AdSense Page Ads

Friday, December 8, 2017

Self-Love dan Transformasi Impian

Foto transformasi saya dari tahun 2013 ke 2017 itu lumayan mencengangkan lho. Sekarang sih lebih ndut paling ga 5 kg, tapi yang mukanya jauh lebih segar, lebih ceria, lebih pede. Saat kita tahu bagaimana menghargai diri kita, akan terlihat bedanya.

Saya yang di 2013 penuh keraguan. Suami ganteng (uhuk-uhuk), tinggal di Amerika, kisah cinta yang seperti di dongeng, tapi tetap nggak pede. Kebahagiaan saya saat itu tergantung kebahagiaan pasangan saya. Kalau dia nggak bahagia, berabe saya.

Konyol? Banget. Kita kan nggak bisa membuat orang lain bahagia. Kalau dirinya sendiri pundung/bete atau nggak mau hepi, bukan tugas kita untuk membuatnya, apalagi memaksanya bahagia. Bodohnya saya percaya kalau dia nggak bahagia, saya yang 'kurang'.

Ini ketidakpedean yang berakar sejak lama. Di Indonesia, diledek kumel, gendut, hitam, dan segala ejekan lainnya dianggap biasa. Diskriminasi kalau kita nggak sesuai 'standar' pun biasa, padahal siapa sih yang bisa terus tampil seperti model, apalagi yang ga bermodal?

Sekalinya kita dapat pasangan, kadang keluarga pasangan masih yang: "emang ga bisa cari yang putihan?" Padahal cuma sanggup ngemodalin motor, gimana mau terus putih. Kita negara tropis juga kali, wajar kulit gelap badan bohai.

Pas dapat bule, lagi dihina: "Ish wajar, muka pembantu. Bule kan demen muka pembantu." Yeah, tapi kalo jadi 'pembantu' yang disayang dan dihargai seperti perhiasan berlian kan lebih mending daripada jadi istri 'terhormat' tapi diperlakukan sebagai pembantu beneran.

Sayangnya, walau logika tahu dan bisa membantah diskriminasi dengan lancar, hati lain cerita. Dapat akang yang lumayan ganteng ga membantu kepedean saya. "Gimana kalau dia tahu saya nggak sebagus itu?" "Gimana kalau dia kenal yang lebih cantik?"

Akhirnya ya itu: muka penuh keraguan yang sama sekali nggak menarik. Saat kebahagiaan saya tergantung orang lain, tanpa sadar saya menjadi terpenjara. Dunia saya adalah dia. Walaupun ini terdengar romantik, namun ini sebenarnya nggak sehat.

Di buku "Dear, Mantan tersayang" saya menjelaskan tentang pentingnya self-love, mencintai diri sendiri. Saya belajar ini dengan kepahitan hahaha. Saat ketidakcocokan saya dan pasangan semakin membesar, saya dipaksa belajar untuk berinteraksi dengan diri saya sendiri.

Jangan ditanya perihnya saat itu, segala "Kenapa sih dia nggak sesayang dulu?" dan semua perasaan bersalah saat saya tahu saya bisa bahagia tanpanya. Tapi perlahan tapi pasti, bukan dia dan kenegatifan yang mendefinisikan saya, namun sikap positif saya dan tanggapan lingkungan yang positif. 

Saya nggak perlu lagi berharap dia perduli, karena ada banyak orang yang perduli. Saya nggak perlu lagi takut dia pergi, karena saya tahu saya sudah memberi yang terbaik, jadi kalau dia pergi ga ada lagi yang bisa saya lakukan. Saya tidak lagi harus hanya bahagia bila ia bahagia. 

Semua diskriminasi yang membuat saya trauma pun tak lagi melukai saya, karena saya belajar untuk nggak ambil pusing. Bawaan lahir begini, mau diapain? Saya tahu apa yang bisa saya berikan untuk pasangan saya, kalau ditolak karena mencari fisik sempurna ya sudah.

Kedengarannya egois, tapi ini masuk akal. Seperti yang saya jelaskan di buku saya, saat kita menyayangi seseorang kita pastinya ingin memberikan yang terbaik; nah kalau kita sendiri nggak merasa kita yang terbaik, berarti kita memberikan barang cacat dong?

