AdSense Page Ads

Friday, October 24, 2014

IKEA, KFC, dan Budaya 'Makan Brand' Orang Indonesia

Jadi menurut postingan Mbak Jihan, blogger favorit saya, di medsos beredar tulisan yang intinya "Mereknya sih IKEA, tapi kelakuan Indonesia". Waduh.

Sebenarnya sudah agak lama saya ingin menulis tentang IKEA di Indonesia, dari semenjak saya baca berita tentang IKEA yang dibuka di Alam Sutra dan mengecek harga-harganya yang bikin melotot. Bayangkan saja, beberapa item yang saya lihat di katalog IKEA Indonesia bedanya bisa sampai sekitar Rp 450,000 ($45) dengan harga IKEA disini. $45 itu lumayan lho, bisa buat masak 4 hari untuk berdua disini. Rp 450,000 di Indonesia mungkin bisa masak dua minggu atau bahkan sebulan untuk berdua. Padahal itu barang produksi Cina juga, bukan buatan asli Denmark. Dan lagian, buat apa juga beli IKEA sementara pengrajin lokal bisa bikin dengan kualitas lebih bagus?

Disini IKEA itu bukan barang mewah, IKEA itu justru dianggap ringkih dan kurang bagus. Saya belum pernah ketemu orang sini yang dengan bangganya "Saya beli IKEA lhoo!!". Bukan berarti IKEA jelek ya, tapi IKEA itu terkenal bukan karena brandnya, melainkan karena low cost dan space saver. Disini banyak sekali blog-blog yang isinya bagaimana mendesain rumah/apartemen mungil dengan menggunakan produk-produk IKEA karena harganya terjangkau dan anda bisa modifikasi sendiri sesudahnya. Prinsipnya anda datang, pilih produk, bawa produk pulang, bangun sendiri. Manual book nya juga pake gambar, bukan tulisan; jadi benar-benar idiot proof gitu. Set lemari/partisan seri KALLAX yang kami beli di IKEA lebarnya 3 meter dan tingginya sekitar 1.5 meter itu muat masuk di mobil VW Golf compact kami yang mungil, bahkan plus beberapa pernak-pernik. Hitungannya murah (menurut orang sini) karena mereka menghilangkan biaya pengiriman, biaya assembly, dan biaya asisten toko. Sekedar gambaran, harga produk jadi di toko lain (bahkan Walmart yang terkenal lebih jelek lagi) itu bisa 2-3x lipat harga yang kita bayar di IKEA, belum lagi ongkir dan uang tip petugasnya. 

Masih ga percaya? Kalau mau IKEA anda diantar ke rumah, disini biayanya start dari $59 (catet, start ya... jadi sangat amat mungkin lebih tinggi lagi biayanya); kalau malas pergi kesana dan mau pesan online/via telp, biayanya start dari $99 (biaya delivery start dari $59, biaya petugas IKEA mengambilkan barang dari gudang $40); kalau sudah begitu mau minta ada yang assembly juga, biayanya start dari $79. Jadi ga mungkin ada orang yang beli IKEA demi brand name belaka, karena hitung-hitungannya sekalian dia beli barang jadi daripada yang mesti dibikin/di assembly sendiri. 

Buat saya, salah satu alasan kenapa orang Indonesia menganggap brand luar itu lebih wah adalah karena faktor harga. Kelihatannya memang iya, karena nilai tukar yang tinggi jadi barang yang di negara aslinya murah pun dianggap mahal di Indonesia. KFC misalnya, atau resto fast food lainnya. Disini nggak ada bangga-bangganya makan di KFC ato McD, karena bisa dibilang cuma orang yang ekonomi menengah kebawah yang beli KFC atau McD. Burger McD yang $1 misalnya, itu sudah salah satu menu yang paling murah yang bisa anda dapatkan disini (berhubung satu sachet kecil cookies model oreo harganya juga bisa $1). Sementara di Indonesia, duduk di McD beli burger mungil seharga Rp 10,000 (alias $1) rasanya sudah wah gimana gitu, padahal ngebakso (yang lebih kenyang) harganya bisa cuma setengahnya. Tapi makan bakso kan nggak elit, ga menunjukkan kemampuan ekonomi ceritanya. Ga percaya? KFC dan McD dekat rumah saya di Bali tiap malam minggu isinya ABG semua. Disini waktu saya cerita ketemu si Akang pertama kali di KFC malah diketawain. Belum lagi rasanya KFC sini, bweehhh..... Serius, bukan cuma pelayanannya saja, bahkan rasa fastfood Indonesia pun lebih enak daripada disini.

