AdSense Page Ads

Saturday, June 6, 2020

Support Team

Saat diskusi tentang rasisme, saya bertanya pada Kangmas yang lahir besar disini kenapa orang Cina/Asia (timur) dibenci? Karena disini memang ada sejarah orang Asia (timur) dipersekusi. Bahkan saat rusuh begini kita orang Asia cenderung dicuekin. You are on your own lah istilahnya.

Kangmas cerita karena imigran Asia disini, terutama Cina dan India, begitu mampu disini langsung menarik kerabatnya. Inilah asal mula Chinese food ala Amrik, sebenarnya. Imigran Cina sempat di-banned masuk, hingga di tahun 1915 mereka boleh masuk dengan visa pedagang. Jadilah mereka buka restoran agar sanak saudara mereka bisa berimigrasi ke Amrik dengan alasan membantu restoran.

India terkenal dengan membuka SevEl alias 7-11. Makanya di kartun The Simpsons yang punya grocery storennya distereotipkan orang India. Kangmas cerita, pemilik SevEl dekat tempatnya mengajak kerabatnya datang, sekeluarga bekerja bersama, uang keluarga dikumpulkan untuk beli SevEl berikutnya, dan seterusnya.

Tapi orang kan nggak melihat itu. Yang dilihat mereka berusaha mendominasi ekonomi, jadi yang lain merasa terancam. Yang dilihat sukses, punya duit, sementara ras lain seperti yang kulit hitam dan hispanik hidupnya nggak sesukses itu karena kulturnya bukan whole family first. Yang kulit putih pun terancam karena etos kerja Asia yang terkenal ga ada matinya. Kanan kiri kena kan?

Saya membayangkan sih, apa jadinya kalau kita Indonesia setokcer itu, sebegitu kuatnya untuk (whole) family first? Apa jadinya kalau kita mengesampingkan ego kita untuk menjadi the best dan mau rendah hati membantu membangun sesama tanpa perlu bayaran eksistensi?

Karena buka bisnis di Indonesia bukan hanya perlu modal uang dan energi, tapi juga mental. Harus siap disirikin bahkan oleh orang dekat, dinyinyirin, dan pastinya dimintai sample gratis atau diskon super miring. Atau yang paling stres, sengaja dicuekin seolah bisnis kita nggak ada.

Sebaliknya, kalau kebetulan orang yang dianggap the star of the show walau barang/jasanya jelek pun akan dikejar. Balik lagi ke soal eksistensi diri, kita butuh pengakuan bahwa kita teman baik atau setidaknya berpartisipasi bersama si orang kaya/sukses/seleb ini.

Contohnya di salah satu WA grup saya. Sesama minoritas padahal, tapi saat yang promo yang bukan "approved list" heningnya mengalahkan kuburan. Saat yang promo yang dianggap wokeh semua saling bersahutan. Padahal ketiga orang ini produknya beda-beda, apa susahnya sih saling mengangkat?

Indonesia itu negara berpenduduk terbesar ke 4 di dunia. Kita juga terus diingatkan betapa kayanya Indonesia, baik dari segi sumber daya alam, posisi geografis, dan juga sumber daya manusia. Kebayang nggak apa yang bisa kita raih kalau kita maju bersama? Susah ya.

Ada rasisme dan sukuisme yang mendarah daging, yang kita hanya percaya suku kita. Di sisi lain, ada juga ketakutan nanti kita kalah beken dari orang ini, yang lagi-lagi wajar karena bawaan jaman dulu kala dimana mobilisasi status sosial terbatas sehingga naiknya status sosial orang lain bisa membahayakan status sosial kita.

Tapi sekali lagi, itu kan dulu. Di era dimana dunia seolah tak berbatas ketakutan ini tidak lagi valid. Orang Papua yang anda anggap kasar dan anda tak sudi berbisnis mungkin punya e-business sukses dengan klien dari Eropa. Mas-mas rumah seadanya di desa bisa saja programmers handal yang juga punya berbagai homestay di daerah turis.

Anda nggak bisa lagi menjegal pesatnya seseorang hanya dengan tidak mendukungnya atau bahkan berusaha menjatuhkannya. Dan kalaupun bisa, buat apa? Mobilisasi status sosial sekarang tak terbatas. Nggak usah takut nggak kebagian.

Yang harus anda lakukan hanya jadi support team. Kalau barangnya masih terjangkau dan kita memang perlu ya ga kenapa bantu beli. Kalau nggak perlu atau nggak terjangkau setidaknya bantu menyemangati. Jangan pura-pura nggak lihat. Support mental itu penting banget lho.

Dunia sudah berubah. Kita yang masih kekurangan empati dan simpati malah akan dianggap kuno, dianggap kampungan dan terbelakang. Mungkin tidak sekarang tapi pasti kedepannya. Katanya kita mau maju. Atau masihkah kita mau bertahan di masa lalu?


