AdSense Page Ads

Sunday, March 14, 2021

Gazebo



I helped my friend built her gazebo today. My friend was a total DIY girl and I learned a lot about tool names and their different usage, but I learned more than that.

Building that gazebo is like building a relationship. (Or is it the other way around?). There's so many parts and pieces. Some were obviously big enough to spot, some were small but mighty essential. Like the screws. You will get screwed for that.

There's sitting together trying to figure out which part goes where. There's the reading the manual together to ensure we both understand what the final product will be. There's a lot of goofing off on the start, only to panicking midway because it seems you wasted precious time.

Then there's the arguing which is the best way to do something. There's the accusations on who misplaced what. There's the tiredness and the feeling this is not going anywhere. There's doubt that you actually going to have it up/finish the project. Like, Ever.

But there's the introduction of new tools to make the project easier. There's the watching YouTube together for help. There's a moment where one realize the project should have been done in a different way, and the other accepted it. 

All of these requires acceptance, actually. Humbleness to understand one is not infallible. Respect for the other party and that their opinion matters too. That they might know and see things we don't. Trust to go the lengthy journey it takes to reach the finish line.

And one of the most important parts that I learned today is the ability to step back for a bit. We take turns to remind each other to take breaks. We also stopped after a certain time. We can keep going but we will be very tired and angry, and we will ended up having negative feeling towards the gazebo.

I mean why not? I am going to helped her to the very end. She knows this. The end goal is there. We see the almost finished product. We agreed on it. A little rest won't jeopardize our project. If anything, it lets us to enjoy the journey; to embrace the experience it offers.

My own gazebo is currently in ruins. It was half-finished and abandoned. I am still weeping knowing I will never see the finished product. I am still angry because I feel I wasted all those time and effort.

Yet it won't be in ruin forever. Once my tears dried I will disassemble this half-build project. I will salvage the parts, fix the ones I can fix, and looking into getting new parts that I can't salvage. And I will set everything in order, ready for the next time someone who wants to build it with me come along.

I will wait. Good things are worth waiting for. And yeah, I am kinda good.

Monday, March 1, 2021

Merdeka



Sepulangnya saya dari wawancara kewarganegaraan siang ini, saya langsung tertidur pulas di sofa. Tidur siang yang niat seniat-niatnya, hampir seperti orang mati; yang bangun tidur grogi dan tidak tahu jam berapa atau saya dimana. Tapi rasanya puas dan lega, seperti tak ada beban lagi. 

Ternyata ini rasanya kebebasan.

Semenjak kami bercerai di Juli 2016, si mantan suami tak henti mengganggu saya. Bahkan setelah resmi menikah dengan istri baru dan diboyong ke Los Angeles, pesan-pesan di blog dan e-mail saya tak berhenti. Kadang berhenti sebentar, tapi ia selalu datang kembali. Semua pasangan saya dikomentari jahat, saya dikata-katai dan dibandingkan dengan istri baru, tapi pernyataan cinta juga tak berhenti. Ini maunya apa sih?

Rasanya saya tak pernah bisa lepas dari cengkeramannya. Bahkan saat saya maju sidang meminta restraining order agar ia tak boleh lagi mengontak saya, ia masih berusaha berkuasa atas diri saya. Untungnya hakim bisa melihat ini dan mengabulkan permintaan saya. Tapi walau menang, saya masih tidak tenang.

Dia masih bisa banding, dan selama sebulan-dua setelah sidang saya sibuk deg-degan menunggu surat banding yang untungnya tidak tiba. Saat di pengadilan ia juga berargumen bahwa ia berhak menghubungi saya karena ia masih sponsor saya dan bertanggung jawab agar saya tak perlu bantuan pemerintah. Sponsor ini hanya berlaku sampai saya bekerja full 10 tahun, atau saya menjadi warga negara Amerika. Jadi selama itu pula saya masih akan terikat dengannya.

