Kemarin si kangmas mengajak saya ke restoran rooftop untuk merayakan 6 tahun saya datang ke Amerika. Diantara lantunan merdu penyanyi jazz dan pemandangan Hollywood dan sekitarnya, saya seolah terpaku dengan pemandangan di depan saya, si kangmas yang terus tersenyum pada saya.
Saya tuh banyak maunya, makanya setelah bercerai saya hampir nggak pernah punya pacar. Dua kali punya pacar nasibnya cuma 3-6 bulan. TTM juga masa pakainya segituan. Lewat 6 bulan saya sudah hilang sabarnya dan merasa tidak nyaman. Padahal mereka semua orang baik.
Tapi saya mau yang pintar, yang bisa diajak mengobrol sampai larut malam dan nggak malu-maluin saat dibawa ke kondangan. Saya mau yang tahan banting seperti saya, tapi sekaligus penyayang dan pengertian (juga seperti saya). Saya mau yang asyik tapi bertanggung jawab. Saya mau seseorang yang membuat saya nyaman dan pede lahir batin.
Padahal sudah bagus ada yang mau sama saya, iya nggak? Yang penting kan pria itu bertanggung jawab, lahir batin. Syukur-syukur baik dan nggak main tangan. Jadi perempuan kok banyak maunya? Emang elu secakep apa sih, nggak bersyukur banget jadi orang??
Susah sih. Kalau saya ternyata merasa orang ini bukan standar saya, selama saya bersama dia saya akan tersiksa. Bagus kalau cuma akhirnya berpisah, nah kalau malah selingkuh? Bagi orang ini pun, apa iya seumur hidup bersama orang yang tak sepenuhnya nyaman itu adil? Dia kan juga berhak dicintai dan merasa bahagia.
Logika begini tapi seringnya nggak masuk. Yang keluar adalah kita harus bersyukur kalau punya pasangan. Telan perasaan hampa itu. Fokus ke keluarga. Selama sandang pangan papan kita cukup, kita nggak berhak merasa kekurangan. Banyak orang lain yang lebih buruk nasibnya.
Sayangnya saya nggak peduli dengan orang lain. Saya ingin bahagia, titik. Saya tahu resikonya adalah saya akan sendiri untuk waktu lama, tapi itu lebih baik daripada bersama seseorang yang membuat saya tersiksa atau merasa lebih sendiri.
Pasangan itu idealnya bukan hanya melengkapi, namun juga membangun satu sama lain sampai tahap dimana kita berdua lebih joss daripada kita sendiri. Nggak ada salahnya mencari pasangan ideal ini, baik saat single ataupun berusaha agar pasangan mengerti apa yang kita butuhkan.
Tentunya kegagalan itu sangat mungkin, entah karena nggak hoki bertemu dengan orang yang kita idamkan, atau bila berpasangan si pasangan tidak mampu (atau tidak mau) mengerti apa yang kita butuhkan. Bila ini terjadi, kita bisa menerima keadaan atau terus berjuang.
Tapi jangan pernah sekalipun berpikir bahwa kita tidak berhak bahagia. Bahwa kita harusnya bersyukur akan apa yang kita miliki dan kita tidak pantas mendapat lebih. Talak ukur bahagia seseorang itu berbeda-beda. Apa yang kita rasa 'benar' dan 'membahagiakan' belum tentu apa yang ia perlukan.
Jangan menghakimi teman yang sedang mencari kebahagiaannya, namun bantulah ia mendapatkannya dengan cara yang baik. Dia butuh dukungan dan mungkin pengingat agar ia tidak menyakiti orang lain atau dirinya sendiri dalam pencariannya. Dia jelas tidak butuh dibuat merasa lebih tidak berharga,
Karena kita semua berhak bahagia. Harga yang kita bayar untuk kebahagiaan kita berbeda-beda, namun selama kita sanggup membayarnya, kenapa tidak? Jangan memaksakan diri untuk menerima standar orang lain bila itu tidak membuat kita bahagia. Saat terpuruk pun berbanggalah karena kita sudah berusaha membahagiakan orang yang paling penting dalam hidup kita: diri kita sendiri.
Hari semakin larut dan kami pun bergegas pulang, tangan saya digenggam erat olehnya. Saya tersenyum padanya dan ia pun tersenyum balik. Hati saya seolah meledak dalam kebahagiaan. Saya bahagia. Akhirnya.