Thursday, June 4, 2020

Api dan Airmata



"Hey, ditempatmu aman?" tanya teman saya pada mantan istrinya di telepon. "Ok, tetap pantau kondisi ya. Kalau ada apa-apa langsung angkut anak-anak dan bawa ke tempatku. Kamu masih ada handgun pacarmu kan? Satu tembakan ke udara sudah cukup harusnya untuk membuat mereka berpikir."

Saat itu saya terdampar di tempatnya setelah nongkrong main board game. Malam sebelumnya LA sudah menerapkan jam malam pukul 8, namun ternyata hari itu jam malam dimajukan ke jam 6 sore. Saat makan malam bersamanya kami melihat tayangan TV dimana orang-orang sibuk menjarah. Memori Mei 1998 pun terbangun.

Kalau ditanya apakah saya takut, mungkin nggak ya. Saya rasa saya lebih takut waktu Mei 1998 daripada sekarang. Ini kan ceritanya people of color yang teraniaya, jadi saya yang juga dianggap person of color (bukan kulit putih) logikanya nggak akan diapa-apain. Sementara waktu Mei 1998 saya yang Hindu ditanya apakah saya Muslim. Nah.

Alih-alih merasa takut, saya justru merasa sedih. Sedih melihat kota saya jadi arang. Sedih mengetahui ada sekian banyak bisnis yang akan tutup, dan bukan hanya pemilik namun pekerjanya juga akan kehilangan mata pencaharian. Sedih mengetahui ada sekian banyak orang diluar sana yang terdampar karena semua bus berhenti beroperasi saat jam malam dilaksanakan.

Saya juga sedih mengetahui akan ada banyak orang yang justru berbalik membenci protes ini dan bukannya mendukungnya. Akan ada banyak orang yang mengasosiasikan orang kulit hitam dengan kekerasan karena penjarahan yang terjadi. Akan ada orang-orang yang setelah terkena dampak kerusuhan malah menjadi (makin) rasis.

Seperti biasa hater berpesta-pora, dan saya juga sedih. Orang-orang yang nggak suka Amerika mulai pamer postingan "Lihat Amerika jatuh. Ha ha ha." Atau yang berpikir betapa ganasnya para polisi di Amerika dan betapa tak beradabnya mereka. Padahal ada lho daerah-daerah yang saya orang kulit berwarna pun nggak berani lewatin, atau kalau harus di daerah itu rasanya deg degan terus. Compton, Watts, South LA. Kalah jauh deh terminal Grogol.

Tapi wajar ya. Indonesia pun mendapat perlakuan yang sama saat ada kejadian besar. "Maklum, negara dunia ketiga." "Untung gue nggak tinggal disana." Atau yang lebih parah, "Muslim hellhole. Syukurin." Eits nggak boleh marah. Seberapa banyak dari kita yang akan bilang wajar Amerika sengsara karena "sarang setan LGBTQ"?

Lebih mudah menghina, mencela saat kita jauh; juga saat kita sudah tidak suka saja titik nggak pakai koma. Lebih mudah juga menggunjing saat kita nggak perlu berkaca. Miris saja sih mau ngatain Amerika rasis biadab sementara tiap ada komen soal Cina jawaban standarnya "Elu Cina mau gue jarah perkosa lagi kayak Mei 98?" Atau yang "Maaf, kamu agamanya apa?" karena kalau nggak seagama nggak usah diajak bicara. Atau yang melecehkan saat fisiknya nggak sempurna. Bukan hanya kaum difabel, tapi juga yang terlihat unik seperti orang Papua atau orang Sumba.

Ngelihat orang-orang Indonesia disini protes pun rasanya campur aduk. Di satu sisi sedih karena tahu di Indonesia kekerasan pada minoritas masih umum, jadi kok kelihatan munafik. Di sisi lain senang karena paling nggak disini mereka bisa protes tanpa takut dibacok. Di Indonesia protes anti kekerasan pada minoritas mana ada yang berani. 

Dan itu sih bedanya dengan Amerika. Mau berita seganas apapun tapi faktanya tetap lho semua orang ikut protes, bukan cuma yang teraniaya. Bahkan movementnya disini sampai pada tahap kalau kita nggak ikut tergerak kita yang orang jahat. Kebayang nggak kalau di Indonesia semua orang seperti ini membela Jamaah Ahmadiyah atau melawan pembubaran Gereja? Atau rusuh di Ibukota karena orang Papua/Kalimantan/Pedalaman ditembak polisi (sewaan) pembuka lahan/pengusaha tambang?