Saat itu sebenarnya saya sudah ditengah proses mengajukan pindah kewarganegaraan, tapi jujur saya takut ia akan berusaha menyabotasenya. Dia bukan orang yang akan terima begitu saja 'mainan'nya kabur dan berdasar argument-argumennya di pengadilan, ia tak merasa yang ia lakukan salah. Justru menurutnya saya yang salah. Saya yang membuatnya seperti ini, saya yang menghancurkan cinta kami.

Dan benar saja, salah satu pertanyaan saat interview adalah kenapa pernikahan kami bubar tak lama setelah saya menerima green card 10 tahun. Kalau saja saya tidak punya sekian bukti perselingkuhan dan abuse plus restraining order saya, bukan tak mungkin hasil aplikasi saya dipengaruhi oleh 'bisikan' anonim.

Hidup begini rasanya… sesak. Seolah tangannya selalu ada di leher saya, siap mencekik dan menghukum bila saya tak bersikap seperti apa yang inginkan. Saya merasa saya tidak boleh bahagia. Apapun yang saya lakukan, saya harus mempertimbangkan apa reaksi dia. Tak perduli bahwa kami sudah berpisah dan memiliki pasangan masing-masing.

Inilah kenapa begitu saya lolos interview saya langsung terkapar. Hilang sudah beban saya. Elu mau ngapain gue lagi sekarang? Tidak ada lagi ikatan apapun antara dia dan saya. Tidak ada lagi ancaman bahwa ia bisa menyabotase status imigrasi saya. Sekarang saya bebas. Merdeka.

This is not an easy journey. Ini bukanlah perjalanan yang mudah. Saya berhutang banyak pada orang-orang dekat saya yang terus menguatkan saya. Dan walau sekarang saya bebas darinya, saya masih berjuang menyembuhkan mental saya dari sisa-sisa abusenya.

Tapi itu masalah nanti. Saat ini saya hanya ingin merayakan. Saya bangga dengan diri saya sendiri dan apa yang sudah saya capai. Saya bahagia akan kemerdekaan saya. Good job, Ary. Good job.

Monday, February 22, 2021

Barang Berharga


Sore ini saya menemani seorang pembaca curhat soal emotional abuse selama 2.5 jam di telepon. Pacar saya sampai bingung karena saya terdengar begitu berapi-api. Habis bagaimana lagi? Ini topik sensitif bagi saya.

Kita semua pasti pernah dengar frase-frase ini:
"Bagus cuma diomelin, nggak dipukulin".
"Kamu saja kali yang nggak bisa bikin suami tenang"
"Sudah terima saja. Jangan dimasukkan ke hati."

Satu hal yang saya pelajari dari sekian banyak orang yang curhat sama saya adalah: words matter. Kata-kata itu berpengaruh. Kekerasan fisik luka bisa hilang dengan berjalannya waktu, namun kekerasan mental akan membekas.

Seperti cerita pembaca saya yang terus mengulang bahwa suaminya benar, dia barang rusak yang tidak pantas dicintai. Bagai bibit jamur di hasil panen yang sehat, perkataan negatif seperti ini bila tidak segera dienyahkan akan berakar dan mengular ke bagian hasil panen lain hingga yang tersisa hanyalah onggokan hasil panen busuk yang tak layak santap.

Bukanlah sesuatu yang sehat bilamana kita terus dibuat merasa tak berharga, dibuat merasa kita tidak mampu melakukan apa-apa, atau bahkan dibuat merasa kita lebih rendah dari orang lain. Tak perduli seberapa keren kaya maha ok nya seseorang, ia tak berhak merampas nilai diri seseorang.

Saya berharap para pembaca saya mengerti akan hal ini. Mengerti akan betapa berharganya mereka. Mengerti bahwa semua manusia, termasuk mereka, setara. Mengerti bahwa usaha perampasan nilai diri mereka, apalagi oleh pasangan/keluarga/orang terdekat, bukanlah sesuatu yang sehat atau bisa dimaafkan/dicari alasan.

Mari kita mulai dari sini dahulu. Kedepannya kita bisa membahas bagaimana mengembalikan kepercayaan diri kita, dan/atau bagaimana meninggalkan area dimana kita tidak merasa aman.

Anda semua begitu berharga.
Begitu berharga.

Search This Blog