment and made it about you. What could have been a happy memory was tarnished by your negativity.

I think that performer made excellent music. I think he and his group should be world famous. I think I should support people like him who made the music genre I like so they can take over the (music) world instead of the current auto-tune horrible lyric trend.

If he can get a leg up from exposure through meeting and making acquaintance with 'undesirables', that is not a bad thing. Entertainment industry is hard and ruthless. One will need any good words he/she can get.

I can imagine the negative messages the performer get in his DM, or the scoff he received. I can imagine him noticing some fans who usually respond to his post were not there. If the said performer is reading this I just want him to know: "You're doing great, sweetie."

Thursday, January 23, 2020

Semu



Weekend ini yang pada bengong saya sangat menyarankan iseng ngecek IG @influencersinthewild dan IG @igfamousbodies . Seru bo'.

Banyak yang mikir akun-akun begitu adalah akun-akun sirik, sinis. Padahal justru akun-akun ini yang membumikan apa yang sebenarnya khayalan belaka. Kita nggak akan terlalu mendewakan kesempurnaan kalau kita tahu susahnya mendapatkan kesempurnaan  tersebut.

Foto cakep? Siap sedia waktu minimal 30 menit untuk dapat selfie bagus. Kuat mental dilihatin orang, syukur ga disorakin. Muka cakep? Dompet mesti tahan banting dan kartu kredit tahan gesek.

Yang cowok mesti ngerti kalo si mbak nggak akan selalu angle mukanya ideal 45 derajat, kecuali kalo si mas emang tinggi. Mesti ngerti juga harga untuk facial perawatan dan sebagainya dan siap kocek untuk itu.

Yang cewek mesti ngerti bahwa semua foto idaman itu ya setingan. Jangan buru-buru ngeborong pemutih ketiak dan masker merkuri biar sebening artis IG idaman (yang sebenarnya pakai app dan filter).

Tiap ngeliat iklan di akun IG punya orang Indonesia selalu iklannya jualan peninggi badan, pemutih, pengurus, segala yang berhubungan dengan badan lah. Kita selalu diingatkan betapa 'kurang'nya kita.

Tiap ngeliat seleb IG ya selalu dipajang barang mewah, trip luar negeri, atau keluarga lengkap super bahagia. Lagi-lagi kita cuma bisa menghela nafas karena kok hidup nggak adil banget.

Berkat akun-akun IG ini saya jadi kritis saat melihat foto seleb IG : ini berapa lama fotonya? Berapa lama makeup nya? Tasnya beli cash, nyicil, atau korupsi? Nggak dilihatin orang apa pas foto?

Saya juga jadi kritis sama lelaki. Ya ho oh mintanya se-perfect seleb IG sementara nggak sanggup modal. Kalau gue investasi waktu dan duit sekian untuk dapat sejuta like, gue berharap balik modal dong. Syukur-syukur bunga berbunga.

Sejak itu scrolling IG lebih damai. Bukan sirik atau sinis, tapi tahu diri saya nggak punya kesabaran (atau keinginan) untuk menghabiskan waktu dan tenaga untuk dapat foto idaman itu.

Saat kita mampu menapak, mie instan pake telor kita tetap nikmat walau kita scrolling melihat foto spaghetti di Venice. Foto di taman Monas nggak kenapa walau bukan foto di taman Versailles.

Kita bisa tetap menghargai keindahan tanpa takut merasa nggak sanggup berkompetisi, merasa kita terhempas karena 'kurang'. Foto sempurna ya cukup kita lihat sebagai hiburan, syukur-syukur motivasi. Jangan kita biarkan malah jadi penghancur.

Karena semua yang kita lihat di media sosial itu semu. Kita lihat senyumannya tapi bukan kepedihannya. Pada akhirnya, kita semua hanya manusia. Nggak ada gunanya sirik atau nelangsa akan sesuatu yang semu.

Search This Blog