Untuk menghilangkan minder terhadap produk luar, yang paling penting adalah mengukur nilai mata uang secara proporsional. Waktu saya pertama mencoba mencari kerja disini, kerjaan dengan gaji UMR pun saya coba, karena saya pikir gaji UMR sini sudah cukup untuk menabung dan kebutuhan sehari-hari. Lagi-lagi masalah konversi mata uang bo'. Tapi waktu iseng menghitung, ternyata gaji saya dulu sebesar 2x UMR Denpasar, jadi seharusnya saya pantas mendapatkan setidaknya 2x UMR di sini. Rugi bandar kan jual diri dengan harga dibawah harga pasar. Balik lagi ke soal IKEA, misalnya saja UMR disini $64/hari, maka dengan bekerja satu hari saja orang bisa beli 1 unit Kallax di IKEA US. Terjangkau untuk orang pas-pasan bo'. Sementara dengan UMR di Jakarta yang sekitar Rp 105,000/hari, seseorang harus menabung selama 12 hari lebih untuk membeli 1 unit Kallax di IKEA Indonesia. Rasanya jadi ga masuk akal kan beli barang mahal yang di negeri asalnya dianggap barang murah? Kecuali, tentunya, anda tipikal orang-orang yang kalau kaya akan beli iPhone App 'I'm Rich' seharga $999.99 dan tidak ada faedah apapun kecuali menunjukkan ke dunia bahwa anda sanggup membuang uang sebesar itu karena, yah, 'I'm Rich'. 

Kalau memang masih mau memaksakan 'makan brand' dan ikut trend jadi orang kaya ala negara maju, jangan setengah-setengah. Ada banyak hal yang bisa dilakukan di Indonesia dengan tetap bergaya "Gue orang kaya lho". Makan bayam misalnya. Bayam seikat disini harganya $1.29 lho. Yang organik lebih mahal lagi. Seporsi salad biasa sekitar $4-$5, jadi makanlah gado-gado anda sebanyak-banyaknya. Tahu harganya bisa lebih mahal dari daging, apalagi tempe yang lebih susah dicari. Jalan-jalan ke Bali dan menginap di hotel yang harganya sejutaan? Monggo lho! Di Los Angeles sini hotel esek-esek saja tarifnya $70 semalam, dan ini yang hotel reyot isinya wanita malam semua ya. Tiap hari ke dokter juga anda harus bangga. Dokter umum di Amerika bisa mencharge $100 kalau tanpa asuransi (yang berarti 1.5x UMR/hari), dan itu juga harus pakai appointment yang telpon sekarang baru dapat giliran dua minggu lagi. Di Indonesia dokter umum startnya Rp 35,000 - Rp 50,000 (sekitar setengah UMR/hari) dan sudah dapat obat generik lagi. Jadi kalau anda bisa dengan entengnya ke dokter umum di Indonesia berbanggalah, karena anda sudah terhitung berada di Amerika sini.

