AdSense Page Ads

Tuesday, May 28, 2019

Under The Green Grass


I am struggling to write pretty things for Memorial Day. Yet I can't find pretty things. Not for this.

Death is ugly. Forgotten death is worse. Being hated in death is the worst.

It's easy to forget where we were coming from. A safe and lush life, a place where lives are not numbered by days or even hours. It's easy to forget to whom we owe this peace.

It's easy to be angry to what seems to be an act of agression or violence, to assume it was done as a collective action where everyone is in agreement. It's easy to forget each has a face, each has a name.

To me, it's not that easy. Indonesia is only 73 years old. All I need to do is walk into one of the musty war museums to cry myself over the pictures and the dioramas. Over the pictures and depictions of the dead soldiers.

They were dead. Their opponents are dead. Songs are sung about their leaders and the surviving leaders easily nabbed a place in the government. But the dead stays dead, and for most, forgotten.

It is not my right to judge these people, for I know nothing about their motives. I know nothing about why the soldiers march to wars, why they choose to be a part of it. I know nothing about them.

What I do know is the grass is green in the cemetery, and the body beneath it nourished the land. What I do know is I choose to recognize what they have fought for and not taking it for granted.

War never ends. Different backstory, same result. It is a game of throne played by different players and utilizing different factors. Yet the dead stays dead. And more, inevitably, is coming.

Let me sat here next to you in your forgotten headstone, covered in rust and hidden beneath the weed. Let me kneel in respect for you in the forgotten battleground, forever lost from human memory.

Thank you for your sacrifices. Thank you for the life you have given, in exchange to ours. Thank you for marching in that battlefield. Thank you, fallen soldiers. May you find peace that you deserves.

Thursday, May 16, 2019

The Mad Queen



I had a very misogynistic discussion with a guy who was committed in saying how terrible Dany is and how great Jon Snow is. It was bad. It was the whole manner of "You don't know any better!" and the seething anger towards women. I didn't even start it, he just come at me out of the blue.

The analogy was also clear. I am Dany and he's Jon Snow. I used to see him for a brief moment a long time ago and I am now in a serious relationship. And they say we women are extra.

My ex-husband did the same thing merely days ago. He kept trying to make me feel worthless and asserted his ownership on me. When I listed the reason why he sucks, he brushed it off and saying I only say that because I am in the midst of moving to a new apartment i.e. not in my best mind.

This is why Dany matters. At least to me.

It's unpleasant to have something choked down our throat when we don't give consent to it. It's unpleasant to have our thoughts questioned because we're women. It is unpleasant to be put down or told to accept things just because of our gender.

It's being blamed for our insanity when we were driven, nay, herded to it and no one bother to stop or save us. It's being accused as a bad person when we choose to stand up and not taking the abuse any longer. It's being called crazy when we finally had enough with the abuse and neglect and just flipped out.

Just like Dany, we women will pay for it. The worst we can do is key someone's car and the worst men can do is killing us, but we're the cuckoo ones. One moment of insubordination and we will pay for it as long as we live. Because being broken is unaesthetic. Because bitch be crazy.

Each one of us women probably have experienced that moment, where Dany was on the back of her dragon with an anguish look in her face. It was a fight or flight moment, where she could have just fly out in peace or throw herself in the fiery flame that will destroy everyone even the innocents.

Sometimes we can have the strength and the logic to take flight instead. Sometimes we choose to indulge and torched everything down, knowing fully well we'll be burned as well. Whatever we choose and regardless of the consequences, it doesn't negate our feeling or why we choose that path. 

Let the dragons fly again. Let us be feared if they won't learn to love. Let the ashes fall like snow.

Thursday, May 9, 2019

Raden dan Ratna




Lelaki muda itu menunduk pasrah. Dia yang parasnya begitu menawan, yang membuat para wanita histeris hanya dengan kehadirannya, kali ini berharap ia tak setampan itu.

Ruang tamu itu hening, walau kedua orang tuanya duduk di sofa berhadapan dengannya. Isak tangis ibunya sesekali terdengar, yang walaupun lirih terasa seperti dentuman meriam di telinganya.

"Pah..." Ia memberanikan diri membuka percakapan. Ayahnya hanya diam, dengan pandangan mata yang menusuk. "Pah, Raden bisa jelaskan..."

"Apa yang mau kamu jelaskan?" Tukas ayahnya. Ibunya menangis lebih keras.

"Ini tidak seperti yang Papa pikir."

"Memang kamu tahu Papa pikir apa?"

Ia menunduk kelu dan menyumpahi dirinya yang terlahir rupawan. Ia menelan ludah. 

"Aku tidak meniduri Melati." katanya dengan tegas, bersyukur bahwa ia tidak membasahi celananya.

Ibunya terisak makin tidak terkendali. Ayahnya masih menatapnya dengan amarah yang tak tertutupi.

"Tiga orang, Raden. Tiga orang yang melihat kamu telanjang di tempat tidur bersama Melati," bisik ayahnya. Ia pun panik.

"Pah, itu teman Melati semua! Raden bahkan tidak pernah sekamar dengan Melati!!"

"Diam kamu!!" Suara tamparan bergema kencang di ruang tamu. 

"Kamu membuat malu keluarga!" Suara tamparan lagi.

"Beraninya kamu meniduri seorang wanita tanpa menikah! Binatang apa kamu?" Suara tamparan lagi, kali ini berulang kali.

