AdSense Page Ads

Monday, November 17, 2014

Ngangkot di Amerika dan Harga BBM

Karena harga BBM di Indonesia naik, saya jadi ingin sharing cerita saya ngangkot di Amerika. Soalnya salah satu argumen orang yang misuh-misuh dengan kenaikan BBM adalah karena pemerintah Indonesia belum bikin transportasi masal yang layak seperti di negara maju. Padahal, di Amerika sendiri ini yang saya rasakan transportasi masalnya tidak bagus-bagus amat.

Waktu saya baru pindah ke Amerika, saya bangga sekali bisa memahami cara naik bus disana hanya dengan browsing-browsing di internet. FYI, si Akang saya saja tidak paham cara naik bus karena dia kemana-mana selalu naik mobil. Setelah saya mencoba-coba naik bus, baru saya paham kenapa dia malas naik bus: lama dan tidak tepat waktu. Busnya sendiri sih tidak ada masalah ya, selalu terlihat rapi jali dan lumayan bersih; waktu nunggunya yang sengsara. Jarak dari apartemen saya ke mall atau perpustakaan itu cuma 15 menit naik mobil, tapi naik bis bisa 45 menit. Belum lagi kalau kebetulan ketinggalan bus, bisa 20-30 menit lagi menunggu bis berikutnya. Dan kalau kelewatan haltenya, siap-siap jalan kaki ke halte sebelumnya, yang bisa sekitar 500-800 meter jauhnya. Jadi malas syalala kan kemana-mana naik bus. Ini di Orange County lho, yang konon salah satu county/kabupaten paling ciamik di Amerika; dan halte bus nya terletak tak jauh dari apartemen saya.

Waktu sempat berkunjung ke Arizona dan New Mexico, transportasinya lebih parah lagi. Di Arizona masih ada bus, tapi hanya melayani dalam kota saja dan itu pun tidak menjangkau banyak tempat. Lokasi tempat kami tinggal itu sekitar 2.5 km dari supermarket terdekat, jadi kalau jalan kaki lumayan gempor. Ini pun ternyata hitungannya sudah lumayan, karena banyak daerah elit yang posisinya lebih terpencil lagi. Main ke rumah keluarganya Akang itu bisa 30-45 menit di jalan saking jauhnya, padahal hitungannya satu kota. Terbayang nggak sengsaranya kalau tidak punya mobil? Di New Mexico bahkan lebih parah. Kami berkunjung ke Magdalena yang terletak di dekat VLA (Very Large Array, kumpulan satelit yang jadi backgroundnya film Contact dan video klip Bon Jovi dan berbagai hal keren lainnya), dan sama sekali tidak ada transportasi umum disana. Boro-boro transportasi umum, pompa bensin yang lain saja bisa sampai 30 km jauhnya.

Waktu kami tinggal di Los Angeles, transportasi umumnya sangat baik (menurut saya). Si Akang yang biasanya malas naik bus pun jadi ketagihan naik bus. Bukan apa-apa, parkir di Los Angeles itu susah dan mahal, jadi memang lebih murah naik bus. Tapi setelah agak lama tinggal disini baru saya ngeh: tidak semua bagian Los Angeles terjangkau bus, dan subway pun tidak terlalu luas jangkauannya. Lagi-lagi, keterbatasan armada dan kemacetan dalam kota membuat naik bus tidak menyenangkan. Bus yang biasanya muncul tiap 15 menit bisa baru muncul tiap 30 menit di jam sibuk, atau muncul lebih cepat 5-10 menit dari jadwal sehingga penumpang yang sudah pede bakal on time harus menunggu bus berikutnya. Oh ya, tiap weekend biasanya ada detour untuk rute bus dalam kota, dan banyak penumpang yang baru ngeh saat membaca pengumuman di halte bus. Kalau santai-santai sih tidak apa-apa, tapi kalau lagi terburu-buru tidak cihui kan?  