Dunia ini penuh dengan orang yang ignorant, yang nggak tahu (dan nggak mau tahu) dunia diluar tempurungnya. Banyak orang Amerika sini yang saat tahu saya dari Indonesia langsung menganggap saya 'terbelakang', dan syok saat saya bisa nimbrung berbicara Bahasa Inggris dengan lancar. Seorang famili si Akang dengan polosnya berpikir kalau Indonesia dan India itu sama. Baca-baca di Internet, ada yang komentar wajar kalau banyak perempuan dari negara dunia ketiga mau nikah sama orang Amerika karena bahkan hidup pakai welfare/bantuan pemerintah yang minim disini lebih enak daripada hidup di negara asalnya. Nyesek kan dengarnya? Tapi apa bedanya dengan kita? Reaksi kebanyakan orang saat saya bilang saya tinggal di Amerika adalah "Aduh enak ya bisa ke Amerika". Apa enaknya coba? Semua-mua diatur, saya harus berparno ria dengan segala kelengkapan identitas saya agar tidak dideportasi, bahkan sampai imunisasi pun harus lengkap. Disini memang lebih teratur, namun itu juga berarti lebih banyak aturan dan kekangan. Makanan instan semua, karena makanan yang dimasak dari awal/home made cooking itu mahal harganya. Belum lagi biaya kesehatan yang tidak terjangkau. Tapi kan kebanyakan orang tidak tahu soal ini, yang mereka tahu orang yang diluar negeri saat pulang ke Indonesia bisa foya-foya, padahal justru menurut orang luar negeri gaya hidup Indonesia yang santai dan menu Indonesia yang sehat dan super terjangkau itu luar biasa. Bisa dibilang kita sama ignorantnya dengan rekan-rekan kita di negara (yang konon) maju.

Orang dimana-mana ya sama. Bahasanya boleh beda, kemancungan hidung dan warna kulit boleh beda, gaya hidup boleh beda, tapi soal ignorant/pikiran sempit dan segala kejelekan manusia lainnya mah sama. Stupidity transcend races. Bego itu nggak ada batasan ras nya. Balik lagi ke komen antara Kucing Persia dan Kucing Kampung, definisi 'kampungan' itu sebenarnya luas sekali, dan perilaku yang 'kampungan' untuk sebagian orang mungkin biasa saja untuk orang lain. Ibu saya pernah bertanya, apa tidak apa-apa saya membawa masuk beliau dan keponakan-keponakan saya ke gerai eskrim punya bule di Seminyak karena mereka tampak lusuh. Saya ingin menangis rasanya, karena sama sekali nggak ada yang 'kampungan' dari ketegaran dan kecerdasan ibu saya dalam mengarungi hidup. Saya bangga terhadap ibu saya.

Sudah saatnya kita berhenti melabeli orang dengan 'kampungan' atau label lain yang mendiskreditkan seseorang, atau membabi-buta menyukai sesuatu dari luar negeri karena dianggap unggul (walau sebenarnya tidak). Sudah saatnya kita, di jaman internet ini, mau berusaha sedikit menggali informasi dan berusaha melihat segala sesuatu dengan obyektif. Sudah saatnya kita, orang Indonesia, berhenti berpikir kalau Indonesia itu tidak keren atau kalah keren dengan negara lain. Sudah saatnya kalau kita menyadari perilaku kurang terpuji apapun bukanlah dikarenakan 'label' orang tersebut (agama, ras, kewarganegaraan, etc), tapi karena pribadinya saja yang kurang terpuji. Sudah saatnya kita membuka mata dan membuka hati, dan melihat manusia lain sebagaimana adanya.

Monday, October 20, 2014

Confession of a Weekend Stepmom

Of all the many things my mom has been worrying about me, her greatest uneasiness was when I choose to marry my (then) boyfriend. Not only that my husband is divorced (which is considered a bad trait in Indonesia, if he could divorced once he could divorced again), he also a father of two children. With two different mothers. In two different states. "It will be very difficult for you," my mom said one time, trying to made me come to my sense. I was adamant though. To me, his previous failed relationships are proofs on how badly he wanted it to work, how badly he wanted a solid relationship. If anything, his dedication towards his two children showed his real worth, and I liked what I saw. I was all too ready to give him what he wants, to make 'us' work. As for his children, I really wasn't calculating much. They are with their moms, and the only responsibilities I have for them is merely on the weekends, even then I would only be an aide for my husband. It's not  like I was going to be their stepmother or anything.