"Cukup, Pah," seru ibunya tegas. "Bila berbekas, semakin buruk kita di mata tetangga."

Suara nafasnya yang menahan tangis dan sakit memenuhi ruangan, sebuah melodi tragis yang bercampur dengan suara nafas ayahnya yang menahan amarah.

"Raden," panggil ibunya dingin, "Kamu tahu kamu itu apa?"

Ia tidak sanggup menjawab diantara kesakitan yang ia rasakan. "Saya laki-laki, Mah," ujarnya lirih.

"Laki-laki. Kamu laki-laki. Sumbangsihmu pada dunia hanya membuahi dan menafkahi."

Ia menangis pilu. Ia tahu apa yang akan ibunya katakan.

"Papa Mama membesarkanmu agar kamu bisa menjadi pasangan bagi wanita yang baik, yang mampu melahirkan dan membesarkan anak-anak yang baik pula."

Airmatanya makin tak terbendung. Ia telah gagal sebagai anak.

"Kami menyekolahkanmu agar kamu bisa cukup pantas menjadi seorang suami, yang mampu menafkahi dan merawat keluargamu. Kamu hanya harus menjaga kehormatanmu, kehormatan keluargamu, dengan tidak berlaku seperti binatang."

"Mah, Melati bohong!!" Teriaknya.

"Diam kamu! Beraninya kamu berteriak pada saya, ibumu!!!" Jerit ibunya.

"Kamu hanya harus mempertahankan kehormatanmu, karena hanya itu yang bisa kamu persembahkan sebagai bukti harkatmu dihadapan calon pasanganmu!"

"Mah, Melati bohong!!!!!"

"Dan kamu gagal!!!! Kamu gagal!!!!!!"

Mereka berdua terisak. Sang Ibu dalam amarah, ia dalam kepahitan.

"Sekarang semua akan berpikir Papa Mama tidak sanggup mendidik anak. Anjing saja bisa diajar untuk tidak makan yang bukan haknya, kamu bahkan tidak bisa menahan nafsumu."

Ia terisak. Kekecewaan ibunya begitu dalam ia merasa lebih terluka daripada terkena tamparan keras ayahnya.

"Cuci mukamu dengan air dingin," perintah ibunya. "Kamu akan naik pelaminan bersama Melati akhir minggu ini. Jangan sampai merahnya membekas."

"Mah, jangan!!" serunya panik, "Mama nggak bisa begini sama Raden!! Raden mohon, Mah!!"

"Raden sudah menjaga kehormatan Raden demi Ratna. Kami sudah berencana menikah! Raden mohon Mah, jangan paksa Raden menikahi Melati!!"

Ibunya hanya berdiri diam tanpa ekspresi.

"Pah, tolong Pah. Tolong Raden!! Melati bohong!! Melati sengaja menyebarkan berita ini karena tahu Ratna lah yang Raden cintai. Tolong Raden, Pah!!!"

Ayahnya melihatnya dengan sedih.

"Kalaupun benar seperti yang kamu bilang," kata ayahnya, "tidak ada bedanya. Semua orang sudah mencapmu kotor dan tidak ada harganya."

"Tapi Ratna... Ratna tidak akan melihat Raden seperti itu. Ratna akan mengerti apa yang terjadi."

"Dan kamu pikir keluarga Ratna mau menerima kamu yang ternoda begini?" Tawa ibunya histeris. "Kalaupun Ratna mau menerima, kamu rela dia dicibir dan digunjingkan seumur hidup karena menerima barang bekas?"

Ia terdiam. Terdiam. Lalu ia menjerit frustrasi. Terus. Terus. Terus.

Ibunya beranjak pergi tanpa menoleh pada anak satu-satunya yang sekarang meringkuk di lantai, yang luka hatinya lebih menyakitkan daripada bibirnya yang berdarah dan pipinya yang penuh bekas tamparan.

Namun ayahnya tetap duduk di sofa, menunggu hingga teriakan dan isak tangis anaknya mereda sebelum beringsut duduk di lantai, membelai punggung dan kepala anak tercintanya.

"Nak," katanya pelan, "ini nasib kita sebagai lelaki. Kamu mungkin tidak mencintai Melati, tapi ini satu-satunya kesempatanmu untuk setidaknya hidup terhormat.

Papa tidak ingin kamu dikucilkan, dilecehkan, walau Papa yakin kamu berkata yang sebenarnya. Ini lebih baik daripada hidup sebagai pariah, sebagai orang buangan."

Ia terus terisak. "Ratna..." Bisiknya. "Ratna..."

Ayahnya mengusap airmatanya yang juga mengalir.

"Sabar ya nak. Alihkan cinta kasihmu yang tak sampai pada anak yang nanti akan kamu miliki bersama Melati. Inilah tugas mulia kita sebagai lelaki, menjaga dan merawat keluarga kita."

"Papa minta maaf," tambah sang ayah dengan suara tercekat, "Papa minta maaf karena tak mampu menjagamu dari dunia yang tak adil ini. Papa tak mampu memastikan kebahagiaan yang patut kamu dapatkan. Papa minta maaf, Raden. Maafkan papamu yang lemah ini."

Ia mengangkat kepalanya dan melihat ayahnya yang berurai air mata. Ia memeluk ayahnya dengan erat, dan mereka pun menangis berdua.

Search This Blog