Bukan berarti disini nggak ada rasisme. Rasa tidak suka antar ras itu ada. Saya yang kemana-mana naik bis melihat (dan mengalami) rasisme dari berbagai ras. Tapi lebih banyak orang yang baik sama saya tanpa melihat ras saya daripada orang yang brengsek. Dan ini yang saya harap akan lebih menjamur di Indonesia bagai panu di orang yang nggak mandi berhari-hari: orang-orang yang melihat orang lain sebagai sesama manusia, serta berani berdiri menentang kezholiman walau bukan mereka yang dizholimi dan walau tahu mereka bisa sengsara karenanya.

Api yang sekarang membara nantinya akan padam, begitu pula toko-toko yang dihancurkan akan dibangun kembali. Saya hanya bisa menanti dan melihat apakah ada perbaikan akan ketidakadilan yang dilakukan terhadap kaum kulit hitam, akan perubahan di kepolisian untuk memastikan mereka tidak bisa semena-mena. Saya yakin akan ada perbaikan, karena masyarakat memang menginginkan itu. Indonesia bagaimana? Belajar apa dari Amerika?

Wednesday, June 3, 2020

Blackout Tuesday



Black Out Tuesday

A fellow Asian immigrant confessed that she doesn't understand about Black Lives Matter. I told her neither do I. 

We don't care what your color is, to us you are all strangers. It is also very confusing. Black has their own groups that no other race can join (so does Asian and pretty much every race/ethnicities), so why would you want to be in the white people's group? And why only blacklivesmatter? I am not black, so I don't matter? I don't understand what it's like being black, but I don't think anyone other than ourselves know what it's like to become an Asian immigrant.

But I still put that black profile pic up. #BlackOutTuesday

This is for the people I met on my commute to work in Los Angeles, the homeless and the vagrant who are disproportionately black. That one man whom I met several time and asked for a hug. That one woman whom I was annoyed with because of the body odor, which quickly turned into horror seeing the diabetic gangrene on both of her legs. The people who has to try to sleep on the bus and on the train to keep themselves from the element out there.

This is for the people I met in my apartment. The old man and his wife who called us and gave my stepson banana every time they hear his voice down the corridor. The young man with his pretty little daughter that stays with him every weekend. The prostitute (?) who made me blush when she said earnestly, "You are very beautiful" and I wished the night won't be so rough on her.

This is for the man I went on a date with, probably one of the most well-spoken and well-mannered men I have ever known. The partner of my ex-husband's coworker who put it bluntly to him during dinner "You are disrespecting your wife" when my ex-husband was busy flirting and making sexist remark during our casual dinner. The opera singer that made me squeal with joy when I saw his name on the cast.

This is for all the feel-good stories, all the overcoming-challenges stories that I have read. Stories like HONY's Mott Hall Bridges Academy. Stories like the teen that got a wrong text invitation for Thanksgiving dinner and it becomes their tradition, still going strong after fourth years. Stories that shows a true character of a person and how well their parents and/or community taught them. Stories that should be applauded regardless of the skin color of the do-gooder.

I don't know much about being black, but I know much about being privileged. I know the privilege of having a smart brain and a stable household that allow me to develop the said brain. I know the privilege of going to a swanky nerd school and was able to hone my social skill to the max. I know the privilege of looking attractive enough to let people lower their guard down (this feature only work in select countries). I know the privilege of knowing that come what may, I will survive.

Am I oppressed? Oh yes. I was oppressed, but not the "They all will come to get us!" oppressed. An ex of my ex told me that he is hurting us because of his white supremacist mentality. I just think he is predator and will prey on people who are weaker than him, regardless of their skin color. Yet what a horrible way to have to feel or think that way all the time, to be chained to where you are and unable to be free.

Black lives matter because, well, it matters. Because the people I met matters. They deserve a life without fearing prosecution. They deserve to be able to hope and dream, to be someone instead of just number in the statistic. They deserve to be themselves and not seen based on their skin color. We all do.

Someone posted what happens after this. That's a good question. Realistically, no amount of scholarship or preferred hiring will help if we don't give a chance for the kids to grow. No matter how much fertilizer you put the chance of a rose garden blooming from a patch of asphalt is pretty darn low. What they need is what we have right now: access to good education, access to financial services (bank instead of check cashing or loansharks), access to a safe community where children can be adult and realizing plus utilizing the options they have.

And it's a team effort. There is so much others can do if the other party does not help. We have reached this fork on the road where we need to ask ourselves: what can we do for ourselves and for others. Because this circle of violence has to stop, and smiles and hashtags are just not enough. They need hope. They need a way out. 

A way to do this is to vote. Vote for people who actually care. Vote for people who have the right goal in mind and able to tell you steps to achieve that goal. Vote for people who will fight for those in need without fearing losing their seat/position. And if your champion can't or don't have what you want, tell them what you want to be done. 

Remember we need structural changes, access to opportunity and safe community. We need to make what is available to others available for them too. Because after the fire dies down, we still need to build that way out, that stepladder for equality. We've got a long way to go, so roll up your sleeve and let's do this.

Search This Blog