My mom, bless her soul, was right. It wasn't easy being 'the other woman'. Even though he has been divorced and was not in relationship for some years, the mothers of his children were still prominent in his life mainly because he needs to constantly communicate with them regarding the children. I was fully aware that they have been a part of his life for a longer time that I have been, with their own stories and intimacies and griefs. I accept that, yet at times I still feel sad and jealous that I am not the only one that 'owned' him, that I have to share him with the mothers. Even with his constant reassurance, the ugly me still doesn't want to share. And it cannot be helped. The mothers opinions and requests are considered and even contributes to decision making between me and my husband since they are the one with the children, including decisions about daddy-time and money. Sometimes it gets so intense that I feel as if they are living in the same house as we are; that I am not only marrying my husband and his children, but also his exes at the same time. His rant and sadness when the mothers give him a hard time regarding the children, just as the pictures of him and his e-wife and their child hanging in his family's house, they are a constant reminder that there is a part of his life that is not mine. Which is only natural, I keep telling myself, even twins don't always share the same life. That doesn't stop my heart from aching occasionally, or quenched the fire of jealousy that sometimes rage in me.

You might think that I would treat the children with indifference, and you are quite right. At first, I did treat them with indifference, that is I positioned myself as a spectator and let the daddy did all the work. It was a decision made not because I hate the children, but because I don't know what to do with them. I was so worried that, since I grew up in foreign country and was unfamiliar with US parenting type, I would 'handle' them incorrectly and infuriate the mothers which then can lead to them giving my husband more difficulties to meet the children. I would asked my husband for the littlest detail regarding the youngest child: "Can I give this? Can I do that? What should I do?" to the point that he started to think I was too passive and unable to make my own decision. As for the eldest child, I tried to look as distanced as possible with my husband because I didn't want her to feel I took her daddy away from her. I did not dare to scold or be strict with any of them, when I felt they are over the line I would tell my husband and let him do the disciplining and such. We only have them for weekends anyway, what's the point of trying to 'better' them if it's only going to be unraveled during the next 5 days?

That was what I thought. I couldn't do it though. I come from a big family and I have seen my mum rearing my younger siblings (and then rearing my nephews) since I was twelve years old. If there is anything that I am proudest about my mom, that would be how good we've all become. All of us (my nephews included) are sharp, problem solvers, strong minded, and full of love and kindness; everyday is an adventure for us and we all have a pretty satisfying life. This might just be in the gene, but I suspect it is because we are copying our (grand)mom's own strength and her view of life. She let us be what we want to be, and only interfere when she think it is necessary to, all while letting us know that she is there for us. This is the kind of life that I know and love, and eventually this is the kind of life I encouraged my students to have when I work as an English teacher: "Go out there and enjoy the world, never fear because I am always here for you." It makes a whole lot of difference in their confidence and how they see the world. This belief, and the fact that my husband's children are roughly the same age as my nephews, make it difficult for me to turn blind eye and pretend I don't care. Little by little I began to be more involved in the weekend parenting. 

I shared the joy of new discoveries with the children since I am too a newcomer in this (part of the) world; this include food, museums, trains and buses, and all the weird and wonderful things this world has to offer. I explained them things like why some objects (fan, fire, electricity) can be dangerous, why they have to clean up their toys, why they should be considerate to people's feeling, or why they should try new things; because I want them to understand the whys instead of following the order. I gave them love and affection when they wanted it, always so careful to not trespass their privacy or touch them when they just want to be left alone, but letting them know that I will be there for them when they need me. What began as an effort to help my husband with the children grow into an effort to help the children get the best of their childhood years. I don't even consider myself as a stepmother. Just because I am married to the father doesn't mean I would instantly become the mother. Only the real mother, in my opinion, deserve that badge of honor. The reason why I am here with them is because everyone can and deserves to be happy, and I wanted them to know that and preserve that thought in their mind. It is a cruel world out there, and children's sense of adventure and happiness are the sword and shield that will enable them to slay the dragons of wickedness and the hydra of despairs in order to find their happily ever after. And I wanted them to know that they are precious, that they are worthy; because self confidence without looking down to others is the most important thing a person could have. I wanted them to be someone who love their own life, and be joyous of it. 