Saat kita merasa bahagia dan nyaman dengan diri kita sendiri, saat itulah kecantikan alami kita bersinar. Kenali diri kita sendiri, berdamai dengan diri kita sendiri, sehingga apapun yang terjadi kita tahu dan mampu tetap teguh berdiri, bukannya terpuruk menangis di lantai.

Bayangkan memberikan pasangan sekeren ini ke pasangan kita, top banget nggak sih? Seseorang yang bisa ia andalkan, yang bisa ia kasihi dan puja. Seseorang yang mampu membuatnya bangga dan merasa sebagai manusia yang utuh dan sangat beruntung. Whoa…

Hubungan saya saat itu sayangnya tidak terselamatkan. Ketidakcocokan semakin membara, yang membawa ke perselingkuhan dan akhirnya perceraian kami. Kalau mau jujur, tanpa selingkuh pun sebenarnya kami sudah tamat, sebagaimana kisah perselingkuhan lainnya.

Apakah saat itu saya menangis? Banget. Satu-satunya saat dimana saya merasa benar-benar ingin hidup saya berakhir. Tapi hidup saya nggak berakhir disitu. Pengetahuan akan kelebihan dan kekurangan saya, kepercayaan diri yang saya pupuk, sayangnya saya pada diri saya dan kesadaran bahwa saya berhak mendapat perlakuan yang baik, semua ini membuat saya tetap teguh berdiri.

4 tahun setelah foto itu diambil, saya berfoto sekali lagi di depan pohon natal. Senyum lebar penuh percaya diri, kebahagiaan dan rasa tak sabar untuk memulai petualangan baru, itu saya. Saya yang percaya dunia penuh kebaikan dan kebahagiaan, saya yang siap membagikan kebaikan dan kebahagiaan pula, apa lagi yang kurang?

Bagi yang saat ini masih terpuruk, apapun alasannya, tegakkan punggung anda dan angkat dagu anda. Percayalah, semua yang buruk akan berakhir. Lihat kedalam diri anda dan jadilah teman terbaik diri anda sendiri. Ingat, teman yang baik akan memberitahu kelebihan dan kekurangan anda, menjadikan anda 'penuh'.

Karena pada akhirnya, hanya diri kita yang bisa kita andalkan, bukan orang lain. Karena mencintai dan menghargai diri sendiri membuat kita terlihat begitu berharga, dan jelas sangat menarik. Karena kita berhak bahagia tanpa merebut kebahagiaan orang lain, atau tanpa kebahagiaan kita direbut.

12,800 km jauhnya dari rumah, dan saya masih bisa tertawa lepas. Semua yang pernah saya miliki, semua impian saya, semua hilang, namun saya tetap tersenyum. Karena saya sekarang memiliki impian baru, saya memiliki pengalaman baru, dan yang lebih penting: saya memiliki diri saya sendiri.

Angkat dagumu dan tersenyumlah, teman terkasih. Kita masih punya Tuhan, dan kita masih punya diri kita sendiri. Jangan terhempas dan terserak. Kita lebih kuat dan lebih berharga dari yang kita kira. Salam sayang dari Los Angeles.

Btw, jangan lupa beli bukunya ya hihihi. "Dear Mantan Tersayang" tersedia di toko buku besar atau via Gramedia Online. Lumayan banget untuk yang mau belajar self-love dan membina hubungan yang sehat. Stay strong! I

Thursday, December 7, 2017

Hello Boy

I wrote, read, delete, then wrote that damn text again for so many times. I paused for more than I should before hitting the send button. I reread the text again, deleting it, revising it again, and still paused. This is too hard.

I have always been lucky in love. It was never hard or a chore for me. Dates that matter, the ones worth remembering, those were always swift. Often times it only took a week or so of intense texting before we met and sort of hit it off. 

And we will hit it off. I am the epitome of Taylor Swift's "Blank Space", minus the crazy part. Well, some say that too. It's easy either because the people I dated know what they want, or because I know what they want. Maybe even both.

I look at the phone again, frustrated and unsure what to do. This is a child's play, I cuss. I ain't got time for things like this. I told my friend: "This is not normal! Why does it take so long?!" She gave me a weird look, "What are you talking about? This is the normal dating procedure."