Yang paling bagus dari Amerika buat saya bukan transportasi masalnya, tapi kondisi jalannya. Bahkan yang konon kota kecil pun jalannya masih lumayan bagus dan tidak menyakiti mobil. Naik mobil antara Los Angeles - Arizona yang sekitar 787 km itu butuh cuma 6-7 jam, sementara Jakarta-Denpasar yang sekitar 1200 km itu butuh 24 jam lebih, pakai bus yang ngebut maut saja bisa sekitar 30 jam. Contoh lain, disini jarak 50 km itu bisa ditempuh (tanpa macet di freeway) sekitar 30-45 menit, dan ini tidak ngebut maut ya. Teman saya pernah bilang, di Amerika freeway itu mudah karena dataran Amerika yang luas dan relatif rata (tidak banyak pegunungan). Kalau dilihat soal kondisi geologi, memang benar bahwa Indonesia lebih menantang; tapi fakta yang tidak bisa terbantahkan adalah semakin bagus infrastruktur maka semakin mudah melakukan pemerataan ekonomi dan penekanan biaya-biaya. Jadi kalaupun BBM naik atau turun, hari raya atau hari biasa, tidak ada lagi alasan harga-harga naik dengan semena-mena.

Buat saya, hal yang harusnya kita pikirkan saat kisruh soal BBM ya itu tadi, bagaimana membuat pasar stabil jadi harga BBM naik atau turun tidak ada pengaruhnya. Seperti yang saya gambarkan diatas, di Amerika sendiri (yang BBM nya naik turun sesuai harga pasar) transportasi masalnya tidak super friendly. Masih mending di Indonesia, masih ada ojek dan/atau transportasi pelat hitam lainnya. Jadi, argumen yang menyalahkan pemerintah soal BBM dengan bilang bahwa pemerintah tidak bertanggung jawab karena tidak menyediakan transportasi masal yang memadai menurut saya tidak valid. Hal yang paling mencolok dari Amerika adalah kesiapan infrastruktur mereka, jalan-jalan raya yang membentang dari satu sudut ke sudut lainnya dan mencakup hampir seluruh bagian di Amerika. Bagaimana dengan Indonesia? Pariwisata yang bisa dibilang nyaris tanpa modal saja banyak sekali dikuasai orang asing, apalagi produk-produk buatan ibu pertiwi seperti bahan tambang dan hasil bumi yang membutuhkan modal besar untuk 'memanen' dan mengeluarkannya dari pulau-pulau terpencil. Dana subsidi BBM bisa dipakai untuk pembangunan infrastruktur ini.

Buat yang masih sakit hati dan bilang kalau pencabutan subsidi BBM berarti tidak berpihak pada rakyat kecil, tolong diingat kalau saat daerah lain menikmati subsidi BBM, harga BBM di Papua bisa mencapai Rp 50,000 seliternya. Tolong juga dihargai usaha pemerintah yang memang serius menaikkan dan melakukannya dengan cepat dan efisien, dan bukannya tarik ulur seperti jaman presiden-presiden yang lalu. Dulu-dulu tanggal kenaikan harga BBM diumumkan jauh-jauh hari, sehingga kenaikan harga barang dan tarif transportasi jadi dobel: saat baru 'akan' sudah dinaikkan, saat sudah naik ya naik lagi. Walau batal naik (demi rakyat ceritanya) tetap saja tidak ada usaha menurunkan harga pasar. Yang sengsara masyarakat juga kan? Indonesia saat ini ibaratnya seperti keluarga buruh yang berusaha bertahan hidup dari penghasilan mereka, dimana penghasilan tetap namun biaya hidup meningkat. Cara tercepat agar bisa bertahan hidup ya dengan memangkas biaya yang tidak perlu. Banyak orang yang rela hidup sederhana demi kemajuan dirinya sendiri (kuliah, modal usaha, kesehatan, etc), kenapa Indonesia tidak bisa?

Kita tidak bisa memisahkan diri kita dengan pemerintah. Kita tidak bisa bilang "saya rakyat" dan "kamu pemerintah", karena pemerintah pun sebenarnya bagian dari rakyat, dan sebagai rakyat kita punya andil dalam pemerintahan. Adalah tugas pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya, namun rakyat Indonesia juga harus berhenti bersikap manja dan minta sedikit-sedikit disuapi oleh pemerintah. Kita adalah satu. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Kita adalah Indonesia. Silakan gigit jari kalau masih mau ngambek, tapi jangan lupa kalau kita tetap satu Indonesia :)  

2 comments:

  1. di luar soal BBM dan tranportasi Amerika, saya selalu terbayang-bayang suasana kereta bawah tanah di New York seperti yang saya tonton di HIMYM :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha iya. Saya belum pernah ke NY jadi nggak tau subwaynya seperti apa, tapi di LA sini subwaynya kurang lebih memang seperti di film-film :D

      Delete

Search This Blog