Granted, this is not always easy. There are times when I just need to have a time out and let my husband deal with the child(ren). There are times when I get annoyed with their behavior and attitude, which is not only because of different rules and upbringing at their mothers' but also because children can be really annoying at times. There are times when I asked myself, "Why am I doing this?" or "This is not even my children! I don't even share a drop of blood with them!". I never let it out in front of the children though. My mom had taught me that the most selfish thing you could do to children is letting them see your tears and ugly emotion. It makes the children unrest and insecure and helpless. It is not the children's fault that life can be very tiring and very emotional for their parents; especially since it's not even their decision to be here in this world, it is their parents' decisions. As I read this paragraph, I realize I sounded like a really horrible stepmother/dad's wife, and I am half convinced that if the mothers ever read this article they won't allow the children to be with me anymore. But if you are a parent, a biological dad and/or mom, don't you also feel this way sometimes with your children? The tiredness, the need for 'time out', the annoyance, the denial and exasperation ("Why do I even have this kid(s)?!"), aren't those a part of being a parent?

More than a year has passed since I first entered their life, and they have changed mine. Weekends are something that I look forward to, since it means we will have our adventures together. I look forward to hear their happy laughter and to see the awe in their face as we present them with the little wonders of the world. I look forward to hold them in my arms or at least to tickle them and run my fingers through their hair. Children's little bodies are amazing vessels of love: they are created from love and they can accept, and equally gives out, a limitless amount of love. Anyone who love children with agree that being with children is like getting a fuzzy-rainbow-colored love recharge. The feeling will get duller as the child grew older and more mature, as they would lose their childhood wonder and take a more defensive/aggressive stance against the world in order to protect themselves, even if deep down inside they are still only a scared little child (aren't we all?). This threat of teenage angst (and adult madness) is the more reason why I want to give the best for my husband's children. Looking at them now, I realize how precious they are to me. Whenever I see the mothers' face/physical characteristic in their face, instead of the usual fiery jealousy I feel a strong desire to protect them. They are made from my husband's love and pure intention. I wish, I really wish it would work well with the mothers, so they (or at least one of them) can have the beneficial effect of a real family without the hassle of weekend commutes. Since it is not possible, all my husband and I could do is love them and care for them as good as we can during the short hours we are together, to show that them love and happiness and fun are attainable, and to prevent them from making the same mistakes and going through the same hardship and sadness that me and my husband has to go through before we are finally together. At this point, I couldn't care less about their mothers. The children's little hands and bright smile has killed that monster in me, and made me and my husband loved each other even more. To this, I thank them from the bottom of my heart.

I have always thought that would be the end of it. I always thought for them I am 'daddy's wife', or 'daddy's sidekick', a cool person that always care for dad and always in for a good (and silly) time. Yet a couple of weeks ago my husband's youngest child rushed from his playroom to the kitchen to asked my husband: "Daddy daddy, where is my Ibu?". We did teach him to call me Ibu, which means mom or older woman in Indonesia language, since he is too small to call anyone by first name only; but we did not teach him the 'my' part, it is his own preference to think I am 'his' and that I am a part of his world. And last weekend his oldest child demand to sleep in my arms instead of with him and told me "You look like mommy" with adoration and love in her eyes, which is, to me, the highest compliment a child could give to a woman who is not his/her biological mother. Their acceptance and love, given to me when I didn't expect nor request any, is my own badge of honor. Time will come when the childhood wonder wanes, when the grief of real world take charge of these innocent children, and when we have to face each other as adults. When that time comes, I just want both you to know: Me and Daddy love you very very much, kiddos.  