Apparently 'normal' is the courting period where each will exchange text now and then, trying to look like we're not too desperate for each other. Normal is probing each other gently, to gauge interest so to speak. Normal is actually getting to know each other before committing to anything.

As someone who was in a relationship after 2 weeks of talking, and pretty much confirmed to get married by the end of the 3rd month, I was shooked. I have no idea that that's how dating work. For real. Apparently, this is 'normal', and my speedy relationships were not. 

All of them were pretty darn impressive, mind you. I learned a lot from each of them. I have had a fiery love that will burn the world down, a loving love that will shield it, and even a trusted love whom I feel I can take over the world with. 

Within the last 12 months, I have learned a whole lot more. I learn that I am attractive. I learn how to divorce and how to dump a guy. I learn how to have preferences and how to stand by my standards. I learn how to love myself. And now, I am learning how to do 'normal dating'. 

Which, apparently doesn't involve getting proposed by the first week. Or have daily texts at least once a day. I finally understand why my friend was all aglow when she talked about having a two-hour phone conversation with her crush. Back then I was like, "Wait, that's not normal? I did that every day with [insert name here]…."

I checked my phone again. No reply. This is frustrating. Yet at the same time, this is exciting. Does he like me? Does he not like me? Is he playing hard to get? Do I come across as too desperate? It feels like standing on the dance floor with a stranger, not knowing what song will be played next. And dammit, it feels so good.

I have had the luxury of experiencing loves that were pretty much straight out of novels or storybooks; not only once, but several times. Heck, one was made into two books. By this time, I am not looking or worry about happily ever after because I know can always make my own happiness. This is yet another adventure, which I am thrilled to go through.

An Instagram message popped up. I repressed a smile, which inadvertently turned into a silly grin. We're dancing in the dark, full of expectation, threading with caution, with invisible butterflies around us. Come what may, I will remember this feeling. Come what may, I will cherish this experience. 

Hello boy, wanna dance?

Tuesday, December 5, 2017

The Lonely Heart

The dapper girl looked blankly at the room around her. The slight rosy tinge that colored her cheek was a stark contrast to her pale skin. Her heavily-lined eyes and the red, red lipstick added even more shock of color. Yet she still looked so fragile, so innocent.

The glittering hairpiece on her thin blond hair, the glamorous curls that accentuate her face and leaving her neck bare opened, all carefully put together to enhance her features and tantalized her audience. She was a masterpiece, a diva, a star. 

Yet she pulled her thick fur coat even tighter around her, hiding the shiny expensive dress she wore underneath it. One arm beneath the coat, and another grasping the opening of the coat desperately, as if it was a shield that protects her from the evil outside.

The crowd was there, she knew it. She could hear them calling out her name, feel their energy and excitement. Even in the most hushed parties, she could still see them eyeing her, approving her, adoring her. She's seen it all. She knows it all. 

But the coldness was still there, the hole that no one understands. The chance meeting with her long-gone ex-lover opened up the abyss inside her. What if she could pull it through? What if they didn't separate? Why won't, can't, he loved her back?

Deep inside the shards of the knife still exist, the cold sharp blade that turned her heart into ice. At times her heart will be filled with glow and warmth that she'd forget that the shards existed, and other times she was struck down by them, sent to the debilitating coldness.

Guilty till proven innocence, she whispered. A grimace ran across her face, a painful reminder of the abyss inside. The beautiful eyes tainted with a wild, desperate expression. Trust no one, she chanted. Trust no one. Beneath the exquisite look a beast ready to spring.

"Miss Daisy!" someone called, "Are you ready??" The door opened and a gentleman walked in, arms covered in fiery orange roses, her favorite. Her assistant scrambled to gather the roses from him, and her makeup artist run inside to gave her the finishing touch.

Her gentleman bent over and kissed her cheek ever so slightly, sending a shiver down her spines. "You look lovely," he murmured. She blushed prettily and smiled with excitement, and one can barely notice the wildness in her eyes or the cold empty abyss inside.

"Miss Daisy!" They called her again. She touched his cheek gently with her gloved hand and saw passion sparked in his eyes. She smiled. He too, shall pass. She rose from her sofa, letting her fur coat fall, and stood with grace. It's time. The world is her stage, and she'll take it by storm.

"Will you still love me
When I'm no longer young and beautiful?
Will you still love me
When I got nothing but my aching soul?"

Search This Blog