Menjadi Manusia yang Sebenarnya



Saya kemarin dapat penghargaan untuk cerpen yang saya ikut sertakan dalam lomba cerpen sebuah perkumpulan penulis di Amerika. Commendation itu artinya "Special Praise" alias pujian spesial. Saya sempat bete karena statusnya Commendation itu dibawah Honorable Mention dan (jelas) juara 1-3, istilahnya cuma juara harapan gitu; lalu si Akang menegur saya: "Kamu sudah termasuk winner itu sudah bagus, mau juara berapapun yang penting kan sekarang ada bukti kalau tulisan kamu disukai dan dihargai orang." Lalu saya teringat kalau sebelumnya saya sudah menguatkan diri untuk bahkan tidak menang apa-apa, tapi dasar manusia begitu tahu saya termasuk winners/pemenang saya langsung kecewa karena 'cuma' commendation. Padahal saya sebenarnya sudah menang saja itu sudah against all odds, sudah luar biasa.

Kenapa against all odds? Karena demografis saya jauh berbeda dengan demografis para penulis lainnya di perkumpulan itu. Sekedar gambaran, saat saya berada di acara tersebut hanya saya dan satu orang penulis lainnya yang berusia dibawah 50 tahun, hanya saya yang tinggal di negara bagian California, dan hanya saya yang imigran dan berkulit gelap. Demografis ini penting karena ini menunjukkan bahwa pendidikan dan lingkungan saya berbeda dengan mereka (faktor tempat tinggal), buku yang saya baca berbeda dengan mereka (faktor imigran dan usia), dan mereka sudah jauh lebih banyak menulis daripada saya (faktor usia). Tapi saya tetap bisa bersaing dengan mereka. Hal ini dikarenakan sistem penilaian yang mereka berlakukan: karya harus diprint tanpa nama, dikopi 4 kali, dan dikirim via pos. Para juri tinggal menerima tumpukan cerpen/puisi/cerita non-fiksi yang harus mereka baca, dan mereka pilih yang mana yang bagus menurut mereka. Itulah kenapa ada beberapa orang yang menang 2 penghargaan sekaligus, baik dalam kategori yang sama atau kategori yang berbeda. Itulah kenapa bahkan presiden klubnya bisa menang juga. Itulah kenapa saya, yang bahasa ibunya bukan Bahasa Inggris punya kesempatan berkompetisi dan menang. Untuk para juri tersebut, yang penting bukan siapa yang menulis, yang penting adalah hasil karya itu sendiri. Bagi saya yang penulis, ini menunjukkan bobot karya saya; dan ini membuat saya merasa dianggap sebagai manusia.

Kesetaraan kesempatan dan derajat seperti ini sulit dibayangkan ada di Indonesia. Mungkin untuk kontes-kontes (menulis, olahraga, dll) masih bisa ya, selama ada guidelines/aturan resmi untuk penilaian; tapi kalau untuk kehidupan sehari-hari tidak terbayang lho. Di Indonesia, sarjana lulusan sekolah ternama seperti UI 'dihargai' lebih tinggi daripada sarjana lulusan universitas kecil/tidak ternama. Logikanya sih masuk akal: sekolah yang 'elit' (baca: selektif memilih murid dan punya nama) pastinya akan menghasilkan orang-orang pilihan juga. Masalahnya, tidak semua orang mendapatkan kesempatan masuk universitas ternama. Dari segi uang, tidak semua orang mampu membayar kuliah di universitas swasta elit atau membayar bimbel (bimbingan belajar intensif) agar bisa lolos seleksi universitas negeri elit. Dari segi pendidikan, karena lemahnya pendidikan di Indonesia saya yakin banyak bakat-bakat terpendam, banyak pikiran-pikiran cemerlang yang tidak terasah tapi tidak memiliki kesempatan untuk 'bersinar'. Saya dulu sekolah di SMAN favorit di Jakarta, tapi tetap saja saya harus di-drill oleh guru SMA dan guru bimbel saya agar bisa 'menguasai' tipe soal yang akan dikeluarkan di UMPTN/SPMB dan EBTANAS; kebayang tidak nasib murid-murid SMA di daerah terpencil yang gurunya saja jarang masuk? Atau SMA kakak saya (di Jakarta) yang gurunya malah mengorganisir agar murid-murid yang pintar bisa meninggalkan jawaban untuk murid-murid lain yang kurang pintar saat EBTANAS? 

Pengalaman saya mencari kerja disini (sebagai sales/admin), jarang sekali ada yang mensyaratkan gelar spesifik (sarjana sastra, sarjana ekonomi, etc) apalagi sampai minta IPK. Biasanya yang mensyaratkan gelar spesifik (dan IPK) adalah perusahaan yang memang bergerak di bidang spesifik seperti hukum atau penerbitan, jadi wajar mereka memerlukan seseorang yang dianggap ahli dibidangnya. Masalah penampilan pun biasanya tidak dipermasalahkan, dan kalaupun ada itu biasanya untuk dipakai saat mencari front liner dengan istilah "Polished demeanor" atau "well groomed". Dengan kata lain, walau wajahnya kurang menarik pun tidak apa-apa asal terlihat rapi dan profesional. Bandingkan dengan iklan lowongan kerja di Indonesia yang keywordnya, bahkan untuk pekerjaan tidak spesifik seperti sales atau staf kantoran biasa, biasanya seperti ini:
  • Sarjana (isi bidangnya) dengan IPK 3.xx --> padahal IPK tinggi tidak menjamin bisa kerja bagus, dan hapal teori belum tentu bermanfaat bagi tugas di perusahaan
  • Berpenampilan menarik --> padahal ga ada hubungannya penampilan menarik dengan kinerja perusahaan, mungkin kecuali front liner
  • Berumur maksimal 25/27 tahun --> padahal ga ada hubungannya umur dengan kinerja perusahaan, bisa saja ada yang berumur lebih tua tapi lebih mengerti kondisi perusahaan
  • Single (dan harus mau teken kontrak untuk tetap single selama menjabat) --> Padahal ga ada hubungannya status pernikahan dengan kinerja di perusahaan, punya keluarga pun selama bisa tetap profesional tidak masalah
Iklan lowongan kerja di Indonesia terasa diskriminatif sekali, bukan? Kalau semua perusahaan memakai requirement seperti diatas, bisa-bisa banyak sarjana Indonesia yang cuma jadi pengangguran atau kerja yang tidak sesuai gelarnya. Disini suami saya bisa mendapatkan gaji setara lulusan S1 walaupun dia cuma lulusan D3, dan ini untuk pekerjaan spesifik yang saya sebutkan tadi yang biasanya requirementnya lulusan jurusan kuliah tertentu dengan IPK tertentu. Di Indonesia hal ini mungkin sangat sulit dicapai. Tapi bukan berarti di Indonesia tidak memungkinkan untuk lolos dari jebakan betmen ini. Saya termasuk satu dari sedikit orang yang beruntung karena semua perusahaan tempat saya bekerja tidak memperdulikan gelar saya ataupun IPK saya; saya bisa mendapatkan pekerjaan di tempat mereka karena saya bisa Bahasa Inggris dengan lancar. Jangan salah, beberapa kali saya melamar di berbagai tempat dan jawabannya sama: "Aduh mbak, kita ingin sekali menghire mbak; tapi background pendidikan mbak ini tidak seperti requirement kita." Background saya Kedokteran, tapi saya sempat mengajar Bahasa Inggris selama 4 tahun, lalu lanjut menjadi sales fotografi selama 5 tahun, dan sekarang merintis karir sebagai penulis (yang karyanya sama sekali tidak ada bau-bau kedokteran); dan saya termasuk sukses dalam semua profesi ini. Semua karena ada perusahaan, yang seperti juri di kontes menulis saya, yang tidak melihat siapa saya namun melihat apa yang saya bisa lakukan.

Diskriminasi ini juga sering saya alami di kehidupan sehari-hari. Dicuekin oleh mbak-mbak SPG di Mal karena penampilan saya, misalnya. Atau perlakuan berbeda dari staf restoran di Bali karena saya bukan bule. Bahkan dilingkungan keluarga besar pun saya sering dilihat rendah karena "cuma sales tukang foto", walau harga paket foto perusahaan saya mulai dari 10 jutaan untuk 3 jam foto dan biasanya kita ambil job di hotel-hotel sekelas Bulgari atau Amanresort. Dengan segala diskriminasi yang saya alami di Indonesia (kurang menarik karena berkulit gelap, kurang modis dan kinclong, pekerjaan yang kurang wah, dompet/kekayaan yang kurang oke, pendidikan yang pas-pasan), saya yang di Indonesia tidak terpikir bisa tinggal di Amerika, atau bahkan bisa menikah dengan pria yang sangat menghargai dan menyayangi saya. Saya sudah siap menerima nasib untuk melajang seumur hidup tanpa pernah bekerja di sebuah perusahaan besar/nasional, dan cuma jadi bulan-bulanan PNS-PNS Indonesia. Lalu saya 'ditemukan' si Akang dan pindahlah saya ke Amerika. Disini kulit sawo matang saya dianggap indah dan berbeda bahkan dari orang yang berkulit gelap lainnya, begitupula kontur wajah saya. Disini saya saat saya bertanya dengan ramah saya tetap dilayani dengan sebaik-baiknya oleh staf supermarket/butik walaupun penampilan saya urakan/tidak modis dan saya jelas-jelas terlihat seperti seorang imigran (yang stereotipnya miskin dan tidak berpendidikan). Bahkan petugas pemerintahan yang terkenal galak dan tidak menyenangkan pun tidak pernah menyusahkan saya. Saat mengurus KTP dan NIK (nomor induk kependudukan) saya sempat bermasalah karena ada typo/salah ketik di nama di green card saya, sehingga berbeda dengan nama di paspor dan akte kelahiran; hebatnya petugas sini bisa mengakalinya tanpa dikenakan biaya. Sebaliknya, saat saya mengurus SIM di Indonesia saya sempat diketusi oleh petugas karena saat saya mengecek data sebelum SIM tersebut di cetak saya tidak menemukan revisi alamat yang saya minta, dibilang saya harusnya mengingatkan petugas yang menerima berkas saya dari awal proses bahwa akan ada revisi alamat. Saya jadi bingung dan jengkel, buat apa saya memasukkan berkas kalau begitu? Bukankan tujuan adanya berkas/formulir tersebut agar petugas bisa memasukkan data yang benar?

Sedih rasanya saat saya sadar di negeri orang saya lebih dianggap sebagai manusia/lebih dihormati daripada di negeri saya sendiri. Mungkin saya hanya beruntung, karena pastinya ada banyak orang lain yang tinggal di negeri orang dan mengalami diskriminasi yang lebih berat daripada waktu di Indonesia. Tapi memang itu kuncinya: diskriminasi. Saat kita bisa melihat seseorang dari siapa dia yang sebenarnya dan terlepas dari hal-hal duniawi dan label-label yang kita lekatkan sehingga bebas dari diskriminasi dan kecurigaan, maka saat itulah ia akan menjadi manusia yang sebenarnya. Kebebasan dari diskiminasi juga akan membuat lebih banyak orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik, kesempatan untuk menggunakan potensi dirinya semaksimal mungkin. Diskriminasi adalah rantai yang mengekang kita, baik sebagai pelaku diskriminasi maupun korban diskriminasi. Bukankah sudah saatnya kita bebas dari kekangan ini? Slogan 'semua manusia itu sama' bukan hanya sekedar kecap dimulut, namun juga harus kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari, apalagi Indonesia tidak memiliki hukum anti diskriminasi. Sudah saatnya kita menolak dan menghentikan diskriminasi. Sudah saatnya kita menjadi manusia yang sebenarnya.

Search This Blog